Masuk ke dalam Puri Batin, sebuah catatan retret (4) Ruang Ketiga, Pemantapan dan Pencobaan


Bertumbuh
            Sahabat, kita sudah memasuki ruang ketiga dari tujuh ruang yang dipaparkan Teresa Avilla. Ruang pertama sampai ketiga ini merupakan tahap asketis, di mana usaha manusia memegang peran yang penting. Pada ruang sebelumnya, godaan dan kesulitan-kesulitan itu begitu besar. Pada ruang ini jiwa sudah mengalahkan kesulitan yang pernah dialaminya itu. Hidupnya yang dulu tidak karu-karuan, kurang tertata dengan baik, sekarangs udah lebih baik. Sekarang semuanya sudah lebih teratur rapi. Pribadi yang masuk ruang ketiga ini memiliki tekad yang besar untuk lebih serius dalam hidup doa dan hidup rohani juga tekad untuk tidak menghina Tuhan. Orang ini juga lebih waspada terhadap dosa. Bahkan dosa-dosa ringanpun sudah dijauhi. Dia lebih sadar untuk bersikap waspada terhadap godaan yang mungkin datang, yang bisa menjauhkan dia dari Tuhan. Sikap yang kelihatan adalah, orang tersebut mulai berani menyangkal diri, berani matiraga, berpuasa, dan seterusnya.
Singkatnya orang yang berada di ruang ketiga ini sudah mulai bertumbuh di dalam kebajikan-kebajikan dan ulai menyediakan waktu khusus untuk berdoa. Contoh orang-orang seperti ini bisa kita lihat ketika seseorang menjadi lebih sabar, tidak mementingkan diri sendiri. Ada penyangkalan diri. Kalau dulu selalu ingin menang, sekarang berani mengalah. Hidupnya juga mulai dijadwal dengan lebih teliti, menyediakan waktu khusus untuk berdoa di antara jadwal rutinnya. Jika dahulu mudah diajak pergi, sekarang mulai berani menolak, dan seterusnya.
Orang yang seperti ini tidak ingin menyia-nyiakan waktunya. Sedapat mungkin ia ingin menggunakan waktu untuk sesuatu yang berguna, sesuatu yang memupuk kehidupan rohani. Jangan sampai ada waktu yang terbuang sia-sia. Dalam hidup bersama juga mengalami perubahan. Relasi dengan sesama saudara lebih matang. Ada cinta tulus yang mendasari relasi persaudaraan. Dalam perbincangan juga lebih sopan. Tutur katanya lebih tertata. Menggunakan kata-kata yang baik dan berusaha tidak memakai kata-kata yang sia-sia. Humor-humor kasar dan jorok mulai dihindari. Dalam bersikap juga lebih lembut dan hati-hati. Sikap grasa-grusu mulai hilang. Segalanya kelihatan tertata dengan baik. Intinya, pribadi semacam ini sopan dalam pergaulan. Kebajikannya mulai bertumbuh. Keutamaan-keutamaannya juga mulai berkembang.
Kita bisa melihat perkembangan pribadi dari satu ruang ke ruang berikutnya. Jika kita membandingkan dengan sebuah kebun, ruang pertama dan kedua adalah tahap pembersihan ladang. Rumput-rumput liar dibabat habis. Batu-batu yang berserakan disingkirkan. Kemudian tanah dicangkul dan digemburkan agar siap ditanami. Nah pada ruang ketiga ini benih yang ditanam sudah mulai tumbuh.
