Tears from Banjar (From Banjarmasin with Love part 1 – Journey of Kuliner in Borneo part 3)

Kota kedua yang akan saya jelajahi adalah Banjarmasin. Untuk ke sana saya mesti melewati Palangkaraya. Ibu kota Kalteng ini benar-benar hanya saya lewati dan pandangi saja. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan, apalagi mengenai makanannya.
Judul besar tulisan ini adalah Tears from Banjar, karena memang saya menjumpai lelehan air mata dari ungkapan hati yang mendalam. Tentu agak janggal di kala saya bercerita mengenai journey of kuliner tetapi ada selingan air mata. Air mata ini memang bukan sembarang air mata, karena mengalir dari hati yang ditempa banyak penderitaan dan pengalaman pahit dalam hidup, yang menghantarkan mereka kepada iman yang lebih teguh.

Perjalanan panjang
Palangkaraya yang lengang. Itulah kesan yangs aya peroleh. Karena hanya melewatinya dan berhenti di pos travel selama 2 jam 30 menit. Duduk di teras agen travel ……… sambil memandang lalu lintas yang lalu lalang. Memandang jalan yang lebar namun lengang, melihat bangunan penjara yang tinggi megah, melihat bangunan-bangunan pemerintahan yang megah, dengan taman yang luas, pintu masuk yang menjorok jauh ke dalam, namun lengang. Saya tidak tahu ke mana semua penduduk Palangkaraya ini. Atau memang ibu kota Kalimantan Tengah ini penduduknya sedikit saja.
Saya tiba di palangkaraya sebenarnya jam 12.an siang. Langsung membeli tiket travel dan mendapatkan travel jam 13.00. Namun mau apa lagi, travel yang seharusnya berangkat jam 13.00 sudah penuh. Terpaksa. Ya dengan terpaksa saya menunggu dengan menggerutu, kapan saya akan tibu di Banjarmasin. Bagaimana dengan janji untuk mempersembahkan misa jam 17.30 di paroki Sakramen Mahakudus Banjarmasin.
Akhirnya jam 14.30 waktu Palangkaraya travel yangs aya tumpangi meluncur meninggalkan kota. Mobil Xenia dengan penumpang 8 orang termasuk sopir. Saya duduk di pojok belakang, terguncang-guncang dengan memangku tas berisi pakaian dan laptop. Kepala saya sandarkan pada tas yang penuh sesak di belakang. Namanya juga ngejar setoran, mobil kecil pun diisi dengan pebuh, penuh penumpang dan barang. Tidak nyaman, tetapi tidak ada pilihan.
Perjalanan ini terasa sangat panjang. Melewati jalan tol di atas rawa-rawa yang sangat panjang. Kanan kiri yang berselang-seling antara hutan dan rawa-rawa. Sungguh sangat menyenangkan. Mentari sore yang menyinarkan sinar keemasan memoles pucuk-pucuk pohon yang akan segera aku tinggalkan. Senyampang masih bisa memandang dan menikmati indahnya sore, aku alihkan segala kekesalan dan kejengkelan dalam hati dengan pemandangan yang indah di tepi jalan.
Hatiku semakin gondok ketika travel harus berhenti untuk memberi kesempatan bagi kami untuk makan. Kalau boleh memilih aku tidak mau makan, mendingan langsung melaju ke Banjarmasin agar segera sampai ke tempat tujuan. Yah, sekali lagi meski mengeluh dalam hati saya harus ikut. Meski semua penumpang saya perhatikan tidak ada yang makan, namun sopir travel toh memiliki jatah untuk makan di warung itu. Kurang lebih 30 menit kami beristirahat di sana. Tiga puluh menit yang serasa seperti tiga jam. Hemm, mau apa lagi semua harus diikuti, saya tidak bisa memilih, maka saya mencoba menikmati saja.
saya tidak tahu kota mana saja yang akan disinggahi oleh tavel ini. Tentunya tidak semua penumpang akan menuju Banjarmasin. Empat penumpang rupanya menuju Kabupaten Kapuas Hulu. Saya tidak tahu bahwa ada kabupaten itu, saya kira Kapuas Hulu itu bagian dari Banjarmasin. Maka ketika mobil mengantarkan penumpang ke daerah tengah kota, saya agak kaget, kok Banjarmasin sepi-sepi saja. Bukannya ini ibukota provinsi? Kok sepi banget? Itulah pertanyaan yang terus melayang-layang dalam kepalaku.
