Si kecil yang tidak pernah besar…




Sahabat, apakah kalian pernah menonton film ‘The Kid’ yang diperankan oleh Bruce Willis? Saya baru saja menonton film tersebut. Bukan film baru, sepertinya diproduksi tahun 2000 yang lalu.  Film ini bergenre komedi meskipun sebenarnya bukan komedi. Film ini penuh unsur psikologi.
Diceritakan bahwa Russ Duritz (Bruce Willis) berusia menjelang 40 tahun. Dia sukses dalam pekerjaan sebagai ‘image consultant’. Kira-kira jenis pekerjaan itu adalah memberi masukin kepada orang lain mengenai tampilan mereka. Agar nampak lebih baik. Hal ini tidak penting dalam refleksi ini. Yang lebih penting adalah kisah selanjutnya. Russ kedatangan tamu, seorang anak kecil berusia menjelang 8 tahun. Namanya Rusty.
Rusty tiba-tiba saja masuk ke dalam rumah Russ. Tentu saja si empunya rumah mengira bahwa ada pencuri. Dia kejar si Rusty hingga sampai di landasan kapal-kapal kuno, jenis cesna. Dia lihat Rusty masuk ke sebuah café, tetapi ketika dicari tidak ada. Ternyata ia sudah ada di rumah.
Mereka berkenalan. Di sini semua yang mengejutkan terjadi. Rusty bisa menebak seluruh rahasia kecil Ruus. Bahkan keduanya memiliki bekas-bekas luka yang sama. Sungguh aneh. Sebuah halusinasi yang terlalu jelas. Terlalu nyata, karena dia ada di sana, makan dan minum.

Pertanyaan bulan purnama
Akhirnya mereka sama-sama tahu. Bahwa Rusty adalah Russ kecil. Mereka mulai bercakap-cakap. Tentang mereka. Rusty banyak bertanya, mengenai dirinya setelah dewasa. Apa yang terjadi. Bagaimana dengan anjing, apakah ia tumbuh dengan memelihara anjing atau tidak. Betapa sedihnya Rusty tatkala mengetahui bahwa ketika ia sudah lebih dewasa, ia tumbuh tanpa memelihara anjing. Dan betapa lebih sedih hati Rusty karena sampai usia menjelang 40 Russ belum mampu menjawab sebuah pertanyaan, mengapa ketika bulan purnama baru terbit kerapkali berwarna jingga dan bukan putih? Rusty sedih karena Russ tidak pernah belajar. Ia banyak memendam dan mengubur, bukan belajar.
Sahabat, sambil nonton ingatan selalu berlompatan dari masa ke masa. Mengenang masa-masa kecil. Dan berusaha menembus batas terkecil yang mungkin bisa saya kenali. Tidak banyak memang yang bisa saya raih, tetapi cukup untuk menjadi celah bagi yang lainnya. Menggali peristiwa dan pertanyaan yang pernah muncul di masa kecil dan belum pernah terwujud.
Pertanyaan Rusty mengenai warna bulan purnama yang berwarna kejingga-jinggaan sewaktu terbit hanyalah satu dari sekian banyak yang mungkin pernah ada. Satu peristiwa yang terkuak juga mungkin hanya satu dari sekian banyak yang secara sadar atau tidak berusaha kita pendam. Bukankah ini yang kerap kita dengar? Aku sudah mengubur masa laluku. Semuanya sudah mati. Aku kini telah menajdi pribadi yang berbeda. Pribadi lama, pribadi pecundang telah mati, sekarang yang ada adalah pribadi pemenang. Dan masih banyak ungkapan senada yang kerap kita dengar. Apakah benar pribadi lama kita telah mati? Benarkah dia tidak pernah muncul kembali?

Dia tetap hidup
Menurut para ahli psikologi, dalam diri kita tinggal tiga pribadi. Pertama adalah pribadi kita yang sekarang, yang kedua adalah ‘si kecil’, dan ketiga adalah pribadi kita yang tua. Mereka hidup berdampingan. Jika pengalaman yang ada adalah pengalaman luka, maka jalan hidup yang dilalui akan diiringi tetesan air mata. Sebaliknya jika pengalaman yang ada adalah suka cita, jalan hidupnya akan banyak diwarnai derai tawa.
