Cinta dan Derita, Encounter the Cross (day 33)



Sekitar 6 tahun yang lalu, waktu itu saya melayani sebuah komunitas di Melbourne. Dalam sebuah pertemuan lingkungan, kami membahas tema mencintai dan menghukum. Apakah orang yang mencintai itu akan rela membiarkan orang yang dicintai menderita? Diskusi kami berjalan cukup seru karena ada seorang bapak yang sangat ngeyel bahwa tidak mungkin seorang yang mencintai itu akan membiarkan orang yang dicintai menderita.
Saya agak kelabakan juga melayani debatnya, bahkan ketika saya berkata, “orangtua yang mencintai anak-anaknya pasti akan menghukum anak-anaknya, kalau anak-anaknya berbuat salah,” bapak ini membantahnya. Beliau berkata bahwa kalau namanya mencintai pasti tidak akan membiarkan orang yang dicintai menderita. Kalau orangtua mencintai anak-anaknya, pasti tidak akan menghukum anak-anaknya.
Lalu saya bertanya, “Bapak anaknya berapa?”
Ternyata dia tidak memiliki anak. Dalam hati saya berkata, “pantes saja nggak memahami bahwa orangtua itu terkadang menghukum anak-anaknya karena mereka mencintai anak-anaknya.”
Nah, kalau ukurannya adalah manusia, dengan segala pembenarannya, mungkin kita masih bisa memahami kalau mencintai itu juga merelakan orang yang dicintai menderita. Akan tetapi bagaimana dengan Tuhan, apakah Dia juga merelakan orang-orang yang Dia cintai menderita?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan klasik sepanjang masa. Biasanya pertanyaan ini beriringan dengan pertanyaan, “mengapa ada orang baik yang menderita”. Karena dasar berpikirnya adalah, orang baik itu ya harusnya mendapatkan upah kebaikan juga. Kalau ada orang baik menderita, hmmm jangan-jangan dia tidak benar-benar baik. Atauuu, mengapa Allah membiarkan hal yang tidak baik menimpa orang baik? Apakah orang itu tidak benar-benar baik? Haisss, pertanyaan mbulet.  

Mari kita beralih kepada cerita yang disuguhkan oleh Yohanes. Berulang kali dan dengan berbagai cara, dia mencoba menggambarkan betapa Yesus mempunyai relasi yang sangat baik dan dekat dengan kakak beradik Maria, Martha dan Lazarus. Mereka tinggal di kota Betania, tetapi desanya tidak disebutkan dengan jelas. Sekarang mungkin kota ini atau desa mereka berada di wilayah Tepi Barat (West Bank), di sebuah desa yang disebut “al-Elzariya”, atau “tempatnya Lazarus”. Salah satu tandanya adalah adanya makam Lazarus atau Gereja Lazarus.
Tiga bersaudara ini memiliki relasi yang baik dengan Yesus. Bahkan mengenai sosok Maria, penulis Injil Yohanes memberi keterangan tambahan, dia jugalah yang nanti mengurapi kaki Yesus.
Sekarang saatnya lebih berkonsentrasi kepada cerita yang disuguhkan. Lazarus, satu dari tiga bersaudara ini sedang sakit. Bahkan sakit parah. Lalu mereka mengirim kabar kepada Yesus melalui seorang suruhan. Orang itu pun menyampaikan kepada Yesus bahwa “dia yang Dia kasihi sedang sekarat”.
Tentu Maria dan Martha yang mengirim kabar berharap bahwa Yesus akan datang menjenguk dan mungkin akan menyembuhkan. Atauuu, seperti yang dibuat kepada anak pegawai istana, Yesus menyembuhkan dari jarak jauh. Tetapi harapan itu tidak menjadi kenyataan. Yesus tidak segera pergi ke Betania, sebaliknya dia masih tinggal di tempat itu lebih lama lagi.

Apakah Yesus sungguh mencintai Lazarus? Mengapa Dia tega membiarkan keluarga ini mengalami penderitaan? Mengapa Yesus tega memberikan pengalaman ketidak berdayaan kepada mereka? Bahkan sakit yang tak terkira karena kehilangan orang yang dikasihi? Mengapa Yesus melakukan ini? Apakah Yesus menghukum mereka? Atau, apakah Dia sudah kehilangan kuasa untuk melawan kuasa jahat?

TIDAK!
Yesus tidak sedang menghukum mereka.
Yesus juga tidak kehilangan kuasa atas roh-roh jahat.

YESUS SUNGGUH MENCINTAI MEREKA!

