HATI YANG TERBAKAR : Tuhan ... kasihanilah kami! (bagian 1 dari 4 tulisan)



Pengantar
Saudara-saudari terkasih. Saya merayakan Ekaristi hampir setiap hari. Bahkan beberapa kali saya merayakan Ekaristi lebih dari satu kali. Terkadang saya merayakan Ekaristi bersama ratusan orang, tetapi kerapkali hanya bersama sedikit orang saja. Bersama umat paroki Port Melbourne yang sudah tua.
Di sana saya juga menjumpai umat yang setiap hari datang untuk mengikuti Ekaristi. Mereka datang setiap hari, entah panas atau dingin, berangin atau hujan, mereka selalu datang ke gereja untuk ikut dalam Ekaristi.
Beberapa kali saya bertanya: apakah sebenarnya yang saya cari? Apakah yang orang-orang tudan dan sederhana ini cari? Saya melihat diri saya sendiri; dalam pelayanan saya sebagai chaplain KKI, apakah saya sungguh memahami apa yang saya lakukan? Bepergian dari satu daerah ke daerah yang lain. Dari satu rumah ke rumah yang lain, hanya untuk merayakan Ekaristi. Sadarkah saya dengan yang saya lakukan?
Apakah yang saya lakukan ini berkaitan dengan kekudusan? Sama sekali tidak secara langsung. Artinya, perayaan yang saya lakukan atau ikuti, akan sungguh berarti jika saya hubungkan dengan pengalaman hidup sehari-hari. Jika nilai yang ada sungguh saya resapkan dalam hati dan saya ungkapkan dalam hidup. Jika tidak semua tidak akan ada artinya sama sekali. 
Ekaristi itu sumber energi bagi jiwa, dan kita akan sungguh merasakan jika membawa daya Ekaristi dalam hidup sehari-hari. Sumber ilahi dari Ekaristi memiliki hubungan yang erat akrap dengan pengalaman hidup sehari-hari. Mari kita lihat sekilas rangkain EKaristi mulai dari awal hingga akhir. Ketika kita berseru "Tuhan kasihanilah kami", ketika kita mendengarkan Sabda Tuhan, ketika kita melambungkan “aku percaya”, ketika kita mendengar imam berkata, “makanlah dan minumlah”, dan pada akhirnya saat imam berseru, “pergilah, kamu diutus”: apakah kita menemukan kaitannya dengan pengalaman hidup sehari-hari?
Untuk mendasarkan refleksi ini, kita akan memakai alur cerita kisah dua murid yang pulang ke Emaus. Kisah yang sangat terkenal di mana dua orang murid pulang kampung. Mari kita lihat kisahnya.

Jalan ke Emaus (Lukas 24:13-35)
Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi. 
Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia. Yesus berkata kepada mereka: "Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?" Maka berhentilah mereka dengan muka muram. Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawab-Nya: "Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?" 
Kata-Nya kepada mereka: "Apakah itu?" Jawab mereka: "Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi. Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami: Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat."
Lalu Ia berkata kepada mereka: "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?"
Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.
Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: "Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam." 
Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka.
Kata mereka seorang kepada yang lain: "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" Lalu bangunlah mereka dan terus kembali ke Yerusalem. Di situ mereka mendapati kesebelas murid itu. Mereka sedang berkumpul bersama-sama dengan teman-teman mereka. Kata mereka itu: "Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon." Lalu kedua orang itupun menceriterakan apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Dia pada waktu Ia memecah-mecahkan roti.