Setelah menghantar empat penumpang tadi mobil bergerak ke arah luar kota. Saya bingung, kok mobilnya kembali ke arah Palangkaraya. Saya tidak bisa melihat dengan jelas karena suasana sudah gelap. Ada kebingungan dalam hati tetapi tida ada niatan untuk bertanya. Saya ikut saja.
Pertanyaan mengenai arah mobil dan tujuan perjalanannya terus merasuk dalam hati toh saya tidak mau bertanya. Saya sangat heran mengapa mulut saya tidak memiliki niatan untuk bertanya padahal hati dan pikiran saya terus menerus bertanya. Akhirnya saya menyadari, bahwa mobil menuju kota Banjarmasin. Ada tanda di tepi jalan bahwa kami akan memasuki kota. Sekarangs ay kembali lega dan tenang, ternyata mobil menuju arah yang tepat. Hoh (dengan hembusan nafas yang sangat kuat tanda lega, hehehehe).
Rumah yang saya tuju ternyata berada di tengah kota, di belakang Polwiltabes Banjarmasin. Sopirnya langsung tahu jalan yang saya berikan tetapi tidak tahu gangnya. Terpaksalah saya telfon pemilik rumah untuk menunggu di mulut gang. Ternyata jalan itu dekat saja dan mudah ditemukan. Tidak lebih dari semenit sejak saya kontak saya sudah melihat bapak pemilik rumah yang saya tuju berdiri di pinggir jalan. Akhirnya saya benar-benar sampai di Banjarmasin jam 20.an waktu Banjarmasin (WITA) atau jam 19.an Malang (WIB).
Tidak misa hari ini
Ketidaktahuan ternyata membuahkan banyak hal yang bisa merugikan. Saya tidak tahu bahwa kota Banjarmasin itu sudah masuk WITA dan itu berarti berbeda dengan Palangkaraya yang termasuk WIB. Ketidaktahuan yang merugikan adalag saya kehilangan satu jam. Jam di mobile phone saya masih menunjukan angka 19 lebih sedikit tetapi di tempat saya berada sudah jam 20 lebih. Yah, saya kehilangan waktu satu jam yang tidak saya pernah saya perhitungkan sebelumnya.
Rencana untuk mempersembahkan Misa Kudus di gereja Sakramen Mahakudus pun tidak jadi karena ketidaktahuan. Tidak tahu bahwa saya akan kehilangan waktu satu jam. Tidak tahu bahwa travel itu akan berhenti sekitas 30 menit di tempat peristirahataan. Tidak tahu bahwa perjalanan bekendaraan itu tidak bisa diukur dengan perhitungan matematika. Artinya jarak, kecepatan, dan waktu bukanlah sesuatu yang berbanding lurus. Kondisi jalan, lokasi penumpang, keadaan mobil, sangat memengaruhi lama perjalanan.
Saya tidak misa di Hari Raya Penampakan Tuhan. Pagi hari saya berangkat dari Parenggean ketika gereja setempat belum memulai perayaan Ekaristi. Tiba di Banjarmasin hari sudah malam ketika seluruh perayaan sudah selesai. Saya hanya berdoa kiranya Tuhan mengampuni saya yang tidak mempersembahkan atau bahkan sekadar mengikuti perayaan Ekaristi.
Tidak seperti gambarnya
Begitu sampai di rumah Bapak Agus, tempat saya menginap malam itu, saya langsung mandi. Badan lusuh lengket dengan keringat dan penat. Guyuran air dingin sungguh mengembalikan kesegaran badan. Kalau mengikuti kemauan badan ingin rasanya terus menerus berada di bawah guyuran shower yang menyejukkan. Namun sadar bahwa ada pribadi-pribadi yang menunggu di ruang keluarga, membuat saya mesti mengakhiri acara mandi.