Demikianlah dalam perkembangan hidup doa dan hidup rohani. Ketika awalnya dulu orang berada dalam kemalasan untuk berdoa, banyak melakukan tindakan dosa, dia seperti tanah yang tidak siap ditanami. Segala kotoran itu harus dibersihkan. Doa harus dilakukan dengan rutin. Doa yang tanpa kesadaran mulai ditata, mulai direnungkan. Bahkan kemudian mulai masuk ke dalam doa batin. Seperti halnya proses mengolah ladang dari yang tidak karu-karuan sampai siap ditanami membutuhkan waktu yang lama. Jika serius dikerjakan mungkin akan cepat, tetapi untuk memulai pekerjaan besar biasanya tidak gampang. Demikianpun perjalanan jiwa dari ruang pertama menuju ruang ketiga ini bisa membutuhkan waktu yang lama. Namun bisa juga singkat kalau dia melakukan dengan serius dan sungguh-sungguh.

 Kekeringan doa
                  Pada ruangan ketiga ini juga ada sedikit kontradiksi. Di satu pihak jiwa bertumbuh dalam kebajikan-kebajikan. Sudah mulai serius dalam hidup doa, menata diri dengan baik, dan seterusnya. Namun di sisi lain dia juga mengalami kekeringan dalam hidup doa. Sesuatu yang mungkin rumit untuk dipahami, bagaimana mungkin ketika seseorang bertumbuh dalam aneka kebajikan tetapi sekaligus mengalami kekeringan? Mungkin kita bertanya, seperti apakah kekeringan itu? Bagaimana itu bisa terjadi?
                  Kekeringan doa adalah keadaan batin, situasi jiwa yang mengendor. Dia tidak merasakan apa-apa dalam doa. Semuanya serasa gelap. Bahkan ada kekacauan hati dan pikiran. Ada keinginan-keinginan yang bersifat duniawai, ada kelesuan dalam semangat seolah-olah jauh dari Tuhan. Ada kontradiksi, di satu pihak ada kerinduan untuk berdoa namun di lain pihak mengalami kekeringan.
                  Menurut Yohanes Salib, kekeringan doa itu bisa berasal dari dua hal. Pertama memang Tuhan yang membuat agar orang tersebut makin dalam masuk ke dalam doa. Dan yang kedua adalah karena kelalaian. Orang tidak sungguh-sungguh lagi. Ignatius Loyola juga mengatakan hal yang sama mengenai kekeringan doa ini. Pertanyaan yang lebih penting adalah, apakah yang harus kita lakukan jika kita mengalami hal seperti ini? Teresa mengatakan bahwa kalau seseorang mengalami kekeringan dalam doa, teruslah berdoa dan teruslah melakukan refleksi. Itulah yang dilakukan oleh Teresa selama 18 tahun ketika mengalami kekeringan. Terus bertekun meskipun doa tidak ada rasanya sama sekali.
                  Kekeringan dalam doa ini pada akhirnya akan menghantar seseorang kepada sikap rendah hati. Di sini kita bisa melihat bahwa setiap pengalaman pasti memiliki maksud dan tujuan. Entah masa kekeringan atau masa di mana penuh suka cita. Dalam perjalanan hidup rohani sangat penting bahwa pada awal seseorang mengalami sukacita agar mereka terus terdorong untuk masuk. Jika di awal seseorang sudah mengalami kesulitan-kesulitan serta kekeringan demi kekeringan, maka jiwa tersebut akan mudah putus asa dan menyerah. Seperti juga relasi sepasang kekasih, pasti ada saat di mana cinta itu terasa panas membara, tetapi di lain kesempatan semuanya terasa datar. Dan setelah melewati segala macam situasi mereka masih menetapkan pilihan untuk menikah, biasanya akan berakhir baik. Demikianpun dalam hidup rohani. Ada masa penuh sukacita dan ada masa yang kering. Sukacita dalam hidup rohani membantu orang untuk bersemangat dan terus maju dalam hidup doa. Sedangkan kekeringan dalam doa membantu orang untuk menjadi rendah hati. Orang yang sungguh rendah hati akan dikaruniai Tuhan hati yang damai dan pasrah. Hati yang damai dan pasrah ini membuat seseorang lebih berbahagia jika dibandingkan orang yang hanya menerima penghiburan rohani.