Yesus membiarakn mereka mengalami sakit dan derita karena DIA sungguh mencintai mereka. Karena kalau Yesus menjaga mereka dari segala derita, itu bisa berakibat fatal, bahkan kita bisa berpikiran kalau hidup di dunia ini sebenarnya tak ubahnya seperti di surga. No. Bukan! Bahkan kita juga tidak boleh berpikir bahwa kita bisa mendapatkan kebahagiaan hanya karena usaha kita sendiri. TIDAK!
Kita ini hidup di dunia di mana derita tidak mungkin dielakkan. Dan pengalaman akan rasa sakit, derita, bahkan pengalaman kehilangan orang terkasih adalah cara yang dipakai Allah untuk mengingatkan kita bahwa hidup di dunia ini adalah sebuah perjalanan, peziarahan.

Hidup itu adalah sebuah peziarahan. Dan keseleruhuannya adalah “JALAN”, bukan “TUJUAN”.

Nahhh…. Bagaimana dengan pembangkitan Lazarus?

Itu seperti incip-incip, itu seperti makanan pembuka saja. Keindahan dan kebahagiaan surga melampaui hal tersebut.

Dari sini saja kita bisa belajar bahwa apa yang sesungguhnya bermakna di dalam hidup adalah bukan kenyamanan yang sempurna semata. Tetapi mengetahui, mencintai, dan mengikuti Yesus. Maka tidak salah kalau ada doa:

Tuhan, dari hari ke hari, (day by day oh dear Lord)
Tiga hal ini kupinta dari-Mu (three things I pray)
Melihatmu lebih jelas (to see You more clearly)
Mencintaimu lebih mesra (to love You more dearly)
Mengikutimu lebih dekat (to follow You more nearly)
Dari hari ke hari (day by day)

Doa di atas saya adaptasi dari doa yang diciptakan oleh St. Richard, seorang uskup Chicester, Inggris. Hidup dari tahun 1197 sampai 1253. Doa yang sderhana namun mendalam itu kemudian dinyanyikan oleh Godspell pada tahun 1971 dengan judul “day by day”. Dua tahun kemudian doa ini diangkat ke layar lebar. Sekarang mari kita jadikan nafas doa kita.

Derita dan rasa sakit akan membantu kita untuk melakukan hal di atas, lebih dan lebih lagi. Derita juga menjadi sarana pengingat bahwa kita ini manusia biasa, bukan Tuhan. Kita tidak bisa bertindak seolah-olah kita berkuasa.
Derita adalah salah satu jalan yang dipakai oleh Tuhan untuk bisa masuk ke dalam kehidupan manusia lebih dalam dan lebih sempurna. Seperti yang Yesus lakukan ke dalam kehidupan Maria, Martha dan Lazarus.
Cara ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa penyertaan Tuhan itu jauh lebih besar daripada bencana hebat sekalipun. Dan tak ada satupun di dunia ini terlalu sulit bagi Yesus, bagi rencana penyelamatan-Nya.

INGAT!
Mengatakan bahwa penyertaan Tuhan itu melampaui tragedy, itu tidak kemudian mengubah tragedy menjadi sebuah komedi.

Lazarus yang dibangkitkan itu tidak kemudian menghapus duka dan perih di hati Maria dan Martha.
Bahkan Yesus yang kebangkitannya kita rayakan pada hari Minggu Paskah tidak menghapuskan jejak derita Jumat Agung.

Derita tetaplah derita.

Beriman kepada Tuhan, percaya kepada penyelenggaraan-Nya tidak membuat derita sirna dari hidup kita. Selama kita hidup di dunia, kita masih akan menghadapi aneka derita.

Untuk apa?

Tuhan memiliki tujuan dengan memberi kita derita.
Ketika kita menerima salib Yesus dalam hidup kita, walau dengan bercucuran air mata, kita akan bertumbuh dalam kedewasaan iman dan kebijaksanaan. Seperti Martha yang kemudian percaya bahwa Lazarus sungguh akan bangkit.

Menyadari tujuan itu juga membuat kita mendapatkan “damai” di tengah bencana.

Tuhan ingin, agar kita sungguh percaya kepada-Nya, apapun yang sedang melanda hidup kita.

Dalam doa-doa, dalam merayakan sakramen, hendaknya kita lakukan dengan sesadar-sadarnya, bukan sekadar rutin dan mengalir begitu saja. Setiap kata dalam doa Bapa kami, hendaknya kita sadari maknanya. Setiap kata dalam doa “Aku Percaya”, hendaknya kita sadari maknanya.
Terlebih, ketika kita maju dan menerima Yesus dalam hidup kita dalam wujud Komuni Suci, hendaknya kita menerima-Nya dengan sadar, dengan keterbukaan hati untuk membiarkan Tuhan masuk dan menguatkan kita.

Salam
Hong Kong, 2 April 2017

Comments

Popular Posts