Bagaimanakah mengenali ketiga pribadi yang ada dalam diri kita? terlebih lagi, bagaimana mengenali ‘si kecil’ yang tetap hidup dalam diri kita? sebenarnya mudah. Yaitu kenalilah diri kita sendiri kalau lelah, capai fisik dan mental, atau kalau marah atau sedih.  Terkadang kita bisa marah secara meledak-ledak hanya karena alasan yang sederhana saja. Atau kita bisa sedih yang tertahankan karena hal-hal tertentu, atau mengalami ketakutan terhadap peristiwa atau benda tertentu. Mengapa hal itu terjadi? Apakah kita pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Mengapa saya marah ketika dibohongi? Apakah saya memiliki pengalaman dibohongi yang menyakitkan? Mengapa saya marah dengan perilaku seseorang yang sebenarnya tidak berkaitan dengan hidup saya. Mengapa semua ini terjadi?
Saya teringat peristiwa tahun 1997, ketika saya duduk di kelas kedua Novisiat Karmel di Batu Malang. Saat itu saya tiba-tiba tida suka dengan satu frater adik kelas. Dia baru masuk, dan saya tidak pernah mengenal dia sebelumnya. Dia berasal dari Semarang sedangkan saya berasal dari Malang. Tetapi saat pertama kali bertemu dengannya saya sudah tidak suka. Berikutnya semakin parah. Apapun yang dia lakukan selalu salah di mata saya.
Keadaan ini semakin memburuk karena saya kemudian membenci dia tanpa alasan yang jelas. Saya sendiri bingung mengapa hal itu bisa terjadi. Maka saya mencoba mundur ke belakang, melihat aneka pengalaman yang berkaitan dengan person maupun peristiwa. Apakah ada perjumpaan-perjumpaan dengan orang yang mirip dengan adik kelas saya ini.
Hal itu saya temukan pada tahun 1992, ketika saya duduk di kelas persiapan di seminari menengah di Malang. Saat itu ada kakak kelas yang membohongi kami. Dia mengurus membuatkan jaket seminari. Harganya mahal tetapi kualitasnya jelek sekali. Warna dan bahannya sangat jelek. Kami sadar bahwa kami ditipu, tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi peristiwa ini, terutama pribadi ini terekam dalam alam bawah sadar saya. Pengalaman itu kemudian muncul ketika saya berjumpa dengan orang yang sangat mirip dengan kakak kelas saya ini. Sial bagi frater adik kelas saya ini, dia harus menanggung akibat luka batin di masa lalu saya.
Apakah sumbernya memang ada di sana? Apakah pengalaman ditipu kakak kelas itu saja yang sungguh membuat saya begitu tidak menyukai frater adik kelas saya ini? Rupanya tidak. Jika saya telusur ke belakang, kepada pengalaman lebih dini dalam hidup saya, ada pengalaman ditipu yang pernah saya alami. Karena pengalaman itu terjadi di masa kecil, di mana saya kalah oleh keadaan, hal tersebut saya simpan begitu saja. Saya pendam dalam-dalam. Sebenarnya pengalaman itu hanyalah pengalaman permainan biasa. Permainan kelereng dan karet sebagaimana biasanya. Namun karena saya bermain dengan anak-anak yang lebih besar dari saya maka saya selalu ‘dikalahkan’. Bahkan tidak jarang mereka bermain curang. Mereka bersekongkol untuk mengalahkan saya. Hasilnya jelas, saya tidak pernah menang dalam setiap permainan yang kami lakukan. Saya tidak berkutik menghadapi itu semua meski saya tahu bahwa mereka bermain curang. Rupanya meski saya berusaha mengubur pengalaman itu dalam-dalam, toh ia tetap hidup dan sesekali muncul dalam pengalaman-pengalaman serupa.