Ada kisah mengenai pertumbuhan doa dari seorang suster yang sedari remaja sudah serius dalam hidup doa. Ketika masih duduk di bangku SMP, ada niat untuk berdoa terus menerus. Bacaan dari St. Paulus yang ia dengar di gereja mengobarkan semangatnya untuk berdoa. Setiap ada kesempatan dia berdoa Bapa kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Doa tersebut terus diulang-ulang. Kebiasaan tersebut ia bawa sampai SMA. Kebetulan kepala sekolahnya meminta ia untuk berdoa dari ruang operator. Ia sisihkan waktu tiap sore untuk membaca Kitab Suci, merenungkan dan menuliskan doa yang akan ia baca keesokan harinya. Saat itu dia berkembang dalam doa vocal yang luar biasa sampai akhirnya masuk biara. Ketika memasuki masa yuniorat tahun pertama, suster ini mengikuti retret yang diadakan oleh konggregasinya. Retret keheningan selama 8 hari penuh. Setiap sore suster-suster dikumpulkan untuk diajak sharing mengenai pengalaman doa meditasi selama satu hari tersebut. Sementara suster-suster yang lain bisa membagikan pengalamannya dengan baik, suster ini tidak bisa. Dia mengatakan tidak mengalami apa-apa. Dia tidak bisa berpikir, dia berdoa tetapi tidak bisa berpikir. Sepanjang hari ia habiskan di kapel untuk berdoa. Demikian juga pada hari kedua dan ketiga. Pada hari ketiga, suster pembimbing bertanya mengenai apa yang ia rasakan. Suster tadi mengatakan bahwa ia tidak bisa berpkir apa-apa, semua terasa kering. Tetapi pada saat yang sama ia mengalami ketenangan dan rasa damai. Suster pembimbing retret tadi meneguhkan suster muda ini untuk tidak khawatir, karena ia mengalami tahap-tahap yang benar.
Di sinilah kita bisa melihat bahwa setiap hal memiliki maksud. Bahwa kekeringan juga memiliki tujuan, yaitu agar seseorang semakin rendah hati. Dan ketika seseorang sungguh rendah hati, ia akan dikaruniai hati yang damai dan pasrah. Di sana kita juga bisa melihat bahwa doa itu seperti seseorang yang membuka tangannya. Seperti seorang pengemis yang duduk di pinggir jalan. Tangannya terulur dalam posisi terbuka. Kalau Tuhan memberi sesuatu kita bersyukur dan berterimakasih. Tetapi kalau Tuhan mengambil kembali apa yang pernah diberikan, kita juga tidak perlu takut dan cemas. Namun tangan kita tetap terulur dan terbuka.
Kembali ke ruang ketiga dalam puri batin ini. Teresa mengingatkan kita semua bahwa di dalam ruangan ini jiwa akan kelihatan cemerlang dan boleh mengharapkan bahwa Tuhan akan menganugerahkan sesuatu kepadanya, namun sekaligus seseorang harus berhati-hati. Di sini Teresa merujuk kisah pemuda kaya yang ingin mendapatkan keselamatan (bdk. Mat 19:16-23). Pemuda ini sangat saleh. Dia sudah menjalankan semua perintah Taurat dan hukum Musa. Dia datang kepada Yesus dan bertanya, apakah yang harus ia buat agar memperoleh hidup yang kekal. Yesus meminta dia menjual hartanya, kemudian membagi-bagikannya kepada orang miskin dan baru mengikut Yesus. Namun pemuda tersebut tidak mau. Dia memilih mempertahankan hartanya. Pemuda ini kelihatan cemerlang karena sudah menjalankan hukum sejak muda, namun gagal masuk ke dalam hidup yang kekal karena dia melekat kepada hartanya.

