Mencintai

Sahabat, hari-hari ini kita disuguhi berbagai berita terkait dengan kasus Satinah. Ada banyak pendapat. Ada banyak argumentasi, semuanya seolah baik adanya. Semalam saya sudah menulis secara singkat posisi saya. Bahwa saya menolak hukuman mati. Setelah membaca lebih jauh, mendengarkan lebih banyak, saya semakin mantap dengan pendirian saya. Bukan hanya menolak hukuman mati bagi Satinah tetapi juga mendorong agar pemerintah Indonesia membayar diyat bagi Satinah.


Saya menemui ada banyak pendapat, yang semuanya sepertinya baik dan luhur. Tetapi kali ini saya tidak mau menyinggung pendapat orang lain. Catatan ini adalah sebuah refleksi sederhana mengapa saya harus menolak hukuman mati. Terlebih kalau saya menyatakan diri sebagai mahkluk ber-Tuhan. Khusus bagi saya seorang Katolik dan seorang pastor.

Sejak kecil, entah di dalam keluarga, di Gereja, di sekolah, saya selalu diajar untuk mengasihi. Masyarakat mengajari demikian, "Kalau kamu tidak mau dicubit, janganlah kamu mencubit." Ada juga ajaran, "siapa menanam angin akan menuai badai." Ajaran-ajaran itu intinya sangat jelas. Pertama, kalau kita tidak mau disakiti maka janganlah menyakiti orang lain. Kedua, segala sesuatu yang kita lakukan akan ada akibatnya.

Kemudian, ketika saya tumbuh di dalam Gereja. Saya belajar sebagai seorang anggota Gereja, seorang Katolik, saya belajar satu hukum. Di sebut hukum cinta kasih. Saya bangga dengan hukum ini. Hukum yang telah mengganti hukum lama dengan sesuatu yang baru, yaitu kasih. Mari kita bandingkan hukum baru ini dengan hukum lama, kemudian membandingkan juga dengan hukum yang biasa-biasa saja.

Hukum lama: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa. Hukum semacam ini pernah ada, dan rupanya masih ada di dalam masyarakat. Hukum ini bisa juga digambarkan seperti ini, "kalau pipi kirimu dipukul, maka engkau harus membalas dengan memukul pipi kirinya, kalau seseorang membuat rambutmu rontok sepuluh helai, engkau harus membalasnya rontok sepuluh helai." Itulah bentuk keadilan dalam hukum lama.

Hukum baru: kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dengan seluruh pikiran dan kekuatanmu. Juga, kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri. Hukum ini masih diberi keterangan dan contoh-contoh kasus. Misalnya, kasihilah musuhmu, berdoalah bagi orang-orang yang membenci dan menganiaya kamu. Kalau kamu hanya mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah lebihnya? Orang jahatpun mengasihi orang yang mengasihi mereka. Orang yang tidak ber-Tuhanpun melakukan hal yang sama. Maka kalau kita berlaku seperti mereka, kita tidak memiliki arti.

Maka hukum kasih ini harus dimaknai lebih dalam. Kalau aku seorang yang ber-Tuhan. Tuhanku mengajarkan bagaimana mengasihi, pertama-tama mengasihi Tuhan kemudian mengasihi sesama seperti diri sendiri, apakah aku sudah menjalankan? Menjalankan perintah dimulai dengan pikiran, bahwa dalam pikiranpun aku sudah menjalankan. Kalau dalam pikiran saja sudah ada kebencian, sudah ada pembedaan, sudah ada diskriminasi, maka aku belum menjalankan ajaran Tuhanku dengan baik.

Kasus Satinah, kasus kemiskinan, kasus kebencian, dan masih banyak lagi adalah contoh dan sarana yang tepat bagi saya untuk mengamalkan hukum baru yang saya terima. Kalau ternyata saya belum menjalankan huku kasih yang saya terima, apakah yang harus saya buat? Saya harus memulai dari sekarang. Bahwa ternyata hukum kasih ini berat sekali, bukanlah alasan bagi saya untuk menolaknya. Saya sudah menyatakan menerima ajaran ini, saya menyatakan diri sebagai seorang Katolik, maka saya harus menerima hukum ini. Bukan hanya menerima, tetapi juga menjalankannya.

Sebaliknya, kalau saya mengaku diri sebagai orang Katolik, tetapi tindakan saya tidak mencerminkan apa yang saya imani, percuma saya mengaku diri Katolik. Kalau saya mengaku diri Katolik dan saya tidak menjalankan hukum kasih, saya belum menjadi seorang Katolik. 

Ada ungkapan yang kelihatan baik, tetapi sebenarnya tidak baik. Ungkapan ini berasal dari seorang tokoh yang sangat populer di Indonesia, dia mengajarkan sebuah jalan emas. Ungkapannya demikian, "aku tidak memiliki waktu untuk membenci orang yang membenci aku, karena aku terlalu sibuk mencintai orang yang mencintai aku." Ungkapan ini sekilas baik dan bijaksana. Tetapi egois dan tidak mencerminkan hukum kasih. 

Saya sudah menulis di atas alasan mengapa saya mengatakan bahwa ungkapan ini tidak mencerminkan hukum kasih. Karena orang yang tidak mengenal Tuhanpun mengasihi orang yang mengasihi mereka. Maka apakah lebihnya kalau seseorang hanya sibuk mengasihi orang yang mengasihi mereka?

Mencintai dalam menjalankan hukum kasih ternyata tidak segampang seperti yang tertuang dalam lagu cinta. Mencintai ini terkadang juga membutuhkan kebesaran hati sebab tidak jarang dibutuhkan sebuah pengorbanan. Sangat mudah mencintai mereka yang mengasihi kita, tetapi sangat berat untuk mengasihi orang yang tidak mengasihi kita. 

Cinta bertepuk sebelah tangan saja menyakitkan, apalagi mengasihi orang yang membenci kita. Mendoakan mereka. Pasti sangat berat. Tetapi inilah pilihan ketika saya menyatakan diri sebagai seorang ber-Tuhan. Ketika saya mengimani Dia yang memberi hukum baru bagi saya. Kalau ternyata sikap saya masih belum mencerminkana ajaran yang saya terima, saya harus berbenah. Mungkin hari ini adalah hari yang tepat untuk memulai berbenah. Mulai menata pikiran, menata hati, dan manata tindakan.

"Tuhan terimakasih atas segala rahmat yang telah aku terima. Semoga hal ini memampukan aku untuk membagi kasih, bukan hanya kepada mereka yang mengasihi aku, tetapi juga bagi mereka yang membenci aku. Semoga juga aku mampu mengasihi-Mu lebih dari pada segala sesuatu. Mengasihi-Mu dengan seluruh keberadaanku."

Hong Kong, 28 Maret 2014, 8:30 am

Comments

Popular Posts