Ini Bujangan Sam!


(From Sampit with Love Part 2 – Journey of Kuliner in Borneo part 2)
Setelah semalam menginap di kota Sampit, tanggal 2 pagi saya bersama Dwi meluncur ke arah perkebunan. Sebelum berangkat Dwi membawa sepeda motor ke bengkel untuk servis. Selepas servis kami tidak bisa langsung berangkat. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, malangnya ia tidak membawa jas hujan. Saya sempat kelabakan, karena saya membawa laptop, wah bisa berabe kalau basah. Maka saya cari tas plastic (kresek) untuk membungkus laptop agar tidak basah jika nanti kena hujan.
Akhirnya setelah hujan mulai reda kami meluncur. Saya hanya berdoa semoga tidak semakin deras, karena saya tidak membawa banyak pakaian ganti. Akhirnya setelah meluncur barang 10 menit hujan reda. Perjalanan ini akan cukup panjang. Ada dua medan jalan yang akan kami lalui, medan beraspal dan medan jalan tanah. Sekitar satu setengah jam di jalan beraspal dan satu setengah jam di jalan tanah.
Ini Journey
Mestinya journey itu sebuah perjalanan. Sebagai sebuah perjalanan mestinya yang paling terasa kalau jalan kaki. Tetapi ini bukan saatnya untuk jalan kaki. Jaraknya begitu jauh sedangkan waktu yang saya miliki cukup terbatas, maka bersepeda motor adalah pilihan murah dan praktis.
Kota Sampit memang masih kecil, maka setengah setengah jam bersepeda kami sudah memasuki daerah yang tidak banyak rumahnya. Bahkan bisa dikatakan sudah masuk hutan. Ada juga daerah rawa-rawa. Di kanan kiri jalan juga saya jumpai penduduk yang menjemur rotan.
Kegembiraan kami ini dikejutkan dengan sepeda agak oleng. Kami segera berhenti dan memeriksa apa yang terjadi, yahh, ban bocor. Waduh di mana mau cari tukang tambal ban di tengah hutan begini. Awalnya kami coba untuk melanjutkan perjalanan. Baru sepuluh meter berjalan motor makin oleng. Maka saya putuskan untuk berjalan kaki, sedangkan Dwi melanjutkan perjalanan sampai ketemu tukang tambal ban.
Lumayan jalan kaki di tengah hutan, di siang bolong. Untunglah kaki sudah terbiasa berjalan maka tidak terlalu repot. Setelah berjalan kaki 20 menitan saya lihat Dwi di kejauhan. Rupanya di situ ada tukang tambal ban. Untunglah, sebab aku tidak perlu berjalan lebih jauh lagi. Tapi sepeda itu tidak bisa langsung dikerjakan, tukang tambal bannya masih menjalankan ibadah sholat Jumat.
Sambil menunggu tukang tambal ban saya mencoba menghubungi orang-orang yang akan saya kunjungi setelah dari Sampit. Beberapa nomer yang saya miliki saya kontak. Hasilnya lumayan, saya tidak akan terlantar di Banjarmasin dan Samarinda.
Setelah menunggu 15 menitan, tukang tambalnya datang. Ternyata kondisi bannya udah parah, yang copnya lepas, terpaksa deh ganti ban dalam. Hal ini lebih praktis dari pada menambal ban yang bocor. Proses pergantian ban hanya sekitar 10 menit. Setelah itu kami langsung melanjutkan perjalanan.
Naik Kuda di Hutan
Setelah melanjutkan perjalanan sekitar setengah jam kami mulai meninggalkan jalan beraspal. Jalanan tanah Kalimantan yang berdebu dan berlobang-lobang. Truk-truk besar pengangkut buah kelapa sawit membuat kondisi jalan menjadi buruk.
Melaju di jalanan seperti itu tak ubahnya naik kuda. Padahal saya naik kuda hanya di Parangtritis. Karena terus terguncang-guncang saya bayangkan sedang naik kuda hehehehe. Perjalanan cukup panjang dan sepi. Kanan kiri hanya terdapat hamparan sawit. Sesekali kami melewati pemukiman penduduk.