Hati-hati dan bijaksana
Teresa juga mengingatkan kita, bahwa di ruang ini kita tidak boleh terlalu berpuas diri. Orang harus berhati-hati juga karena masih ada kecenderungan untuk melekat kepada harga diri, kesombongan dan keangkuhan. Di sini seseorang sudah mencapai tingkat yang baik namun jika tidak diimbangi dengan sikap rendah hati akan berbahaya. Seperti juga dalam ruang kedua, orang seperti ini akan menimbulkan kekacauan, ia akan gampang menghakimi sesamanya. Ia akan membanding-bandingkan, bahwa ia sudah lebih maju dan sempurna jika dibandingkan dengan sesamanya. Hal ini menggambarkan bahwa meskipun seseorang sudah sangat maju di dalam hidup doa dan hidup rohani, masih ada kerapuhan di sana. Seseorang sudah semakin dekat dengan ruang yang lebih dalam, tetapi ada bahaya dia terpeleset dan kembali ke ruang yang lebih luar lagi.
Maka orang harus berhati-hati. Di sini jiwa seseorang mengalami pemantapan karena berkembang dalam kebajikan dan keutamaan, namun sekaligus ditantang dan dicobai dengan banyak godaan. Ada banyak hal yang kelihatannya kontradiksi. Misalnya, seorang biarawan ingin berkembang dalam hidup doa, tetapi karena sakit pusing sedikit saja dia sudah memilih untuk beristirahat di kamar dibandingkan pergi ke kapel. Masih suka cemas dengan hal-hal yang sifatnya sederhana dan remeh. Dia ingin berpuasa sebagai bentuk mati raga, tetapi ada ketakutan dan kecemasan kalau nanti sakit maag, dan seterusnya.
Teresa terus mengingatkan bahwa di sini ada banyak godaan yang membuat pertumbuhan rohani seseorang berhenti atau bahkan mati. Di satu pihak kebajikan tumbuh kecil, namun di lain pihak ada banyak godaan. Misalnya, dia menerima penghinaan, jasa baiknya tidak diakui, nama baik dicemarkan, dan hal-hal semacam ini sudah membuat dia putus asa. Jiwa yang berdiam di ruang ketiga ini juga masih kerap digoda perasaan dengan keluarganya. Khawatir akan kesehatan orangtua dan sanak saudara. Di sini jiwa belum pasrah sungguh-sungguh.
Ada ketidaksesuaian antara kata/kehendak dan tindakan. Di satu sisi berkobar-kobar dalam doa dan renungan. Namun di sisi lain mudah jatuh dalam hal-hal kecil, cemas dan takut dalam tindakan-tindakan nyata. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini? Apa yang harus diperhatikan dan dibenahi? Teresa kembali mengingatkan pada langkah-langkah yang sudah dibangun sejak ruang pertama, yaitu pengenalan diri. Orang harus mengenali dirinya sendiri dengan baik. Yaitu dengan mengenal Allah dengan baik, mengenal kasih Allah yang besar. Mengapa masih ada ketakutan-ketakutan? Karena mereka tidak memahami benar bahwa Allah sungguh mengasihi dan mencukupkan. Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka yang lain akan diberikan kepadamu (bdk. Mat 6:33). Di sini juga kelihatan dengan gamblang bahwa jiwa yang mengalami hal-hal di atas belumlah melakukan pertobatan yang penuh. Maka agar jiwa bisa masuk ke dalam ruang berikutnya perlulah ia menyadari keadaannya yang sebenarnya, mengenal diri dengan baik, dan bertobat.

Persenjataan rohani
Didorong oleh St. Paulus, Teresa menasehatkan kita untuk menggunakan perlengkapan rohani. Baiklah saya kutipkan apa yang ditulis oleh Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus.
10Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. 11Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; 12karena perjuangan kita bukanlah melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara. 13Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu. 14Jadi berdirilah tegap, berikatping-gangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan, 15kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; 16dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, 17dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, 18dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang kudus, (Ef 6:10-18).

