Self HEALING : Sakit kok bangga!




Dari bulan Oktober 2013 hingga Desember 2014, saya tinggal di sebuah komunitas romo-romo missionaris dari Amerika. Ada beebrapa imam dan seorang bruder. Bruder ini sudah 9 tahun lamanya berproses untuk bisa sembuh dari kanker darah. Dia menyebut dirinya cancer survivor.
Kepada saya bruder ini sharing, bahwa sebelum terkena kanker dia sangat aktif. Pernah bekerja cukup lama di tanah arab, sebagai seorang mekanik. Kemudian sebagai missionaris awalnya dia bermisi di PNG, kemudian di Afrika. Di sanalah kanker darah menyerangnya.
Ada beberapa alternative pengobatan yang dia terima. Pada akhirnya dia memilih untuk tinggal di Hong Kong. Pertama, dia merasa seorang missionaris, maka kembali ke Amerika akan terasa aneh. Kedua, di sini dia bisa mendapatkan pengobatan alternatif ala Tiongkok. Ketiga, dia masih bisa melakukan karya sebagai seorang missionaris, dengan mengajar Bahasa Inggris kepada sesama cancer survivor.
Di komunitas ini juga ada seorang imam tua, yang menurut penuturannya sendiri, memiliki banyak sekali penyakit. Beberapa kali dioperasi karena tumor dan kanker skala awal. Beberapa kali sudah hampir mati karena serangan berbagai penyakit. Dan menjalani kemoterapy seolah menajdi keseharian bagi beliau.
Mendengar ceritanya ini, saya membayangkan bahwa hidupnya sangat menderita. Ternyata tidak. Dia sangat bahagia. Dia bahkan tidak pernah bercerita mengenai sakitnya itu hanya untuk mendapatkan simpati. Dia selalu bangga bahwa di usianya yang sudah 80 tahun, dengan segala terpaan sakit yang kerap melandanya, dia masih bisa bekerja.
Tahun lalu beliau kembali ke rumah induk di Amerika karena kondisinya yang sudah membutuhkan perawatan total. Sempat merayakan 50 tahun hidup sebagai imam pada bulan Februari ini, dan di bulan Agustus kemarin berpulang ke rumah Bapa.
Dua orang yang saya ceritakan ini menderita sakit fisik yang dengan mudah bisa dikenali. Kemampuan tubuh yang tiba-tiba menurun, rasa sakit yang tak tertahankan, adalah tanda-tanda yang memudahkan untuk mengenali bahwa di dalam tubuh yang kelihatan sehat itu sedang bersarang satu penyakit yang berbahaya.
Meski badan kita bisa memberitahu bahwa sedang ada yang tidak beres di dalam sana, tetap dibutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui kepastiannya. Mesti dilakukan test terhadap darah, melakukan foto X-Ray, test laborat, dll. Dibutuhkan orang yang ahli dibidangnya untuk mengetahui jenis penyakit dan bagaimana mengobatinya.
Bagaimana dengan sakit yang bukan fisik? Luka-luka jiwa yang tidak bisa dideteksi dengan test laborat? Yang tidak bisa tembus meski difoto X-Ray berkekuatan ganda sekalipun. Bagaimana mengetahuinya? Ada banyak cara, salah satu yang bisa dipakai adalah membuat batu pijakan atau stepping stone.