Mengenal si kecil
Dia yang tetap hidup dalam diri kita itu mesti dikenali. Hal pertama yang harus kita tanam dalam budi adalah pemahaman bahwa anak-anak itu memiliki masa indah. Di manakah kita menjumpai anak-anak tidak sibuk bermain-main? Di manapun anak-anak berada dia selalu bermain. Dunianya adalah bermain, apapun di sekitarnya adalah alat permainan dan tempat bermain yang menyenangkan. Jika kita jujur dengan diri sendiri, perasaan semacam ini masih ada dalam diri kita. Mungkin kita menekan perasaan dan keinginan untuk bermain. Kerap kita dengar ungkapan, ‘seperti anak kecil saja suka bermain!’. Dengan itu si kecil yang ingin bermain telah sukses kita desak untuk masuk ke dalam lubang persembunyian.
Hal itu adalah bagian dari si kecil yang juga mengalami luka-luka. Dampaknya bisa sangat negatif meski yang terjadi sederhana saja. Ditolak, tidak diindahkan keberadaannya, selalu dianggap ‘pupuk bawang’ di tempat permainan, adalah pengalaman yang menyakitkan. Perasaan semacam itu juga kerap kita bawa. Lebih menyedihkan lagi karena kita bangga dengan perasaan dan pengalaman itu. Betapa sering kita mendengar ungkapan, ‘aku itu yang begitu, terimalah aku apa adanya yang tidak bisa ini atau itu, tidak suka ini dan itu!’. Sangat menyedihkan. Tetapi itu sering kita dengar.
Mengenali si kecil di dalam diri sangat berguna untuk kemudian bertumbuh dengan lebih baik. Bagaimanakah langkah praktis yang bisa dilakukan? Ada beberapa hal. Pertama melakukan dialog dengan si kecil secara langsung, bisa verbal maupun tertulis. Kedua mengenali fenomena. Bisa melalui mimpi-mimpi atau keinginan-keinginan yang kerap tidak kita sadari. Sedapat mungkin fenomena-fenomena itu dicatat untuk dikenali. Lama kelamaan kita akan semakin memahami dan mengenal si kecil yang ada di dalam diri.

Berdialog dengan ‘si kecil’
Langkah pertama mengenal si kecil lebih jauh adalah dengan mengajaknya berdialog. Ini cukup efektif. Karena anak kecil itu suka diajak berbicara, diajak ngobrol dan bermain. Dia suka didengarkan. Dia akan berbicara apa saja yang dia alami dan temui. Hal baru selalu menyenangkannya. Bukankah itu pengalaman kita sendiri? Bukankah kita sangat suka kalau pulang sekolah, dengan kelelahan dan kekotoran karena bermain, lalu kita berceloteh dan didengarkan.
Sebaliknya, alangkah sedihnya kalau tidak ada yang mau mendengarkan cerita-cerita indah yang kita miliki. Alangkah kecewanya si kecil ketika gelora membara dalam dada akhirnya musnah seketika karena tiada telinga hati yang mau menadah setiap celoteh rindunya.
Kerinduan si kecil untuk didengarkan, untuk dianggap keberadaannya itu tetap ada hingga kini. Dia akan senang dan berani mengungkapkan dirinya dengan jujur kalau kita mau terbuka. Caranya sederhana saja. yaitu berdilog dengannya. Mengajaknya bercakap-cakap. Membiarkan dia mengekspresikan diri dengan bebas. Tanpa diadili dan dimarahi, apalagi dipersalahkan. Jika kalian hendak mencoba berdialog, saya bisa membagi pengalaman sedikit saja.
Ambillah selembar kertas. Ambillah dua pena, satu dipegang dengan tangan kiri dan satunya dengan tangan kanan. Mulailah bercakap-cakap dengan tulisan. Tangan yang dominan, yang biasa Anda gunakan sehari-hari adalah perwujudan Anda sekarang. Sebaliknya tangan non dominan, yang hampir tidak pernah Anda gunakan dalam hidup sehari-hari, adalah perwujudan si kecil dalam diri Anda.
