Ibu yang menderita kanker pankreas

Pada hari Minggu, 15 Juni 2014, saya berjumpa dengan seorang ibu yang menderita kanker pankreas dalam acara makan siang. Perjumpaan yang memberi saya sebuah pengalaman yang sangat berharga. Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya akan berjumpa dengan seorang ibu yang oleh dokter divonis usianya tinggal 3 bulan, tetapi masih ceria dan tidak tergambar kesedihan dan ketakutan.
Bernama Lili Wong, asli Surabaya tetapi tinggal di Hong Kong karena orangtua angkatnya adalah orang Hong Kong. Saya tidak mengenal beliau sampai sahabat saya, Romo Benny, O.Carm meminta saya menghubungi beliau. Kebetulan Romo Benny berkunjung ke Hong Kong menemui kami. Beliau minta tolong pada saya untuk dihubungkan dengan ibu Lili yang dia kenal. Saya menelfon dan menyambungkan kepada Romo Benny. 
Singkat cerita saya menjadi "jembatan" komunikasi antara Romo Benny dan Ibu Lily. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan untuk bertemu pada hari Minggu siang di Tsim Tsa Tsui. Selama menjadi "jembatan" tersebut, saya tidak pernah mendapat kesan bahwa beliau sedang sakit yang sangat parah. Bahkan ketika tadi kami mulai bercakap-cakap dengan beliau. 
Kesan pertama yang saya dapati adalah beliau cukup "nyentrik". Mengapa saya berpendapat demikian? Karena beliau mengenakan penutup kepala yang sangat rapat. Penutup kepala tersebut bukan sekadar penutup kepala seperti yang biasa saya lihat. Ternyata penutup kepala tersebut untuk melindungi kulit kepala. Biasanya rambutlah yang melindungi kulit kepala, tetapi karena efek kemoterapi, rambut ibu tersebut rontok, maka beliau mengenakan penutup kepala.
Kesan berikutnya adalah, beliau mampu menerima sakitnya dan memberi makna yang dalam. Beliau tidak melihat sakit sebagai musibah, tetapi sebagai anugerah. Beliau melihat sakit sebagai kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan Tuhan. Dalam banyak kesempatan beliau berkata, "modal saya hanya tiga, senyum, bernyanyi dan membagikan pengalaman bahwa Tuhan itu baik." Bahkan ketika divonis oleh dokter bahwa usia hidupnya tinggal 3 bulan, ibu ini tidak sedih apalagi takut.
"Hidup saya bukan di tangan dokter atau di tangan saya sendiri, tetapi ada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki usia saya tinggal 3 bulan, maka itu adalah kehendak Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki usia saya lebih dari 3 bukan itu kehendak Tuhan." Demikian ibu tersebut beriman. Dan sekarang, 3 bulan yang dikatakan dokter sudah lewat jauh, bahkan sudah menyentuh angka tahun. Maka ibu tersebut hanya berucap, "God is good."
Kesan berikutnya yang saya dapat dari ibu tersebut adalah, ibu tersebut sungguh beriman. Dia percaya kepada kebesaran Tuhan, dan tidak pernah menuntut Tuhan untuk melakukan ini atau itu. Dia sungguh percaya bahwa Tuhan akan melakukan yang terbaik. Bahkan sakit yang dideritanyapun adalah pemberian yang terbaik, seperti cerita mengenai reaksi ibunya.
"Ibu saya awalnya bukan seorang pengikut Kristus. Bahkan ketika saya divonis kanker pankreas, beliau berkata kepada saya, 'apakah Tuhanmu masih kamu anggap baik?'" Kata beliau saat bercerita mengenai ibunya.
"Saya tidak marah dengan ungkapan ibu saya." kata Ibu Lili melenjutkan cerita.
"Saya rangkul ibu saya dan saya katakan, 'Mama, Tuhan itu sangat baik, bahkan baik sekali kepada saya. Saya diberi sakit ini, yang memungkinkan kita dekat kembali. Tuhan tahu bahwa aku memiliki seorang Mama yang sangat baik, yang sangat menyayangi aku. Sudah sekian lama kita berjauhan. Dengan sakit ini, kita menjadi dekat kembali. Bukankah Tuhan itu baik?'"
Ibu Lili diam sejenak dan meneruskan, "Mama saya tidak bisa berkata apa-apa, dia merangkul dan memeluk saya erat serta menangis. Sekarang Mama saya ikut ke Gereja dan rajin berdoa."
Cerita yang lain adalah mengenai komentar perawat dan dokter yang menjadi langganannya. Karena sakitnya ini, Ibu Lili harus bolak-balik ke rumah sakit untuk check kesehatannya. Mungkin karena penasaran, perawat dan dokternya bertanya, "Ibu ini kok tidak pernah menampakkan wajah sedih, padahal ibu menderita sakit yang sangat parah." Kemudian dengan tenang Ibu Lili menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Dokter, dokter lebih suka merawat pasien yang murung dan bersedih atau pasien yang gembira?"
"Ya tentu saja lebih menyenangkan merawat pasien yang gembira." Jawab dokter tersebut. Kemudian Ibu Lili meneruskan, "Dokter, saya percaya bahwa Tuhan memakai dokter untuk mengobati saya. Saya tidak pernah takut dan khawatir. Saya juga tidak bersedih, karena dengan sakit ini saya mengalami banyak hal yang baik, yang datang dari Tuhan. Salah satunya berjumpa dengan dengan Dokter."
Ibu Lili mengatakan kepada kami bahwa dokter yang merawatnya itu sudah lama tidak berdoa lagi. tetapi sejak merawat beliau, dan karena beliau selalu bercerita mengenai kebaikan Tuhan, dokter tersebut kembali lagi berdoa. Kitab Suci yang sudah lebih dari 30 tahun tidak dibuka, dibaca kembali.

Sahabat, demikian sedikit pengalaman yang bisa saya bagikan. Kiranya kalian mendapatkan juga seperti apa yang saya dapatkan. Sebuah pengalaman iman, yang sungguh percaya akan kebaikan Tuhan, bahkan dalam keadaan yang tidak baik sekalipun. Hidup, sakit, dan mati manusia ada di tangan Tuhan. Beriman itu sungguh sebuah perjuangan setiap hari dengan hal-hal kecil, atau bahkan yang sangat besar.

Hong Kong, 17 Juni 2014







Comments

Popular Posts