Stepping stone.
Luka jiwa ada yang bisa dikenali dengan sangat gamblang, namun ada yang sudah tidak terasa lagi, meskipun barangkali belum sembuh sama sekali. Pada catatan saya yang terdahulu saya sempat menyinggung bahwa kita sebenarnya tidak perlu terlalu susah mengeluarkan banyak energy untuk mencari pengalaman-pengalaman pahit dalam hidup. Cukuplah mengumpulkan pengalaman-pengalaman manis saja. namun berbarengan dengan terkumpulnya pengalaman-pengalaman manis, toh akan terkumpul aneka pengalaman pahit.
Membuat stepping stone adalah sebuah langkah untuk mendata setiap pengalaman yang pernah kita terima. Bukan saja untuk melihat apa yang pernah terjadi, tetapi juga berguna sebagai langkah antisipasi di kemudian hari. Karena kerap kali apa yang terjadi di dalam diri adalah sebuah pengulangan peristiwa-peristiwa lampau dalam periode yang hampir pasti. Maka saya bisa memahami apa yang dikatakan penulis pengkhotbah, “bahwasanya apa yang ada di bawah langit ini tidak ada yang baru. Apa yang sekarang terjadi, dulu sudah pernah ada dan pernah terjadi.”
Sebelum memulai proses membuat stepping stone, harus kita pahami bahwa ini hanya salah satu sarana belaka, dan proses panjang. Jika kita melakukannya dalam sebuah retret akan sangat baik, karena kita memiliki waktu yang panjang untuk bermenung dan menuliskan data.
Tetapi kalau kita melakukannya dalam keseharian, dalam kesibukan kita; proses ini tidak mungkin sekali jadi. Namun harus disiapkan waktu yang memadai dan terus menerus. Misalnya waktu malam hari sesudah doa malam, meluangkan waktu sekitar 30 menit. Dilakukan terus setiap hari. Maka langkah-langkah yang saya sarankan di bawah ini bisa dilakukan dalam waktu yang sama bisa dalam rentang yang berbeda. Tergantung banyaknya waktu yang kita punya.
Contoh 'Stepping Stone'
Langkah pertama proses stepping stone adalah membuat kerangka besar perjalanan hidup. Alat yang dipakai adalah kertas kosong yang lebar dan sebuah pensil. Misalnya kertas A4 atau bahkan kertas folio. Di ujung paling kiri kita buat satu lingkaran hitam kecil, kita tulis tanggal kelahiran kita sebagai titik awal perjalanan panjang. Di ujung paling kanan kita buat lingkaran hitam kecil, kita tulis tanggal sekarang saat kita membuat catatan. Kemudian buatlah garis yang menghubungkan titik awal dengan titik akhir.
Langkah kedua adalah memasang batu-batu pijakan. Buat lingkaran-lingkaran agak besar berwana biru sebagai gambar penanda peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dalam hidup kita. Pasti setiap kita memiliki pengalaman-pengalaman yang kita kategorikan besar. Misalnya; pernikahan, tahbisan, pertama kali bertemu pasangan, kaul kekal, wisuda, masuk seminari, dll. Tidak perlu terlalu detail. Kita buat yang sungguh-sungguh besar dulu. Pada setiap titik itu kita beri tanda tanggal dan nama peristiwa.
Langkah ketiga adalah membuat lingkaran-lingkaran agak besar berwarna merah. Untuk menggambarkan pengalaman-pengalaman kurang baik yang pernah kita terima. Seperti halnya langkah sebelumnya, di sini kita hanya mencatat pengalaman pahit yang besar saja. pengalaman pahit itu bisa berarti terkena musibah, atau juga menghadapi sebuah masalah besar.
Ada satu pengalaman yang akan sulit kita definisikan. Dia bisa menjadi pengalaman indah, namun juga bisa menjadi pengalaman bermasalah. Yaitu JATUH CINTA. Mengapa? Baiklah saya berikan sebuah cerita.
Jatuh cinta adalah pengalaman yang biasa, sebagai manusia yang memiliki rasa, jatuh cinta adalah normal belaka sifatnya. Remaja sering jatuh cinta, nemun belum tentu menjadi sebauh relasi cinta. Nah, bayangkanlah kalau seorang suami atau seorang istri kemudian jatuh cinta kepada orang lain. dan ndilalah kersaning allah, kok cinta itu nyetrum. Pribadi yang dijatuhi cinta tadi memberi respon, apa nggak jadi masalah?
Ada juga kaum religious atau imam, yang sudah memberikan diri untuk hidup selibat, kemudian bertemu dengan lawan jenis yang ndilalah tadi kok cocok dengan segala bayangan ‘pribadi sempurna’ semasa muda. Ndilalah lagi, lha kok nyambung. Apa itu bukan sebuah masalah?
Bagaimana menandai pengalaman ini? Sebaiknya tandai saja dengan lingkaran merah muda. Pengalaman jatuh cinta! Lalu akan kita jumpai bahwa selama kita hidup, kita akan sering mengalami peristiwa jatuh cinta. Maka dicatat saja, diberi tanda kapan. Dan, kalau perlu dengan siapa. Mengapa harus ada catatan ‘kalau perlu’? Yah berjaga-jaga saja. Terutama bagi mereka yang sudah menikah. Berjaga saja.