Percakapan bisa dimulai dengan menanyakan kabar. Tangan dominan menulis pertanyaan dan tangan non dominan menjawabnya. Satu hal yang harus diingat bahwa tidak boleh ada pengadilan. Biarkan tangan non dominan yang adalah perwujudan si kecil mengungkapkan dirinya sendiri.
Terkadang baik juga kalau dia diberi kesempatan untuk berekspresi dengan menggambar. Biarkan dia mengungkapkan diri dalam gambar. Apa yang menyenangkan atau apa yang membuatnya marah, atau apa saja yang masih tersimpan dalam kenangan masa kecil dulu. Langkah ini adalah langkah penyembuhan. Apa yang tidak bisa diungkapkan di masa kecil dulu karena kekangan dan aneka larangan, sekarang bisa diungkap dengan leluasa. Juga akan muncul hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan. Misalnya, tiba-tiba kita bisa menggambar dengan baik. Itu saya alami. Karena membiarkan tangan non dominan saya mencoret-coret kertas, akhirnya tertuanglah berbagai gambar. Hal ini sangat mengejutkan karena saya tidak pernah menggambar, bahkan selama hidup saya, saya mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa saya tidak bisa menggambar.
Dalam kesempatan lain Anda bisa mencoba cara yang lain. Misalnya, dalam kamar sendirian, berdialoglah dengan si kecil dengan cara verbal. Anda bisa menggunakan cermina, atau fantasi visual belaka. Bercakap-cakaplah dengannya. Mungkin tidak bisa langsung berdialog dengan lancer. Maka heningkan diri sejenak, pejamkan mata, hadirlah dalam alam yang tenang, di tempat yang pernah dikunjungi oleh si kecil yang meninggalkan perasaan senang. Di sana mulailah percakapan. Terkadang bisa juga dengan menari-nari, mengekspresikan diri. Jika hal ini dilakukan dengan rutin, si kecil dalam diri kita akan membantu kita bertumbuh dengan baik. Itu namanya ‘si kecil lahir kembali’.

Lahir kembali
Setelah mengenali si kecil dengan lebih baik melalui dialog dan sarana yang lain, kini saatnya untuk memberi kesempatan si kecil dalam diri kita lahir kembali. Mungkin Anda berpikir apakah mungkin? Apakah bisa? Hal itu mungkin dan bahkan si kecil itu harus dilahirkan kembali. Si kecil yang terlahir kembali itu bisa menjadi si kecil yang periang, yang kreatif dan yang saleh. Ini adalah perwujudan sejati si kecil. Tidak ada si kecil yang pemurung dan sedih, yang malas dan mudah menyerah atau si kecil yang jahat. Orangtualah yang kerap memberinya cap sebagai malas, nakal, dan bahkan jahat. Sungguh, si kecil itu selalu gembira dan menyenangkan, senantiasa kreatif dan saleh (religious).
Bagaimanakah cara  melahirkan kembali si kecil yang periang? Yaitu dengan bersikap apa adanya. Tidak mencari-cari sesuatu untuk menambah kegembiraan. Sifat anak kecil yang simple dan sederhana. Ia bsia bermain dengan alat yang sederhana. Seorang anak tidak mencari-cari. Ia tetap gembira dengan apa yang ada di sekitarnya. Ia tetap gembira dan kerap muncul lelucon-lelucon.
Ketika si kecil yang periang bisa kita lahirkan kembali, hidup kita akan sangat menyenangkan. Bahkan tidak jarang kita akan kelihatan lebih muda. Karena ada banyak sel baru tumbuh dengan segar. Hidup yang dijalani mungkin masih penuh masalah, namun hal itu tidak menggelisahkannya lagi. Dia akan mampu menghadapi dengan hati yang gembira. Bukan hanya itu, dalam kehidupans ehari-hari ia juga akan memancarkan kegembiraan yang alami. Orang merasa nyaman dekat dengan mereka. Sikapnya apa adanya dan tulus tanpa kepalsuan. Orang merasa aman tanpa takut dikhianati ketia bersamanya.
