Bejana Yang Retak


Bejana Yang Retak
Belajar dari Kisah Anak yang Hilang

Sahabat, pernahkah kalian melihat sebuah bejana atau tembikar? Benda ini ragamnya banyak sekali. Ada yang sederhana dan ada yang bagus sekali. Fungsinya juga macam-macam, tergantung daya beli orang tersebut.
Di daerah saya bejana atau tembikar ini mudah dijumpai. Terutama yang sederhana, bukan mahal dan bagus. Bentuknya amat beragam, yang bentuknya besar biasa digunakan sebagai tempat menampung air. Yang lebih kecil lagi biasa dipakai menanak. Misalnya mengolah gudeg. Tentu kalian tahu apa itu gudeg, makanan dari buah nangka yang masih muda yang sangat terkenal di kota Yogyakarta.
Biasanya bejana-bejana yang saya jumpai di desa saya bentuknya sederhana dan tidak diwarnai. Harganya murah dan mudah didapat. Sehingga kalau pecah biasanya dibuang saja dan membeli yang baru. Hal ini berbeda dengan bejana-bejana indah yang kerap saya lihat di televisi yang menghiasi ruangan keluarga-keluarga kaya. Bentuknya juga indah-indah dan dilukisi dengan bagus pula. Pasti harganya mahal sehingga dijadikan pajangan. Selain itu, bejana itu dirawat dengan hati-hati agar tidak mengalami kerusakan.
Nah, dalam sebuah sesi di tempat kursus, saya ditanya, “kalau kamu diberi sebuah bejana yang sudah retak, hendak kamu apakan?” Tanpa berpikir panjang saya berkata bahwa bejana itu, seperti gambar yang saya sertakan ini, akan saya hancurkan. Akan saya tumbuk sampai halus. Kalau ada kesempatan, akan saya buat lagi bejana yang baru. Itu adalah  jawaban saya yang spontan. Jawaban saya yang kedua setelah memikirkan baik-baik, saya tidak akan akan langsung menerima bejana itu. Saya akan bertanya, apa kegunaan bejana itu? Apakah saya membutuhkannya? Atau jangan-jangan bejana itu hanya menjadi beban bagi saya. Hanya menjadi ‘sampah’ dalam rumah saya. Dan seterusnya. Rupanya kedua jawaban saya itu tidak ada yang dipersalahkan. Rupanya, adalah hak saya untuk menerima atau menolak bejana tersebut.
Menjadi persoalan ketika dikatakan bahwa bejana yang retak tersebut adalah gamabran diri saya. Hendak saya apakan ‘bejana hidup' saya yang retak itu? Saya tidak bisa langsung menjawab. Saya seperti ditonjok tinju yang kuat sekali. Kalau saya hendak konsekuen, saya harusnya menjawab, “hancurkan saja sampai halus dan kalau memiliki kesempatan bisa dibentuk lagi”. Tetapi saya diam. Saya terpukul.
Saya pandangi gambar bejana yang retak tersebut. Keretakannya sudah sangat parah, itulah alasan saya hendak menghancurkan saja. lalu saya pejamkan mata, melihat diri saya sendiri yang tidak berbeda dengan bejana tersebut. Keretakan ada di mana-mana. Keretakan itu bisa karena benturan-benturan akibat salah arah dalam menentukan pilihan hidup. Benturan karena ketidak sadaran dalam melangkah dan mengambil keputusan-keputusan dan salah dalam menentukan prioritas nilai yang hendak dicapai. Keretakan itu juga berasal dari dosa-dosa akibat salah dalam memahami keinginan-keinginan / nafsu-nafsu. Semakin dalam saya merenung, saya jumpai bahwa keretakan itu ada di mana-mana. Bagaimana menyikapi ‘bejana diri’ yang penuh keretakan ini? Bagaimanakah membuatnya utuh kembali?

Anak yang hilang
Sahabat, saya memakai perumpamaan anak yang hilang untuk merenungkan proses pemulihan pribadi yang retak tersebut. Ada baiknya kalau kita membaca dengan tenang kisah dalam Injil Lukas bab 15 ayat 11-32 yang sangat terkenal tersebut.