Akhirnya kami sampai di daerah padat penduduk. Namanya kecamatan Parenggean. Kami istirahat sejenak dan mencari makan siang. Warung yang dipilih Dwi adalah mie bakso. Yang berjualan orang Tlogosari Malang selatan. Rupanya ada juga orang Malang selatan yang menajdi pengusaha di sisni, meski sekadar pengusaha mie bakso.
Lelah dan panas membuat mie bakso itu enak banget. Apalagi campuran ayamnya begitu terasa, mak nyus tenan. Segelas es teh pun serasa nikmat sekali. Karena kurang, terpaksalah nambah segelas es teh lagi. Seger tenan. Dari kecamatan Parenggean ke mess adik saya masih 25 km lagi. Kami sempatkan mampir di pasturan Ecce Homo Parenggean, tetapi kosong. Mungkin mereka sedang turney. Di susteran pun kosong. Maka kami putuskan untuk langsung ke pabrik. Perjalanan naik kuda di mulai lagi. Jalanan semakin sepi, hanya sesekali ada satu pengendara yang melintas.
Saya bayangkan kalau tiba-tiba ban gembos atau kecelakaan di sini akan sangat menderita. Mau teriak, pasti tidak ada yang mendengar. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan kelapa sawit, ada yang baru ditanam, ada yang mulai berbuah, semuanya hanya sawit. Setelah setengah jam terguncangguncang di Jupiter, kami sampai di lokasi pabrik, di mana adik saya tinggal.
Kamar Bujangan
Ada beberapa bangunan dengan ukuran yang berbeda-beda. Ada yang besar ada yang kecil, tergantung jabatan mereka. Mereka dengan jabatan manager ke atas mendapatlan rumah besar dengan halaman luas. Sedangkan mereka yang menajbat asisten manager mendapat rumah yang lebih kecil lagi, selebihnya menempati bangunan yang lebih sederhanan lagi.
Adik saya jabatannya sistennya asisten, hahahahaha. Bawahnya asisten atasannya operator. Karena itu ia menempati mess yang sederhana. Hanya lebih baik dari barak. Rumahnya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi. Idealnya rumah itu untuk satu keluarga, itu pun sederhana, meski lebih luas dari rumah-rumah sederhana yang ada di perkampungan di kota-kota.
‘Ini istana bujangan sam.’ Bangunan dua kamar ini dihuni oleh 4 orang. Jadi satu kamar untuk 2 orang. Satu kamar sedianya hanya untuk satu orang, maka hanya ada satu tempat tidur. Karena harus ditempati dua orang maka diberi satu aksur tambahan di lantai. Ada satu alamri untuk dua orang. Ada Televisi, tape compo dan kipas angin hasil beli sendiri. Perusahaan tidak member sarana untuk itu. Tidak ada kurusi tamu di ruang tamu, ruang tamu hingga ruang tengah kosong, lantai dialasi perlak, satu ruangan yang biasanya menajdi dapur penuh dengan pakaian yang digantung.
‘Ini bujangan sam, maka ga teratur.’ Mereka pernah mencoba masak sendiri, tetapi malah tidak karu-karuan. Kerja mulai jam 7 pagi hingga jam 7 sore tidak memungkinkan untuk masak-memasak. Pakaian seragam pun hanya dicuci dan dijemur, tidak ada acara disetrika. ‘Ga sempat sam,’ alas an Dwi kenapa pakaiannya ga pernah disetrika. Semua orang akan maklum, karena bujangan. Untuk urusan makan ada kantin ataupun warung-warung di kampong.
Porsi Kuli
Setelah melihat-lihat kondisi kamar saya mandi. Setealh seharian ‘berkuda’ di jalan, madi rasanya sangat segar. Sehabis mandi keadaan sudah gelap, Dwi mengajak saya ke kampong. Rupanya ada temannya, anak Solo yang menikah dengan gadis setempat. Temannya ini baru saja mengalami kecelakaan, bersama istri dan anak gadisnya yang baru berusia satu tahun. Semua mengalami patah kaki. Irawan, teman adik saya, dan anaknya sudah sembuh, namun sang istri belum pulih. Bahkan sebagian tulang pinggulnya harus diganti akibat kecelkaan itu. Sebenarnya mereka sudah memiliki rumah sendiri, rumah mess, namun karena kecelakaan itu harus ada yang merawat, irawan dan keluarganya pindah ke rumah mertua, di daerah perkampungan.