Membuat detail
Langkah yang sudha kita buat di atas adalah langkah awal, langkah membuat garis besar. Nah diperlukan langkah-langkah lain untuk melengkapi. Misalnya kita buat langkah per sepuluh tahun. Langkahnya serupa dengan yang kita buat di atas.
Pertama mengambil kertas putih dan pensil. Kemudian pada ujung kanan kertas kita buat titik tanggal sekarang. Misalnya 6 November 2016. Kemudian pada ujung kiri kita buat titik mundur sepuluh tahun. Misalnya 6 November 2006. Lalu kita hubungkan kedua titik tersebut dengan garis.
Berikutnya adalah memberi lingkaran-lingkaran biru sebagai penanda peristiwa-peristiwa menyenangkan yang terjadi selama 10 tahun terakhir. Berikutnya memberi lingkaran-lingkaran merah yang terjadi selama satu decade terakhir. Jangan lupa juga memberi lingkaran merah muda.
Apakah harus selalu memberi tanda jatuh cinta? Bagaimana kalau kita sering mengalami kejadian buruk yang serupa. Misalnya ditipu orang, atau sejenisnya. Buat saja dengan tanda yang sama misalnya warna ungu atau yang lain. diberi keterangan yang jelas agar mudah membuat garis merah di antara sekian peristiwa. Dan seterusnya.
Setelah dirasa detail, kemudian mundur ke decade sebelumnya. Misalnya dari 6 November 2006 sampai 6 November 1996. Demikian seterusnya kita buat sampai masa kecil kita. kalau seandainya rentang 10 tahun di rasa sangat panjang dan kurang menampung, buatlah rentang yang lebih pendek, misalnya 5 tahun.

Menganalisa batu.
Deret-deret peristiwa yang kita buat ini akan menghadirkan kembali banyak kenangan yang sudah lama terkubur. Bahkan ada banyak pengalaman yang sebenarnya tidak ingin kita hadirkan pun ikut hadir. Pengalaman yang selama ini kita tutupi, kita pendam, bahkan dengan sengaja kita lupakan, akan ikut muncul kembali. Itu tidak apa-apa. Yang penting adalah bagaimana kita memprosesnya.
Langkah pertama dalam menganalisa batu-batu peristiwa ini adalah dengan mengumpulkan peristiwa-peristiwa yang sejenis. Lalu melihat, apakah pengulangan peristiwa itu dalam rentang waktu yang hampir sama. Misalnya, setiap 4 tahun atau 5 tahun mengalami peristiwa A. Maka peristiwa A itu harus dianalisa.
Untuk menganalisa sebuah peristiwa atau pengalaman, kita menggunakan bantuan 5W+1H. Yaitu, apa nama peristiwa itu, siapa saja pribadi yang terlibat di sana, kapan peristiwa itu terjadi, di mana  peristiwa itu terjadi, mengapa peristiwa itu terjadi dan bagaimana peristiwa itu terjadi.
Tentu saja proses ini membutuhkan waktu yang tidak singkat. Namun seperti yang sudah saya sampaikan di atas, proses ini adalah proses panjang yang tidak perlu terburu-buru. Bahkan untuk menganalisa satu peristiwa saja dibutuhkan waktu yang tidak cukup kalau hanya sehari.
Langkah berikutnya adalah membandingkan. Apakah orang-orang yang memiliki karakter yang sama, situasi yang sama, akan membuat kita mengalami peristiwa yang serupa? Misalnya soal jatuh cinta. Catat saja, kapan saja Anda jatuh cinta. Lalu catat, seperti apa karakter orang-orang yang kepadanya Anda jatuh cinta. Lalu dalam rentang berapa tahun sekali Anda jatuh cinta.
Analisa ini penting untuk berjaga-jaga di kemudian hari. Kalau berada dalam siatuasi yang hampir sama, bertemu pribadi yang mirip-mirip karakternya, dan rentang waktunya adalah siklus jatih cinta. Maka kita harus membunyikan alarm kepada diri sendiri. Hati-hati!