15:11 Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki 15:12 Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu  di antara mereka.  15:13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. 15:14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan iapun mulai melarat. 15:15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. 15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. 15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. 15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, 15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. 15:20Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh , ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. 15:21 Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. 15:22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya j  dan sepatu pada kakinya. 15:23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. 15:24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. 15:25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 15:26 Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu.15:27 Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. 15:28 Maka marahlah  anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. 15:29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. 15:30 Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. 15:31 Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. 15:32 Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."

Kisah anak yang hilang ini menampilkan tiga tokoh. Ayah, anak sulung dan anak bungsu. Masing-masing mewakili gambaran pribadi yang berbeda. Mungkin kita berpikir bahwa kisah ini hanya rekaan belaka, dan memang hanya rekaan Yesus belaka. Meski demikian, cerita ini mewakili satu pemikiran yang hebat dari Yesus. Penulis Injil Lukas menempatkan kisah ini bersamaan dengan kisah domba yang hilang dan dirham yang hilang. Kisah yang dibuat oleh Yesus untuk menjawai gerutuan orang-orang Farisi dan Saduki. Mereka menggerutu karena Yesus bergaul dengan orang-orang yang dianggap sebagai pendosa. Yesus menegaskan sikap-Nya dengan mengisahkan tiga buah perumpamaan.
Kisah ini sangat kaya. Maka saya harus berani membatasi diri untuk melihat dan membahasnya. Saya hanya akan berkonsentrasi pada tiga tokoh dalam kisah anak yang hilang sebagai gambaran pribadi yang dalam proses pemenuhan transendensi diri. Secara sederhana transendensi diri bisa dipahami pemahaman diri yang utuh, diri yang ideal. Utuh di sini meliputi segala aspek hidup. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa keutuhan itu terbentuk ketika seseorang telah menjadi seperti yang Tuhan kehendaki. Transesndensi diri juga bisa dipahamis ebagai kemampuan untuk mengatasi diri sendiri untuk menjadi lebih sempurna. Dalam praktiknya ada tiga arah yang bisa dituju dalam proses transendensi diri ini, pertama arah egosentris, kedua arah sosial filantropis, dan ketiga arah teosentris.

Anak Bungsu
Dalam kisah ini anak bungsu adalah gambaran pribadi yang proses transendensi dirinya mengarah kepada titik egosentris. Artinya, segala hal yang dia lakukan adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya belaka. Pemenuhan kebutuhan pribadi itu tidak hanya soal materi, tetapi juga hal-hal lain semisal aktualisasi diri.
Si bungsu digambarkan meminta hak warisan yang kelak akan dberikan kepadanya. Sesuatu yang menyentak kesadaran banyak orang, karena biasanya warisan itu dibagikan tatkala orangtua sudah mau meninggal. Maka mudah dipahami apa yang menguasai diri si bungsu, yaitu egoisme belaka. Ia ingin segera memiliki harta yang akan menjadi haknya dan mempergunakannya sesuka hati. Itulah yang kemudian terjadi. Setelah menerima pembagian harta ia pergi jauh.
Di rantau si bungsu melakukan apa yang selama ini ia lakukan. Ia puaskan seluruh keinginan kedagingannya. Makan minum, juga dalam hal seksual ia puaskan dirinya dengan harta yang ia punya. Pada akhirnya ia menderita karena kehabisan harta dan tidak bisa lagi memenuhi nafsu-nafsunya. Ia juga ditinggalkan teman-temannya. Pribadi yang hanya berpusat kepada kepuasan diri sendiri pada akhirnya akan menderita.