Rumahnya unik. Dari jalan yang sangat gelap, rumah itu kelihatan kecil saja. Di ruang tamu saudara-saudara dan mertua Irawan asyik nonton tv, rupanya mereka baru saja makan malam. Kami langsung di bawa ke ruang tengah. Di sana kami bertemu dengan istri Irawan yag masih belum pulih kondisinya dan Gadis, nama anak Irawan. Ngobrol sejenak kami diajak ke ruang belakang untuk makan. Ternyata ruang belakang itu begitu panjang. Masih ada dua ruangan ke belakang.
Tuan rumah menghidangkan nasi putih dan daging babi. Mereka baru saja menyembelih dua ekor babi sebagai ungkapan syukur atas pulihnya kondisi kesehatan anak cucu dan mantunya yang baru saja mengalami kecelakaan. Pestanya sendiri diadakan tanggal 1 malam. Karena kami masih di Sampit, maka kami tidak bisa hadir. Hidangan tersebut adalah ‘sisa-sisa’ pesta.
Saya sedikit kaget dengan Dwi. Di rumah dia tidak suka daging. Hal itu saya ketahui kalau saya pulang kampong dan kami makan bersama, ia selalu memilih ‘jangan yesterday’. Artinya jangan yang sudah dihangatkan terus menerus dan menjadi blendrang. Namun di sini ia mau makan daging, bahkan tambah. ‘Kalau di sini tidak mau makan daging trus mau makan apa? Tahu tempe nggak ada, mau makan sayur terus nanti dikira nglakoni. Ya santap saja apa adanya.’ Urainya ketika kutanya mengapa sekarang mau makan daging.
Setelah puas makan, kami kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan ngobrol. Tentang anaknya yang harus selalu diayun agar mau tidur. Tentang tetangganya yang meninggal, yang sudah berbau namun belum juga dimakamkan, tentang sungai belakang rumah yang 4 kali setahun banjir, padahal dulu hanya sekali setahun, tentang habisnya pohon ulin, tentang buaya yang baru ditangkap warga. Semuanya gayeng, saya bisa menikmati perbincangan itu meski sering diselingi bahasa Sampit. Setelah cukup malam kami pamit pulang.
Besoknya Dwi berangkat kerja pukul 6.30. Dia bilang hanya kan absen dulu trus pulang sarapan. Jam 8 dia datang dan mengajak saya sarapan di kantin. Menunya nasi, mihun, dan sate. Nasinya buanyak. Saya terengah-engah untuk mengahbiskan. Benar-benar porsi kuli. Siang harinya, ketika kami kembali ke sana, saya minta agar nasinya setengah saja. Tidak sanggup perut ini untuk menahannya. Rasa masakannya sangat standart. Para karyawan, terutama yang masih bujangan, tidak punya pilihan lain meski rasa masakannya kurang nendang. Dari pada lapar, yang penting perut terisi dan kuat untuk bekerja. Mereka tidak ngomel, karena ngomel pun percuma. Kalau mau ya silakan masak sendiri, kalau sempat, toh untuk belanja harus pergi ke kecamatan.
Nasi Gule Kediri
Saya menginap dua malam di messnya Dwi. Hari ketiga kami pagi-pagi meluncur ke kecamatan, untuk mengejar kendaraan yang menuju Palangkaraya. Tujuan petualangan saya sekarang adalah Banjarmasin. Sudah ada keluarga dan sekolah yang menunggu saya di sana. Jam 6.20 kami meninggalkan areal pabrik dan menuju Parenggean.
Jam 7 pagi kami sampai di pos travel, setelah membooking satu kurusi untuk saya, kami mencari sarapan pagi. Warung pecel yang kami incar belum buka, terpaksa kami mampir di warung gule Kediri. Pagi-pagi sarapan gule, tidak masalah. Saya lupa memberitahu untuk menghidangkan setengah porsi saja. Akibatnya dihidangkanlah satu porsi besar untuk kami masing-masing. Semangkuk besar gule panas dan setangkup nasi di dalam piring yang bagi saya sangat besar jumlahnya.