Meratapi Kehilangan : Tuhan Kasihanilah Kami
Para Saudara terkasih, dua orang murid Yesus berjalan pulang ke kampungnya. Mereka berjalan dengan sedih. Mereka baru saja kehilangan seorang Guru yang telah mengubah seluruh hidup mereka. Kisah kesedihan mereka bisa kita pahami jika kita mau sejenak menengok ke belakang, kepada pengalaman pribadi para murid itu.
Kebanyakan para murid adalah orang-orang sederhana. Mereka adalah nelayan, atau petani. Mereka mengerjakan apa yang turun temurun dikerjakan oleh orangtua mereka. Kita bisa melihat itu dalam diri Yohanes dan Yakobus, juga Andreas dan adiknya Simon. Mereka adalah nelayan. Sehari-hari mereka bekerja, entah sendiri atau dalam perusahan milik keluarga.
Kehidupan mereka sontak berubah ketika ada orang asing menemui mereka dan mengajak mereka. ‘Orang Asing’ dari Nazareth telah membuat segalanya baru. Orang asing itu menawarkan sesuatu yang selama ini tidak pernah mereka lihat. Ia telah mengubah beban hidup sehari-hari mereka menjadi sebuah tantangan, ia telah mengubah ladang-ladang penuh perangkap menjadi sebuah tempat yang penuh harapan tiada akhir. Dia telah membawa kegembiraan dan damai dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dia telah membuat hidup mereka yang dipenuhi rutinitas belaka menjadi sebuah tarian indah yang penuh kejutan!
Namun saat ini semua berbeda. tiga tahun berlalu. Sekarang semuanya telah berubah. Sekarang dia telah mati. Badannya telah diremukkan oleh siksaan. Lambungnya telah ditusuk oleh kekerasan dan kedegilan. Matanya penuh binar, yang memukau ribuan orang yang mendengarkannya, kini tinggal menyisakan lobang kosong. Tangannya yang dulu memberi keteguhan pada tubuh-tubuh yang lelah, kini telah kehilangan daya cengkeramannya, kakinya juga telah kehilangan ketegapannya. Dia yang dulu adalah segalanya, kini telah menjadi bukan siapa-siapa. Dia bahkan telah kehilangan dirinya sendiri. Bukan hanya dirinya yang telah kehilangan, tetapi juga mereka semua. Mereka yang mengikutinya, yang menancapkan segala harap pada pundaknya. Kekuatan yang mengisi mereka siang dan malam, yang memampukan mereka melintasi segala lembah dan bukit, kini telah lenyap sama sekali. Semuanya telah hilang.
Saudari-saudara terkasih, di dalam banyak hal, kita juga seperti mereka. Kita seperti para murid itu. Jika kita cukup berani menempatkan diri kita dalam pengalaman para murid, kita akan menemukan satu kesamaan dengan mereka. Ada satu kata yang menurut saya  mampu menggambarkan semuanya. Yaitu kata “kehilangan”. Kita telah kehilangan banyak hal. Bahkan hidup kita ini juga seperti rangkaian kehilangan. Ketika dilahirkan, kita kehilangan kenyamanan rahim. Ketika kita masuk sekolah, kita menangis, karena kehilangan kenyamanan dan rasa aman dalam lindungan keluarga. Ketika seseorang memulai pekerjaannya, dia kehilangan keceriaan masa sekolah dan masa mudanya. Ketika seseorang menikah, atau memutuskan hidup selibat, ia juga kehilangan sesuatu. Ia kehilangan banyak pilihan dan terkadang kegembiraan. Ketika kita beranjak tua, kita kehilangan ketegapan masa muda, kemampuan melihat dan mendengar, kemampuan kosnentrasi, bahkan kita mulai kehilangan teman-teman masa muda dan kehilangan pamor. Dan seterusnya.
Jika kehilangan adalah sebuah proses biasa, mengapa mesti ada kesedihan. Mengapa para murid bersedih? Mengapa kita bersedih atas berbagai kehilangan yang kita alami? Kita sedih karena dalam hidup ada banyak kehilangan yang tidak sewajarnya. Kehilangan teman karena sebuah pengkhianatan. Kehilangan keluarga karena kecelakaan, sakit, bencana. Kehilangan kenyamanan hidup karena kejahatan. Dan seterusnya. Kehilangan semacam itu sungguh menyesakkan. Sesuatu yang tidak pada tempatnya. Sesuatu yang menyedihkan.
Mungkin pengalaman-pengalaman itu jauh dari pengalaman keseharian kita. Mungkin kita hanya membaca dari surat kabar, atau melihat beritanya di televisi. Satu hal yang pasti, pengalaman kehilangan itu ada, ia tidak tidak hilang. Ia ada dan hadir. Bahkan dekat dengan hidup kita. Lantas apa yang bisa kita lakukan. Apa yang harus kita perbuat dengan segala pengalaman kehilangan itu? Haruskah kita menyembunyikannya, atau kita membawanya terus dalam peziarahan hidup ini? Atau kita melemparkan segala luka atas berbagai kehilangan itu dengan menyalahkan seseorang?