Anak Sulung
Sementara itu dalam kisah anak yang hilang, peran si sulung kurang begitu kentara. Ia hanya muncul pada bagian akhir dan digambarkan dalam suasana hati yang kurang gembira. Namun demikian karakter si sulung itu sudah cukup untuk mencerminkan pribadi yang sosial filantropis. Artinya pribadi yang mencari kenyamanan dalam komunitas. Mereka berbuat baik untuk mendapatkan lingkungan hidup yang nyaman.
Ciri yang bisa dikenali dari orang yang social filantropis adalah sikapnya terhadap orang lain. Biasanya mereka baik dan suka menolong. Mereka tidak suka dengan konflik. Mereka berusaha sedemikian rupa agar suasana hidupnya nyaman. Segala kebaikan yang dibuatnya diarahkan untuk menciptakan suasana yang baik sehingga hidupnya nyaman. Ketika ada sesuatu perubahan yang menggoyang ketenangan mereka akan sangat terganggu.
Demikianlah karakter anak sulung. Dia tidak berani berkonflik dengan ayahnya. Dia tetap tinggal dengan nyaman bersama ayahnya. Hidupnya statis, begitu-begitu saja. dia dikenal sebagai anak yang baik, penurut dan tidak pernah membuat masalah. Namun jika dilihat lebih jauh, anak sulung melakukan itu semua demi kepentingannya sendiri. Maka ketika adiknya kembali ia begitu marah. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya masih mau menerima adik yang telah mengacau tatanan hidup bersama.

Sang  Ayah
Mudah dipahami bahwa karakter Ayah dalam kisah anak yang hilang itu mencerminkan pribadi yang teosentris. Pribadi yang tidak mementingkan diri sendiri lagi, juga bukan pribadi yang hanya mencari kenyamanan dalam hidup bersama. Pribadi yang mampu mencermikan sikap dan sifat Allah. Misalnya, pribadi pemaaf/pengampun dan berbelas kasih. Pribadi yang penuh kasih dan tetap mencintai pribadi lain yang pernah menyakiti.
Gambaran tersebut tergamabr jelas dalam sikap sang ayah yang menerima kembali anaknya yang bungsu. Ada banyak alasan untuk tidak menerimanya kembali. Bahkan si anak sendiri juga sudah akan maklum jika ia tidak akan diterima lagi di rumah orangtuanya. Ternyata tidak. Ayah tersebut menerima dia dengan gembira. Kedatangannya seperti kedatangan seseorang dari dunia orang mati. Kedatangannya adalah kebangkitan karena kepergiannya seumpama kematian. Dia yang telah hilang  kutemukan kembali, dia yang telah mati kini hidup kembali. Itulah alasan sang ayah untuk bergembira. Itu juga alasan yang dia pakai untuk membujuka anaknya yang sulung untuk ikut bergembira. Ada alasan untuk marah dan membenci, tetapi si ayah memilih untuk bergembira dan memaafkan. Itulah karakter Allah. Itu juga karakter orang-orang yang berusaha mencari Allah, mencari kepenuhan dirinya dalam kasih Allah.

Transformasi diri ideal
Setiap manusia memiliki gambaran diri yang ideal. Pada bagian anak yang hilang dan ulasan mengenai ketiga pribadi yang terlibat di dalamnya, saya menyebutkan ada tiga gamabaran transendensi diri. Tiga gambaran kemungkinan pribadi yang ingin bertumbuh secara utuh. Nah, dibutuhkan sebuah proses dari keadaan diri yang sekarang menuju gambaran diri yang ideal. Perjalanan itu kita pahami sebagai sebuah transformasi.
Gambaran diri ideal yang dimiliki seseorang tidak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berkaitan dengan gambaran ideal sebuah kelompok di mana ia berada dan bertumbuh kembang, entah dia seorang religius entah hidup dalam masyarakat biasa.
Contoh sederhana, ketika seseorang bekerja di sebuah perusahaan, dia harus mensinkronkan gambaran dirinya (sifat dan sikapnya) dengan gambaran diri ideal yang dotentukan oleh persahaan. Ketika gambaran dirinya sangat bertentangan dengan gambaran diri ideal yang ditetapkan oleh perusahaan maka dia harus menyesuaikan. Dia harus belajar mengubah dan membiasakan. Jika dia gagal, maka dia harus keluar dari perusahaan itu.
Demikian juga dengan mereka yang memilih hidup sebagai seorang religius, gambaran diri yang dia miliki haruslah sinkron dengan gambaran diri ideal yang ditetapkan oleh konggregasi di mana dia hidup. Jika gambaran diri yang dia miliki sangat berbeda dengan gambaran diri tarekat, dia harus mengupayakan segala daya upaya untuk bisa sama. Mungkin tidak bisa memenuhi sepenuhnya, namun cukup jika bisa mendekati. Jika benar-benar gagal, maka dia harus berani memilih cara hidup yang lain.
Seperti yang saya ungkapkan di atas, proses menyesuaikan gambaran diri ideal kita dengan gamabran diri lembaga di mana kita berada adalah sebuah proses transformasi diri. Harus dicatat bahwa kita tidak bisa sepenuhnya mengikuti gambaran diri yang ditetapkan oleh lembaga. Kita memiliki gambaran diri ideal yang terbentuk karena pendidikan sejak dari rumah dan di sekolah.