Kita bisa melihat hal ini dalam diri anak-anak. Jarang sekali kita jumpai anak-anak yang murung. Mereka selalu ceria dan menyenangkan. Hampir tidak ada orang yang sedih dan marah ketika melihat anak-anak. Yang ada adalah sebaliknya. Orang dibuat gemas dan gembira, ingin mencubit dan bermain bersama. Anak-anak yang apa adanya itu memancarkan aura kegembiraan. Itulah si kecild alam diri kita yang sedapatnya dilahirkan kembali.
Sifat si kecil yang kedua adalah kreatif. Si kecil seperti ini mesti dilahirkan kembali. Dia adalah daya dorong dalam hidup. Yang tidak pernah menyerah dengan situasi sulit. Dia akan menemukan jalan-jalan baru dalam hidup. Dalam pekerjaanpun dia akan sukses karena memiliki banyak jalan dan cara untuk mencapai tujuan.
Anak kecil biasanya kreatif. Selalu menemukan cara untuk bisa bermain. Sayang bahwa kreatifitas anak ini kerap dimaknai sebagai ‘anak nakal’. Akibatnya dia dilarang melakukan ini atau itu. Alasannya, agar anak tersebut tidak menajdi nakal. Akibat yang didapat adalah anak itu tidak berkembang dan tidak bisa apa-apa. Daya kreativitasnya mampet. Karena sejak kecil dia diberitahu bahwa kreatif itu berarti nakal, berarti menjadi anak yang tidak baik.
Sungguh, si kecil yang kreatif ini harus dilahirkan kembali. Ada latihan-latihan yang bisa dilakukan untuk melahirkan kembali si kecil yang kreatif ini. Misalnya memberinya kesempatan untuk mengungkapkan diri. Cara sederhana berikut mungkin bisa membantu.
Pertama carilah tempat yang sepi, yang memungkinkan Anda cukup bebas berekspresi. Kemudian kenangkan masa-masa kecil Anda. Kenangkan keinginan-keinginan dan mimpi-mimpi di masa kecil. Setiap dari dari kita memiliki keinginan dan mimpi. Kerap hal itu kita kubur dalam-dalam karena dilarang atau keadaan tidak memungkinkan. Coba gali seluas-luasnya. Dan sedapat mungkin ungkapkan. Jika Anda ingin menari menarilah, jika Anda ingin bernyanyi, bernyanyilah. Jika Anda ingin menggambar, menggambarlah. Jangan kekang dengan mengatakan bahwa itu tidak baik. Jangan diadili dan dinilai, misalnya gerakanmu kaku, suaramu fals, gambarmu jelek. Biarkan semuanya mengalir. Biarkan si kecil ini mengekspresikan dirinya sendiri. Jika ada hal-hal lain yang ingin dilakukan, turutilah. Bebaskan dia dalam berekspresi. Jika ini berhasil kita lakukan, apa yang saya katakana di atas bisa terwujud. Yaitu kita menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah. Yang selalu menemukan jalan untuk maju dalam usaha dan dalam hidup. Bukankah ini sangat luar biasa?
Sifat si kecil yang ketiga adalah saleh atau religius. Dialah suara di dalam diri kita yang kerap memanggil kita untuk ‘pulang’. Pulang dalam kesejatian hidup. Sifat yang menyatu dengan kehendak Allah, seperti ketika Allah membentuk manusia. Bukankah setiap manusia selalu dihembusi dengan nafas Allah ketika diciptakan? Nafas Allah itu ada di dalam setiap manusia. Dialah yang mampu menangkap indahnya malam kelam dengan bintang-bintang. Dialah yang mampu mendengar musik indah dalam setiap deburan ombak atau hembusan angina dan gesekan daun-daun.
Bagaimana melahirkan kembali di kecil yang saleh dan rohani ini? Caranya adalah dengan memupuk hidup doa dan meditasi. Menyadari bahwa kita ini semua adalah anak-anak Allah. Menyadari bahwa allah tinggal di dalam diri kita karena kita menerima nafas-Nya ketika kita dijadikan.