Meditasi peristiwa
Kebanyakan orang yang berproses akan mengalami kebuntuan dengan pertanyaan, “kalau sudah ketemu kasus-kasusnya, peristiwa-peristiwanya, apa yang harus dikakukan”? Maka proses terakhir adalah proses penyembuhan. 
Saya menyebutnya meditasi peristiwa. Mungkin ada banyak yang salah paham dengan kata meditasi atau memiliki pemahaman yang salah mengenai meditasi. Meditasi adalah proses mengunyah peritiwa, merenungkan, menimbang, melihat dari berbagai sisi, lalu membuang bagian yang buruk dan menelan bagian yang baik.
Sebagai contoh akan saya berikan proses meditasi peristiwa yang saya alami. Luka yang saya derita adalah kebencian dan sedikit dendam kepada sekelompok orang yang dahulu membubarkan acara ibadat sabda di paroki Tanggul.   Kata kebencian dan dendam itu saya tebalkan karena luka itulah yang ingin saya sembuhkan. Sedangkan peristiwanya tidak mungkin kita ubah, karena sudah terjadi.
Langkah pertama, menyiapkan diri dengan baik. Sebaiknya dalam posisi duduk atau bersila, terserah mana yang laing pas dan nyaman. Letakkan salib di depan kita, dan bisa memungkinkan lilin berwarna putih. Baik juga menyiapkan sesuatu jika nanti muncul perasaan tertentu yang harus disalurkan. Saya memilih selembar kertas putih dan pensil.
Langkah berikutnya adalah menyiapkan diri dan berdoa. Doa yang saya pilih sebagai doa pengantar adalah Doa Roh Kudus yang diajarkan oleh Santo Agustinus, yaitu doa Roh Kudus, doanya adalah sebagai berikut:
Berhembuslah dalam diriku, o Roh Maha Suci,
sehingga pikiranku pun akan menjadi suci.
Berkaryalah dalam diriku, o Roh Maha Suci, 
sehingga pekerjaanku pun akan menjadi suci.
Tariklah hatimu, o Roh Maha Suci,
sehingga aku pun hanya menyukai apa saja yang suci.
Kuatkanlah aku, o Roh Maha Suci,
sehingga aku mampu mempertahankan apa yang suci.
Lindungilah aku, o Roh Maha Suci,
sehingga aku selalu hidup suci.
Langkah kedua adalah masuk ke dalam peristiwa yang hendak saya olah. Yaitu peristiwa pembubaran dengan paksa kegiatan ibadat Sabda.  Saya mulai dengan mengingat wajah orang-orang yang saya kenal. Yaitu umat yang saat itu hadir dalam ibadat. Saya ingat-ingat reaksi mereka, ketakutan mereka kita rombongan orang-orang itu datang. Saya ingat mereka satu persatu. Lalu saya mendoakan mereka, semoga mereka semua diberi kekuatan iman dan kesehatan.
Lalu saya membayangkan wajah orang-orang yang datang ‘menyerbu’. Ada wajah kepala desa, wajah pemimpin agama, pemuda, dan beberapa orang. Sebagian tidak bisa saya kenali lagi, karena sebagian hanya menunduk saja ketika kami berdialog.
Lalu saya merasakan apa yang yang terjadi di dalam diri saya ketika mengingat mereka. Perasaan marah dan dendam masih kuat meskipun peristiwa itu sudah berlangsung tahun 2001 yang silam. Saya terima perasaan itu. Saya mengambil pesil dan menggores di kertas yang sudah saya siapkan. Saya coret-coret sebagai ungkapan melepaskan rasa marah. Setelah cukup lega, saya kembali memejamkan mata dan tenang sejenak.
Kemudian saya membuka mata, saya lihat salib di depan saya lekat-lekat. Kemudian saya bayangkan Yesus ketika berada di kayu salib, melihat orang-orang yang menyalibkan-Nya. Lalu Yesus berseru, “ Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Lalu saya kembali kepada ingatan akan orang-orang yang menyerbu. Saya lihat mereka, dan saya mencoba berseru, ‘Tuhan ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan.” Lalu saya sambung dengan berdoa Bapa Kami.
Setelah mendoakan mereka, saya bersujud dan mohon ampun kepada Tuhan. Lalu kembali berdoa Bapa Kami, Salam Maria dan Kemuliaan. Dan meditasi selesai.  Proses ini bisa dilakukan sekitar 30 menit. Keesokan harinya saya mengulangi meditasi ini sampai saya tidak lagi merasakan marah di dalam hati.
Catatan: meditasi satu peristiwa bisa saja membutuhkan waktu yang lama. Tidak apa-apa, lakukan saja hingga kita tidak merasakan lagi “hawa negatif’ yang selama ini menajdi beban. Akan sangat berbahaya kalau kita memulai proses dan berhenti sebelum “luka” itu benar-benar sembuh. Yang terjadi adalah luka yang makin parah. Untuk mengetahui luka itu sudah sembuh atau bukan adalah dengan mengulang meditasi peristiwa tersebut. Lalu dalam proses ‘merasakan’ kita kenali dengan baik. Apakah masih ada perasaan negative yang ditimbulkan oleh peristiwa itu atau tidak.

Penutup
Catatan ini begitu panjang dan bersifat tuntunan. Catatan ini akan membuahkan hasil yang baik kalau kita mempraktikkannya. Lalu menjawabi pertanyaan yang saya ajukan pada judul, “sakit kok bangga!”, sebenarnya bukan kebanggaan yang hendak dikedepankan, tetapi sebuah kesadaran untuk dibawa kepada proses kesembuhan. 

Comments

Popular Posts