Buah Transformasi
Tidak semua orang bisa sukses dalam bertransformasi menuju gambaran diri yang ideal.  Tetapi tidak sedikit yang berhasil. Anak sulung dan anak bungsu dalam kisah anak yang hilang memberi gambaran tersebut.
Yesus sebagai pencerita memberi gambaran yang sangat detail mengenai anak bungsu. Seluruh perjalanan hidupnya, apa yang ia rasakan dan seluruh jatuh bangunnya digambarkan dengan detail. Baiklah kita lihat beberapa bagian.
Pertama adalah gambaran pribadi yang serakah. Dia meminta jatah warisan dan segera berfoya-foya dengan semua yang ia miliki. Dalam waktu singkat semuanya habis.
Kedua adalah gambaran keterpurukan akibat keserakahan. Si bungsu bukan hanya kehabisan harta, bahkan seluruh harga diri sebagai seorang manusia merdeka telah hilang. Dia akhirnya menjadi budak. Sebuah paradok. Ternyata itu tidak cukup. Dia bahkan harus kehilangan harga diri sebagai manusia. Ketika perutnya lapar dan ia tidak bisa makan, bahkan makanan babipun tidak boleh ia makan.
Ketiga adalah gambaran pertobatan. Pertobatan si bungsu dimulai dengan kesadaran bahwa ada kehidupan yang lebih baik di rumah ayahnya. Bahkan budak-budak di rumah ayahnya hidup secara manusiawi. Maka dia berniat kembali. Bukan sebagai anak, tetapi sebagai budak. Ia sadar bahwa ia tidak pantas lagi disebut anak. Itulah pertobatan yang ia buat, membuang haknya sebagai anak dan siap menjadi seorang budak.
Keempat adalah menerima belaskasih dari sang ayah. Niat si bungsu itu diungkapkan kepada bapaknya. Namun si ayah tidak menerima. Sebaliknya sang ayah memberi pelukan hangat pada anaknya yang telah hilang tersebut. Si anak yang tidak memakai alas kaki, sebagai tanda seorang budak, diberi alas kaki sebagai tanda diangkat kembali menjadi anak. Bahkan si ayah memberikan cincin kepada anaknya sebagai tanda memiliki kuasa. Sang ayah memberikan belas kasih, dan si anak menerimanya.
Kisah tidak berakhir dengan diadakannya pesta untuk menyambut kembalinya si anak yang hilang. Yesus melanjutkan dengan kisah mengenai si sulung. Ketika adiknya kembali, ia berada di ladang. Ketika hendak pulang ia mendengar musik dan tari-tarian. Setelah tahu bahwa keramaian itu untuk menyambut kembalinya si adik ia marah. Ia tidak bisa menerima bahwa ayahnya membuat pesta untuk menyambut adiknya.
Si ayah kembali menunjukkan belaskasih kepada si sulung. Dengan mengatakan bahwa adiknya telah mati dan sekarang hidup kembali, telah hilang dan kini ditemukan kembali. Si ayah ingin mengajak si sulung ikut bergembira. Namun itu ditolak. Harga diri si sulung terlalu besar. Sebaliknya si ayah mengharapkan si sulung untuk ikut membagi belas kasih kepada adiknya.
Yesus kembali menunjukkan sebuah paradok. Si bungsu yang selama ini berada di luar kini telah berada di dalam rumah. Sementara itu si sulung yang selama ini berada di dalam rumah, sekarang digambarkan berada di luar rumah dan menolak untuk masuk. Apakah memang si sulung akhirnya ‘terbuang’? kita tidak tahu. Penulis Injil membiarkan kisah ini terbuka begitu saja.