Sahabat, ketiga sifat si kecil ini sebenarnya berkaitan. Maka akan sangat mengagumkan kalau kita bisa melahirkan kembali semuanya. Yang periang, yang kreatif dan yang saleh. Bukankah akan sangat luar biasa kalau sifat periang dan tidak mau menyerah dilengkapi dengan kemampuan bersyukur. Bukankah akan sangat indah kalau kita bisa melihat sesuatu yang hebat dalam sesuatu yang sederhana? Karena angina dan nafas adalah hal yang sederhana, namun sekaligus hebat. Tanpanya kita semua mati. Padahal kita tidak pernah menghiraukannya. Semuanya mengalir begitu saja.

Kasih Allah pembebas
Allah senantiasa merencanakan yang terbaik bagi manusia. Hal ini pernah diungkapkan oleh Nabi Yeremia. Rancangan Tuhan bukanlah rancangan kecelakaan, melainkan rancangan keselamatan. Di sini kita pahamis atu hal bahwa tidak ada kecelakaan dalam pengalaman hidup kita. seburuh dan sekelam apapun yang pernah kita alami, tidak pernah ada kecelakaan. Selalu ada makna dan pelajaran yang bisa diraih.
Berkaitan dengan pengalaman masa kecil, kita bisa mendapat satu hal penjelasan. Itulah pengalaman terbaik yang bisa kita peroleh. Kita tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan oleh siapa dan di mana. Saya tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan di Jakarta atau Melbourne atau Surabaya. Saya lahir di Malang, bukan di kota namun di desa. Saya tidak bisa mengharapkan sesuatu yang lebih. Itulah yang saya peroleh dan itulah yang terbaik. Saya dilahirkan sebagai anak sulung. Saya tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ayah saya Bapak Darmono dan Ibu saya Katarina Tini. Apapun keadaan mereka, itulah yang diberikan Tuhan kepada saya. Itu semua hal terbaik yang saya peroleh. Saya tidak bisa berandai-andai.
Di sinilah letak kebesaran Tuhan. Dia mengatur semuanya. Dia merencanakan segala yang baik yang bisa saya peroleh. Mari kita menoleh ke belakang, kepada apa yang dibuat oleh Yesus. Ada satu kisah yang sangat terkenal, Yesus memebrkati anak-anak.
Dikisahkan bahwa banyak ibu-ibu membawa anak mereka kepada Yesus. Padahal waktu itu Yesus sedang beristirahat. Para murid melang ibu-ibu itu dengan alasan akan menggangu Yesus yang sedang beristirahat. Namun Yesus memiliki sikap berbeda. Dia menerima anak-anak itu untuk datang kepada-Nya. Ia memberkati mereka. Penerimaan dari Yesus ini banyak mengubah. Kemungkinan anak-anak itu menjadi begitu senang dan bebas bermain-main dengan Yesus. Saya membayangkan ada yang tiba-tiba memeluk dari belakang, menarik jubah-Nya, duduk dipangkuan-Nya dan seterusnya. Anak-anak tidak tahu apa itu artinya tidak sopan. Anak-anak tampil apa adanya. Mereka hanya merasakan keceriaan dan sukacita karena diterima. Orangtualah yang kerap bingung dengan sopan dan tidak sopan.
Pengalaman kedua, bisa kita jumpai dalam diri Yesus sendiri yang masih kanak-kanak. Ketika berumur 12 tahun dan tertinggal di bait Allah. Mungkin tidak tertinggal, namun sengaja tinggal di sana. Tindakan itu menggelisahkan. Dan Maria tidak kuasa menahan diri untuk tidak ‘ngomel’. Namun mereka mencoba memahami apa yang terjadi. Mereka menerima Yesus apa adanya. Hal itu membantu Dia bertumbuh dengan baik. Diceritakan bahwa Yesus akhirnya bertumbuh makin dewasa dan menyenangkan Allah dan manusia.