Perlengkapan senjata yang disarankan ini adalah perlengkapan untuk menghadapi setan maka disebut perlengkapan rohani. Jika diurai satu persatu perlengkapan yang ada lebih banyak untuk pertahanan, bukan perlengkapan untuk menyerang. Baiklah kalau kita melihat lebih dalam masing-masing bagian perlengkapan senjata rohani ini.
Ada empat perlengkapan yang berfungsi membungkus badan mulai dari kepala hingga kaki. Sebagai pelindung kepala dipakailah ketopong keselamatan. Di sini kita menyadari bahwa keselamatan hanya datang dari Allah Penyelamat, yang menyelamatkan manusia dari dosa. Artinya perlindungan atas kepala kita serahkan kepada Allah yang menyelamatkan. Sedangkan baju yang dikenakan adalah keadilan. Keadilan yang dimaksudkan adalah kemampuan untuk mengasihi Tuhan di atas segala-galanya dan mengasihi manusia seperti diri sendiri. Bukankah ini yang dikehendaki oleh Yesus sendiri? Ketika kita mengenakan kasih sebagai pakaian kita, kita akan diluputkan dari banyak gangguan. Sedangkan kaki dibungkus oleh kerelaan untuk mewartakan Injil. Kerelaan ini akan mendatangkan damai. Seperti yang disampaikan oleh Teresa bahwa damai sejahtera yang dianugerahkan Allah ini lebih berharga dibandingkan hiburan-hiburan dalam doa. Agar seseorang bisa bergerak dengan leluasa dibutuhkan ikat pinggang, yaitu kebenaran. Bagi para biarawan, kebenaran yang mengikat bisa dimaknai sebagai kemurnian dalam hidup. Tatkala seseorang diikat dengan kemurnian dan kebenaran ia akan mudah bergerak tanpa risau akan sesuatu yang merugikan.
Perlengkapan lain adalah sesuatu yang ia pegang, yaitu perisai dan pedang. Sebagai perisai untuk menangkis serangan panah berapi si jahat digunakanlah iman. Perisai ini harus terus dipegang dalam keadaan apapun juga. Dengan perisai ini pula kita bisa menyenangkan Tuhan. Untuk senjata digunakanlah pedang Roh yaitu Sabda Allah. Pedang ini bukan hanya digenggam di sebelah tangan, tetapi harus hidup dan berdiam di dalam hati dan mulut kita. sehingga apapun yang kita akukan, kita lakukand alam terang Sabda Allah. Dengan seluruh perlengkapan senjata rohani ini kita siap sedia menghadapi serangan si jahat yaitu setan.

Pendamping rohani
Untuk bisa bertumbuh dalam hidup doa dan hidup rohani yang baik, sangat penting bahwa seseorang memiliki pendamping rohani. Mengapa hal ini penting? Karena ada bahaya bahwa seseorang mencari dan menjalankan kehendaknya sendiri. Tetapi hanya mencari dan menjalankan kehendak Allah. Seorang pendamping rohani yang baik itu bisa mendorong, mengingatkan, menegur kalau dibutuhkan, dan sungguh-sungguh membuat dia yang didampingi itu dapat bertumbuh.
Berkaitan dengan pendamping rohani, ada kecenderungan untuk mencari pendamping rohani yang enak didengar, yang tidak pernah menegur. Atau fenomena lain yaitu ‘jajan’ pendamping rohani. Sering berganti pendamping rohani karena perasaan tidak senang. Misalnya seseorang meminta pastor A untuk mendampingi. Setelah sekian bulan dia pergi mencari pastor B, karena pastor A mulai keras terhadap dia. Dengan pastor B pun dia juga berlaku sama. Setelah pastor B bersikap tegas dan mengarahkan kepada sesuatu yang sulit, dia pergi kepada pastor C, dan seterusnya. Hal ini sangat tidak sehat. Ada ungkapan, apa yang manis di mulut tidak sehat di badan. Demikianpun dengan pendamping rohani. Ada kecenderungan dari beberapa orang untuk mencari pendamping rohani yang bermanis-manis saja, lembek, namun tidak menyuburkan jiwa.