Keretakan dan pulih kembali
Mudah dipahami bahwa si bungsu pada awalnya adalah pribadi yang retak. Gambaran ideal dirinya amat jauh dari gambaran ideal seorang anak yang baik. Dalam perjalanan waktu ia menyadari dan berani bertobat. Ada empat langkah yang bisa dilakukan agar proses transformasi berjalan baik sehingga seseorang sungguh mencapai transendensi dirinya yang utuh.
Pertama adalah mengalami. Unsur yang dominan adalah indera dan perasaan. Si bungsu mengalami bahwa hidupnya susah. Padahal dalam taraf yang sama, budak-budak di rumah ayahnya hidup berkecukupan.
Kedua adalah memahami. Pengalaman hidup susah membawa kepada pemahaman baru. Dania mulai insyaf bahwa apa yang dipilihnya ini salah.
Ketiga adalah mempertimbangkan. Setelah menginsyafi bahwa kehidupannya sangat buruk dan bahwa para budak di rumah ayahnya hidup lebih baik, ia mulai mempertimbangkan untuk kembali. Tetapi ia sadar bahwa ia tidak pantas lagi kembali sebagai anak. Aka ia mempertimbangkan untuk kembali namun sebagai budak.
Keempat adalah memutuskan dan melakukan. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ia memutuskan untuk kembali ke rumah bapaknya. Ia lakukan itu dan ketika ia berjumpa dengan bapaknya, ia sampaikan apa yang telah ia putuskan, ia kembali sebagai budak bukan sebagai anak. Hasilnya kita tahu, si bungsu diterima kembali sebagai anak.
Langkah-langkah yang sama bisa kita lakukan untuk mengembalikan keretakan dalam pribadi kita agar utuh kembali. Pengalaman sehari-hari membawa kita kepada sebuah pemahaman baru. Pemahaman itu menghantar kita kepada pertimbangan-pertimbangan yang masak. Tentu melalui penyelidikan dan pemikiran yang masak. Setelah cukup mempertimbangkan, tibalah saatnya untuk mengambil keputusan dan melaksanakan keputusan. itulah langkah-langkah transformasi diri, langkah-langkah memperbaiki diri yang telah retak.
Sebaliknya, keangkukan kerap menghancurkan. Itu tergambar jelas dalam diri si sulung. Dia yang selama ini dikenal sebagai anak yang baik dan penurut, pada akhirnya menjadi ‘anak yang hilang’. Kekerasan hatinya untuk tidak menerima adiknya kembali, membuat ia menjadi anak yang hilang. Ia yang selama ini bak bejana indah dan utuh, pada akhirnya retak karena sebuah benturan.

Penutup

Sahabat, saya ingin mengakhiri paparan yang cukup panjang ini dengan dua buah ajakan Yesus. Pertama, “haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48). Gambaran diri ideal yang bebas retak adalah gambaran diri yang sempurna seperti yang dimaui oleh Yesus. Gambaran kesempurnaan itu bukan berarti tidak pernah mengalami kesalahan. Sama sekali bukan. Tetapi gambaran pribadi yang mau bertransformasi menjadi sempurna.
Sulitkah bertransformasi itu? Saya mengutarakan empat langkah yang bisa dilakukan. Namun Yesus mengajari kita cara yang sederhana. Dan kita biasa mengatakannya, meskipun sulit melaksanakannya. Dalam doa Bapa kami ketika kita diminta mohon ampun kepada Allah, dalam waktu yang bersamaan kita diajak untuk mengampuni dosa sesama. Ampunilah kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami (bdk. Mat 6:12).
Hal ini sudah dilakukan oleh si ayah. Dia menerima si bungsu dan mengampuni semua kesalahannya. Dia juga mengajak si sulung untuk juga mengampuni adiknya. Saying bahwa si sulung gagal karena dia menolak memberi pengampunan. Bagaimana dengan kita? Kita bisa mulai bertransformasi menjadi pribadi yang utuh, yang ideal, dengan mulai membagi belas kasih kepada sesama. Di sana kita mulai mengembalikan keretakan pribadi kita untuk kembali utuh.

Salatiga, 10 Maret 2013
Rm. Waris, O.Carm




Comments

Popular Posts