Allah yang merencanakan keselamatan bagi manusia, kemudian ditunjukkan dengan sikap Yesus yang menerima apa adanya sungguhlah kekuatan yang baik. Kekuatan penyembuh yang maha dahsyat. Aneka penyakit yang muncul dewasa ini hamper semua bermula dari hilangnya cinta dari kehidupan mereka. Cinta mampu hilang karena alpanya perhatian dan penerimaan. Orang yang dicintai adalah orang yang diterima apa adanya. Di sinilah kekuatan penyembuhan dari Allah. Dia menerima dan mencintai kita apa adanya. Itulah kemudian yang bisa kita buat dan kembangkan.
Menerima dan mencintai. Maka kalau kita berjumpa dengan banyak pribadi yang membawa luka dari masa lalunya, mesti dibantu untuk bisa menerima dan berdamai. Ada pengalaman-pengalaman buruk. Mereka tidak bisa memilih, seperti yang saya ungkapkan di atas. Bahwa apa yang pernah kita alami di masa lalu adalah yang terbaik yang mungkin bisa kita dapatkan. Kalau ada hal-hal buruk di masa lampau, saatnyalah untuk disembuhkan. Kita juga sudah melihat bahwa si kecil itu harus dilahirkan kembali agar kehidupan kita sungguh bermakna.
Allah itu penyembuh. Dia menyembuhkan bukan hanya badan, tetapi juga jiwa dan roh. Dia bukan hanya menyembuhkan penyakit-penyakit fisik, namun juga luka-luka batin yang diderita seseorang. Dalam Kitab Suci kita melihat bagaimana pribadi-pribadi yang mendapat kesembuhan dari Yesus hidup mereka sontak berubah. Kegembiraan dan suka cita sungguh terasa. Sebagian besar dari mereka kemudian mengikuti Yesus kemanapun Dia pergi.
Apakah hal itu berarti tidak ada tuntutan? Ada. Yesus selalu meminta iman. Di sini berarti Yesus meminta kerjasama dari pihak manusia. Allah memiliki kuasa, namun jika manusia tidak percaya kuasa itu tidak akan bekerja. Santo Paulus menegaskan hal itu dengan amat jelas dengan mengambil contoh Abraham. Bahwa dia diselamatkan melulu karena imannya.

Penutup
Sahabat, sudah sangat panjang saya menulis. Masih ada banyak hal yang hendak saya tuang dalam catatan ini, namun saya harus membatasi diri. Karena jika tidak saya batasi, catatan ini akan sulit dipahami. Sebagai penutup saya ingin membagikan cerita.
Selama ini saya tidak pernah melukis/menggambar. Apalagi menggambar profil wajah atau membuat karikatur. Namun dalam dua minggu ini saya menggabar banyak sekali sketsa wajah. Mulanya coretan tangan non dominan menggambarkan impian-impian masa kecil. Coretan-coretan tangan dominan menggambar profile orangtua saya dan seterusnya. Dari sana saya membebaskan diri saya berekspresi. Saya membeli satu rim kertas kuarto. Saya biarkan tangan ini mengisi tiap lembar dengan sketsa-sketsa. Semuanya saya puji ‘bagus’. Saya sungguh memujinya, karena saya tidak pernah melakukannya. Bahkan teman-teman berkomentar, ‘kamu bisa menjadi kartunis’. Saya tidak memikirkannya. Saya hanya berusaha melahirkan si kecil yang ada dalam diri saya. Saya membiarkannya berkreasi. Hasilnya, hidup lebih menyenangkan dan lebih ringan. Anda bisa melakukannya dengan cara yang Anda pilih sendiri.
Oh iya, saya sampai melupakan Rusty, yaitu Russ kecil. Dia bertanya mengapa kadang-kadang bulan purnama itu berwarna jingga. Siapa tahu Anda penasaran. Bulan terkadang berwarna jingga karena ketika sinar rembulan harus menembus atsmosfir, ada benturan warna. Ketika rembulan semakin tinggi, warna biru yang memancar itu bersinar menyebar sedangkan warna merah menghalangi dan meneruskannya kepada mata kita sehingga rembulan itu nampak jingga.

Salatiga,
2 Februari 2013
Pesta Yesus dipersembahkan di kenisah.

Comments

Popular Posts