Apakah Tuhan bisa dipaksa?

Iya, apakah Tuhana bisa dipaksa? Seharusnya tidak bisa. Seharusnya, tak satupun bisa memaksa Tuhan untuk membuat ini atau itu. Pertanyaan lain; adakah yang suka memaksa Tuhan? Rupanya ada. Dari dulu hingga kini, ada banyak orang suka memaksa Tuhan. Tetapi apakah Tuhan bisa dipaksa?

Doa sebagai sebuah petisi
Persoalan bahwa Tuhan bisa dipaksa sungguh menggelitik saya. Apalagi membaca kisah umat Israel yang menuntut kepada Samuel agar mereka diberi raja. Samuel marah kepada umat Israel. Bagi Samuel, Tuhanlah raja bagi bangsa Israel. Tetapi umat Israel menuntut seorang raja seperti yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain. Seorang raja yang kelihatan, yang berdiri di depan kalau perang, yang memiliki pakaian indah dan bisa dipandang dengan penuh keagungan. Samuel marah dan melapor kepada Tuhan.
Apa jawaban Tuhan? Tuhan yang mengetahui seluruh isi hari manusia itu rupanya mengabulkan permintaan umat-Nya. Dia meminta agar Samuel mengabulkan permintaan bangsa itu, karena sebenarnya mereka menolak Tuhan. Seperti yang mereka lakukan terhadap Musa saat mereka dibebaskan dari Mesir. Tuhan meminta Samuel menuruti kemauan keras bangsa itu, hanya dia diminta menerangkan semua akibatnya.
Kisah bangsa ini, yang suka memaksakan kehendaknya, rupanya juga kerap saya alami. Dalam banyak keadaan, saya juga suka memaksa Tuhan. Doa menjadi sebuah petisi, bukan lagi penyerahan diri. Doa adalah sarana memaksa Tuhan melakukan sesuatu untuk memenuhi kehendakku. Tuhan menjadi pembantu, pesuruh yang harus menjalankan semua instruksiku. Doa menjadi bukan lagi sebuah relasi pribadi, tetapi hubungan untung rugi; aku harus selalu untung dan Tuhan selalu dipihak yang rugi. Kalau Tuhan tidak mau menurut, maka aku pergi.
Sungguh mengerikan, tetapi terjadi. Ungkapan-ungkapan ini sudah amat sering kita dengarkan, "saya sudah berdoa kepada Tuhan, tetapi Dia tidak mendengarkan; untuk apa saya berdoa lagi?"atau, "Saya sudah berziarah ke banyak gua Maria, sudah melakukan novena, tetapi doa saya tidak pernah dikabulkan. Untuk apa saya berdoa lagi? Untuk apa saya memercayai Tuhan lagi?"
Itu adalah ungkapan-ungkapan relasi untung rugi. Ketika berelasi dengan Tuhan sudah tidak menguntungkan lagi, maka aku pergi. Sungguh mengerikan, tetapi itu terjadi. Kalau mau bukti, mari kita lihat ke dalam diri. Mari kita bertanya sungguh-sungguh; dalam setiap doa kita, apa yang kita doakan, apa yang kita ungkapkan kepada Tuhan. Jika kita prosentase, berapa persen jumlah permohonan yang kita ungkapkan? berapa persen ungkapan syukur? berapa persen keluhan? Hanya kita yang tahu; dan kita akan terpana bahwa selama ini kita hanya memaksa Tuhan belaka.

Doa sebagai relasi cinta
Doa adalah relasi dua pribadi, antara aku dengan Tuhan. Relasi kasih. Yang tidak memerlukan embel-embel macam-macam. Doa adalah saat-saat terintim untuk menjalin relasi, untuk lebih mengenal, untuk lebih mencintai. Tanpa perlu menyampaikan petisi; karena mereka yang berkasih-kasihan akan emahami apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh pasangannya. 
Doa juga bukan take for granted. Relasi yang terjalin itu juga bukan berarti 'sekonyong-konyong hidup menjadi lebih mudah dan enak'. Tidak, relasi kasih itu menentramkan jiwa. Menyelamatkan jiwa. Reasi kasih yang didasari kepercayaan tanpa paksaan.
Kisah para pemuda yang membawa temannya kepada Yesus adalah salah satu contoh kecil. Mereka percaya bahwa Yesus mampu. Mereka tidak memaksa, mereka hanya memabwa pemuda yang lumph itu kepada Yesus. Dan Yesus menyembuhkan. Dan hal pertama yang disembuhkan bukanlah kelumpuhannya, tetapi jiwanya. Dia diampuni dosanya, dan kemudian disembuhkan kelumpuhannya.
Yesus pertama-tama menyembuhkan jiwa, kemudian menyembuhkan juga badan. Maka relasi yang terjalin antara kita dengan Yesus adalah relasi batin, yang pertama-tama menyelamatkan jiwa. Relasi yang terbebas dari segala kepentingan kenikmatan ragawi.
Mungkin kalau kita harus memohon, mohonkanlah belas kasih Allah, mohonkanlah ampun dari Allah; itu jauh lebih berarti. Tuhan kasihanilah kami, Tuhan ampunilah kami. Karena ampun dan belas kasih hanya bisa kita dapat dari Allah; dan kita harus memintanya. tetapi kenikmatan ragawi, akan datang dengan sendirinya kalau jiwa kita diselamatkan; kalau kasih Allah itu kita terima. Mungkin bukan kenikmatan ragawi seperti yang kita bayangkan, tetapi seperti yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Bagaimana kita bisa mengerti? Jalinlah relasi itu dengan Allah, dan kita akan paham karena mengalami.

Penutup
Apakah Tuhan bisa dipaksa. Ternyata bisa. Tetapi itu tidak menyelamatkan apa-apa. Mungkin kita mendapatkan apa yang kita mau; tetapi kita tidak mendapatkan keselamatan jiwa yang jauh lebih abadi.
Bukankah jauh lebih indah berseru, "Jadilah kehendak-MU" dari pada berkata, "Tuhan AKU INGIN...". Bukanlah akan jauh lebih indah jika kehendak Tuhan yang terwujud? Tetapi pilihan ada dalam hati kita. Mau mengedepankan hasrat dan nafsu sendiri? Atau membiarkan Tuhan melakukan rencana-Nya dalam hidup kita.

Hong Kong, 17 Januari 2014

Comments

Popular Posts