Berkaitan dengan pendamping rohani, Teresa pernah memohon kepada Tuhan agar jangan diberi saya seorang pendamping rohani yang sangat pandai namun tidak berpengalaman. Sebaliknya dia juga tidak menghendaki seorang pendamping rohani yang memiliki banyak pengalaman namun kurang berpengetahuan. Karena kalau seseorang hanya bersandar kepada pengalaman dia akan cenderung subjektif, dan hal ini bisa menyesatkan.
Dalam ketaatan dan kerendahan hati, Teresa terus datang kepada pendamping rohani. Beberapa kali tidak dimengerti, karena pengalamannya tidak dialami oleh pendamping rohaninya. Beberapa kali dia berganti pendamping rohani karena memang pendamping rohaninya sudah tidak mampu. Dia berganti pendamping rohani bukan untuk ‘jajan’, tetapi untuk pertumbuhan. Dan hal ini normal dalam pendampingan rohani yang sehat. Ketika seseorang sudah bertumbuh, dan merasa pendamping rohaninya sudah tidak mampu, dia bisa mencari pendamping rohani lain yang bisa mengerti. Juga sebaliknya, seorang pendamping yang melihat orang yang didampingi sudah semakin berkembang, dia harus berani mundur. Di sini seorang pendamping harus orang yang jujur dan terbuka. Dia tidak boleh memanipulasi untuk kepentingannya sendiri.
Untuk menjadi seorang pendamping rohani yang baik, dia harus memiliki pengalaman didampingi. Namun sebagai pengetahuan, dia membutuhkan pemahaman teologi dan Kitab Suci untuk memgarahkan orang. Di sini pengetahuan dan pengalaman sangat penting. Satu hal yang juga diperlukan adalah kepekaan dari si pembimbing untuk berani mundur. Kisah Imam Eli yang mendampingi Samuel bisa menjadi gambaran seorang pendamping rohani yang berproses (Lih. 1 Sam 3). Imam Eli tidak langsung memahami apa yang terjadi dengan Samuel. Dia berproses untuk melihat karya Tuhan dalam diri Samuel. Kejujuran dan ketaan sangat penting dalam proses pendampingan. Proses pendampingan rohani bisa juga menjadi jalan untuk memurnikan si pendamping, menguatkan hidup rohani pendampingnya. Misalnya kisah Imam Eli dan Samuel. Tuhan memakai Samuel untuk menegur Eli karena ketidaktegasannya kepada anaknya yang telah makan daging persembahan. Maka dibutuhkan sikap yang hormat dan kemurnbian hati. Tidak boleh memiliki sikap lebih tinggi dan merasa lebih tahu.

Pertanyaan reflektif:
1.     Bertumbuh. Apakah aku menyadari adanya pertumbuhan dalam hidup rohani? Tanda-tanda apakah yang aku rasakan? Bagaimanakah aku menjaga pertumbuhan itu?
2.     Kekeringan doa. Apakah aku mengalami kekeringan dalam hidup doa? Tanda apakah yang aku rasakan? Kapan kekeringan itu biasanya muncul? Usaha apa yang aku lakukan untuk terus bertahan?
3.     Hati-hati dan bijaksana. Apakah godaan yang sering muncul dalam pertumbuhan hidup rohani? Bagaimanakah aku meyikapinya?
4.     Persenjataan rohani. Apakah aku menyadari adanya musuh yang senantiasa siap ‘menerkam’? Perlengkapan senjata rohani apakah yang aku pakai? Bagaimana aku memahami dan mengusahakan persenjataan rohani itu?
5.     Pendamping rohani. Apakah aku menyadari pentingnya peran pendamping rohani? Apakah aku memiliki pendamping rohani? Apakah aku setia datang kepadanya?

Comments

Popular Posts