Setelah berganti pakaian saya menemui seluruh keluarga di ruang tamu. Pak Agus dan istrinya serta orang tuanya. Pak Agus adalah orangtua siswa saya di DEMPO, sebut saja namanya Bunga. Setelah ngobrol sejenak, Pak Agus mengajak saya keluar untuk mencari makan. Yang dituju adalah Depot 29, dengan sajian khas Pontianak. Menurut bapak yang rambutnya mulai menipis ini, depot ini baru buka dan yang penjualnya berasal dari Pontianak, maka masakannya adalah khas Ponti.
Menurut saya jenis masakan yang ditawarkan adalah standart Chinese food. Berbagai sea food dan beberapa jenis masakan yang bukan dari laut. Setelah melihat daftar menu dan mengamati gambar yang tertera saya memesan Tom Yam sebagai sup. Saya piker Tom Yam pedas dan panas akan memberi kehangatan setelah badan terguncang-guncang seharian di dalam mobil. Sebagai menu lain kami memesan Kepiting saus Padang dan ca Brokoli. Sebagai minuman saya memesan jus sirsak dan air putih. Jus sirsak saya pesan untuk melawan serangan asam urat yang mungkin muncul dari kepiting yang kami santap.
Setelah menunggu tidak berapa lama (sungguh-sungguh GPL, ga pake lama) pesnan kami dating. Ketika pelayan meletakkan aneka masakan di atas meja, saya agak terperanjat dan langsung berkomentar, ‘kok tidak sama dengan gambarnya?’ Dengan kaget Pak Agus balik bertanya, ‘tidak sesuai dengan gambar apa Romo?’
Berdasar gambarnya, Sup Tom Yam itu kental dan banyak isinya. Ternyata yang tersaji adalah sup bening dengan banyak kuah, isinya sedikit sekali, jelas tidak memakai santan seperti yang terpampang di gambar. Aneh begitu melihat wujud fisik Sup Tom Yam ini saya menjadi tidak tertarik untuk menyantapnya. Padahal Tom Yam adalah salah satu menu favourite saya. Bahkan Romo Heri sering berkomentar kalau ada orang mengirim masakan Tom Yam, itu hanya mengirim untuk saya. Yah, gpp lah, lha enak, hehehehe.
Karena Tom Yam tidak lagi menjadi daya tarikku, maka perhatianku sepnuhnya tercurah kepada kepiting saus padang yang tersaji merah menusuk mata di hadapanku. Dagingnya yang penuh dan padat memaksaku mengerahkan seluruh konsentrasi dan tenaga agar tak terlewatkan sedikitpun daging-daging kepiting itu. Satu porsi kepiting itu nyaris aku habiskan sendiri, karena Pak Agus tidak begitu mau menyentuhnya. ‘Repot’, demikian dia memberi alasan. Seandainya di rumah ia akan melahap semuanya. Sementara itu Tom Yam yang tidak sesuai dengan gambarnya itu ternyata menjadi perjatian Pak Agus. ‘Segar’, demikian beliau memberi alasan. Hamper satu jam kami bekutat di depot itu, dan kembali ketika jalanan Banjar sudah mulai sepi.
Air mata itu
Sesampai di rumah ternyata Bu Agus belum tidur. Beliau masih menunggu kami, sementara itu mertuanya telah pulang. Kami kembali ngobrol ngalor-ngidul di ruang keluarga. Pada awalnya yang kami bicarakan adalah tema-tema ringan, bagaimana tadi perjalanan saya, apa tadi yang kami makan, dll. Hingga kami membicarakan tema yang cukup sensitive, yang sudah saya perkirakan akan kami singgung, yaitu pengalaman kesedihan yang pernah mereka alami.
Anak semata wayang mereka yang saya singgung di atas, Bunga, kemarin tidak naik kelas. Kejadian itu sungguh suatu pukulan yang sangat berat bagi mereka. Ada banyak alas an yang membuat mereka malu dan terpukul. Pertama, Bunga adalah ‘duta sekolah’ yang tahun lalu dating ke kampong halamannya untuk mempromosikan sekoalh, ternyata sekarang tidak naik kelas. Apakah anak itu sungguh bodoh atau ada hal lain yang berada di luar pengetahuan orangtuanya yang membuat Bunga tidak naik kelas.