Kembali, dengan terengah-engah saya berjuang untuk menghabiskan menu sarapan. Mengingat jalanan kemarin yang saya lalui, di mana saya akan terguncang-guncang, dengan sangat menyesal saya tidak bisa menghabiskan sarapan. Saya sangat menyesal bukan karena gulenya, tetapi karena masih banyak orang yang belum bisa memperoleh makan. Sungguh saya tidak terbiasa tidak menghabiskan makanan. Dari pada nanti muntah karena terguncang-guncang, yang akan merepotkan orang banyak, saya memilih tidak menghabiskan makanan.
Bye-bye Sampit
Menurut sopir travel, kami mestinya meluncur meninggalkan Parenggean Sampit menuju Palangkaraya jam 7.30. Tetapi apa mau di kata, seorang calon penumpang masih sibuk hendak menjual ‘amas’. Penumpang lain sudah gelisah, tetapi ibu itu belum kelihatan, mungkin toko amasnya belum buka. Mungkin ibu ini sangat membutuhkan uang asil penjualan emasnya untuk sebuah keperluan di Palangkaraya.
Akhirnya jam 7.45 kami mulai meluncur meninggalkan Parenggean. Jalanan yang kemarin saya lalui dengan sepeda motor, di mana saya masih bisa melaju, sekarang kami lalui dengan elf, terpaksa pelan-pelan. Banyaknya lobang tidak memungkinkan kami melaju dengan kencang.
Perjalanan menuju Palangkaraya memiliki jalan potong, yang tidak mengharuskan kami kembali ke Sampit. Jalan Tjilik Riwut, jalan yang sangat panjang, mulai dari kabupaten Sampit hingga kota Palangkaraya. Selamat tingal Sampit, Parenggean dan perkebunan.
Palangkaraya yang lengang hanya saya singgahi dua jam. Saya tidak sempat mengunjungi saudara dan saudari di sini. Calon gereja di Kasongan, taman doa di Tangkiling hanya bisa saya pandang dari travel. Mungkin di lain kesempatan saya bisa mampir ke sana. Di Palangkaraya ini say berpisah dengan adik saya. Entah kapan saya akan berjumpa lagi. Saya pun tidak sempat, atau tidak sanggup lebih tepatnya, menyampaikan pesan yang saya bawa dari rumah. Bertanya kepadanya kapan hendak menikah. Kondisinya, pacarnya sekarang, situasi pekerjaan, hanya membuatku sanggup berdoa, “dik, Tuhan memberkati engkau. Jika saatnya tiba, semua akan indah pada waktunya.”
Pesan
1. Dalam perjalanan, selalu bersiaplah untuk jalan kaki. Manusia bisa membuat macam-macam kendaraan, tetapi Tuhan telah memberi kaki, selalu bisa diandalkan di segala medan. Ban bisa gembos, mobil bisa terjebak banjir, namun kaki ini bisa mencari jalan yang baik. Meski kalau terlalu jauh ya cepek juga hehehehehe.
2. Kebahagiaan itu bukan diukur dari mewahnya rumah, lengkapnya kamar dengan barang elektronik, dari banyknya perabotan rumah, tetapi dari hati yang gembira. Hati bujangan selalu gembira, maka meski tidak punya apa-apa dia terus gembira. Biarawan mestinya juga seorang bujangan sejati, jika kebahagiaannya terletak pada barang-barang, tentukah dia bukan bujangan sejati.
3. Makan itu untuk hidup. Asal cukup karbohirat, protein, vitamin, dan mineral, dijamin tubuh akan sehat. Apalgi jika ditambah dengn ungkapan syukur, semuanya akan menjadi berkat. Jika makan penuh dnegan cemberut, rasa takut, semua makanan akan menjadi penyakit.
4. Jika hendak bepergian siapkan uang secukupnya. Jangan mengandalakan barang untuk dijual atau digadaikan. Bisa repot. Apalagi jika mengandalkan emas sebesar bola pingpong, bisa-bisa tidak akan bepergian, sebab tidak ada orang yang sanggup membeli. (memangnya ada biarawan yang memiliki emas sebasr bola pingpong?)
Banjarmasin, 4 Januari 2009


Comments

Popular Posts