Kita meratapi kesedihan. Kita meratapi kehilangan. Kita meratapi keadaan dunia yang hancur oleh keserakahan, oleh kejahatan dan dosa-dosa. Kita menjadi bagian yang remuk redam. Hati kita remuk oleh berbagai peristiwa kehilangan. Hati kita tercabik oleh berbagai pengalaman pahit, entah kita alami sendiri atau yang menimpa orang-orang terdekat kita.
Seperti itulah keadaan ketika kita datang kepada Tuhan. Seperti itulah keadaan ketika kita menghadiri perayaan Ekaristi. kita hadir sebagai pribadi yang remuk redam. Kita datang ke Ekaristi dengan membawa hati yang tercabik-cabik oleh berbagai pengalaman pahit. Kita datang sebagai orang yang terluka. Seperti dua murid yang pulang kembali ke kampungnya kita berseru : “Padahal kami dahulu mengharapkan.... tetapi Dia tidak mereka lihat.” Kepala kami tidak lagi tegak. Daya kami telah musnah. Tuhan berikan kasihMu, berikan pengampunanMu. Tuhan, kasihanilah kami.
Di sinilah peziarahan kita dimulai. Peziarahan membawa luka. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam perjalanan itu, dalam peziarahan itu. Bahwa segala pengalaman kehilangan akan dapat menuntun orang kepada balas dendam (resentment), atau kepada hidup dengan penuh rasa syukur (gratitude).
Dendam adalah salah satu kekuatan merusak yang paling hebat yang dimilki manusia. Sayangnya banyak orang memilih cara ini guna menghadapi kehilangan. Sangat susah menghindar dari dendam dalam menghadapi proses kehilangan, seberapapun kecilnya. Contoh adalah apa yang saya alami dalam memberi khotbah atau pengajaran. Kerapkali saya membuat contoh-contoh kejadian yang dialami orang lain, untuk memberi gambaran suatu hal yang buruk. Contoh buruk dari apa yang dialami oleh orang lain. Itu sangat tidak adil. Itu adalah bentuk pengungkapan dendam juga, karena yang saya berikan adalah contoh buruk. Di lain pihak, di lubuk hati saya, masih ada sudut-sudut yang dihuni oleh dendam. Ia bersembunyi, ia menyelimuti dirinya dengan banyak hal. Kerap dia keluar dengan selubung-selubung halus penuh hiasan indah. Namun tetap saja, ini tidak bagus. 
Pilihan yang tepat adalah bersyukur. Namun sangat berat. Bersyukur atas kehilangan. Bagaimana kita mendewasakan diri kita dengan banyaknya kehilangan dan bahaya dendam yang mengintai. Di sinilah Ekaristi memiliki peran. Di sinilah tempat di mana kita mendapatkan harapan. Dimana manusia tidak lagi melihat adanya kesempatan untuk bertumbuh kembang, allah memiliki peran. Ekaristi adalah jawaban.
Kata Ekaristi memiliki arti dasar, ‘ungkapan syukur’. Maka merayakan Ekaristi dalam hidup sehari-hari erat kaitannya dengan merayakan syukur. Di sinilah terjadi titik perubahan; di mana kita datang kepada perayaan syukur dengan hati yang remuk redam. Kita datang kepada ekaristi untuk membawa setiap luka akibat berbagai kehilangan hingga menjadi sebuah syukur atas rahmat kehidupan. Di sini juga kita akan menemukan keindahan hidup, dimana kita temukan kaitan yang erat antara kerapuhan, kematian dan kebangkitan. Dimana setiap luka akan mendapatkan pemenuhannya.
Setiap Ekaristi diawali dengan seruan, “Tuhan Kasihanilah kami”. Seruan ini bukan hiasan di bibir. Seruan ini berasal dari umat Tuhan yang hatinya tercabik-cabik. Seruan ini seperti tangisan dari hati yang penuh luka, hati yang penuh dosa.
Seruan Tuhan kasihanilah kami adalah sebuah doa mohon belas kasih Allah. Sebuah doa mohon kerahiman Allah atas segala dosa. Kita yang datang kepada Allah dengan segala luka. Bukan hanya karena luka manusiawi yang disebabkan oleh sesama, tetapi kerapkali adalah luka-luka karena kesalahan kita sendiri. Karena dosa-dosa. Luka itu hanya bisa disembuhkan oleh Tuhan, maka kita berseru Tuhan kasihanilah kami. Maka ketika kita berseru, ‘Tuhan kasihanilah kami’, hendaklah kita berseru sepenuh hati. Berseru dari kedalaman hati yang paling dasar. Berseru dari ketulusan niat. Bukan sekadar hiasan bibir belaka. Seruan Tuhan kasihanilah kami menjadi sebuah seruan persatuan kasih, dan kesatuan itu tidak akan pernah berakhir. Kesatuan yang menyembuhkan. (bersambung)   

Comments

Popular Posts