Sejatinya si anak telah di masukkan ke dalam asrama dengan harapan akan memperoleh banyak pendampingan sehingga sukses dalam belajar. Namun ada hal-hal yang di luar perkiraan, yaitu perhatian dan relasi dengan sekolah dan anak. Di Malang, si anak memiliki seorang tante yang kerap dating membantunya, ia juga yang selalu dating ke sekolah mewakili orangtua Bunga. Yang salah adalah, apa-apa yang disampaikan oleh pihak sekolah melalui wali kelas, oleh tante Bunga tidak pernah diteruskan kepada orangtuanya.
Hal itu membuat orangtua Bunga tidak pernah merasa khawatir dengan anaknya. Sedangkan suster di asrama beranggapan bahwa masalah Bunga telah diurus oleh orangtuanya sendiri,s ebab setiap kali menerima raport, yang dating adalah keluarga, yaitu tantenya. Maka komunikasi sungguh-sungguh macet, bukan karena sulit berkomunikasi, tetapi karena saling mengandaikan. Akibatnya, ketika prilly harus divonis tidak naik kelas, dunia seakan-akan menjadi gempar bagi keluarganya. Banyak masukan mereka terima, untuk memindahkan ke sekolah lain, untuk meminta dispensasi agar distempel naik lalu pindah sekolah dst.dst.dst. Mereka sungguh-sungguh telah kehilangan kejernihan dalam berpikir, dan kebeningan dalam beriman.
Dengan air mata melelh di pipi, mereka mengungkapkan semua pergulatan batin mereka. Saya mencoba memahami dan memasukkan dalam hati sebagai sebuah pelajaran. Bahwa sebuah kesedihan, kegagalan, adalah pintu masuk untuk meraih kebahagiaan yang lebih besar. Bukan hanya teori, namun sebuah pengalaman nyata. Bagaimana keluarga ini bergerak lebih maju dengan pengalaman pahit yang mereka alami.
Segala kekalutan batin yang bergolak itu seperti disiram air ketika Bunga dengan penuh ketenangan memilih untuk tetap bertahan di DEMPO. Ia melihat dengan sungguh-sungguh bahwa tidak naik itu adalah hal biasa, tidak ada yang memalukan. Ia hanya kehilangan waktu satu tahun, ia akan lulus lebih lambat dari teman-teman sekampungnya. Ia juga memilih untuk pindah jurusan agar lebihs esuai dengan hasrat hati dan kesenangannya.
Air mata yang sekarang meleleh dari pelupuk mata Ibu Agus adalah air mata keharuan. Bagaimana anaknya bisa begitu tenang menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bagaimana ia bisa begitu tenang menyikapi kesedihan untuk melihat sesuatu yang lebih besar di kemudian hari.
Pesan:
1. Janganlah membuat rencana-rencana besar terhadap sesuatu yang belum kamu kenal. Bahkan rencana kecil pun jangan terlalu dipastikan jika kita tidak mengetahui apa-apa mengenai hal itu. Bertanya dan belajar dari banyak pengalaman pribadi-pribadi yang pernah mengalami akan membantu kita lebih realistis dan terhindar dari banyak kekeliruan dan penyesalan.
2. Don’t judge the books by the cover. Ungkapan sederhana itu bisa berlaku untuk banyak hal. Gambar bisa menipu, bahkan bisa terlihat lebih indah dari aslinya. Terlalu memercayai apa yang kelihatan mata tanpa mau mengerti lebih dalam isinya akan membuat kita kecewa.
3. Cahaya lilin akan terlihat semakin terang ketika lingkungan di sekitarnya semakin gelap. Kesedihan dan penderitaan besar yang kita alami adalah sarana untuk membuat cahaya dalam diri kita bersinar terang. Ketika penderitaan berhasil kita oleh dengan baik, ia akan berubah menjadi vitamin. Kesedihan dan penderitaan adalah alat-alat kecil untuk memperkuat jiwa.

Batu, Minggu 18 Januari 2009



Comments

Popular Posts