Membayar Pajak
Haruskah seorang biarawan membayar pajak? Pertanyaan ini mengemuka karena para biarawan mengikrarkan kaul kemiskinan, di mana mereka tidak memiliki harta milik pribadi. Ada yang tidak setuju kalau mereka membayar, namun ada yang setuju. Tentu saja masing-masing pendapat memiliki alasannya sendiri-sendiri.
Berikut ini saya kirimkan tulisan kakak saya, romo Budiono, yang sedang belajar Kitab Suci. Semoga berguna.
Terus terang saya, bukan saja "rabun", tetapi "buta total" soal peraturan perpajakan. Maka soal ini saya percayakan saja pada para konfrater yang sedikit lebih tahu. Tapi berdasarkan common sense saja, orang mestinya bayar pajak. Saya hanya mau memberi satu tambahan pemikiran kecil saja dari "dunia saya".
Untung sekali bahwa dalam injil kita punya satu teks yang ada kaitannya dengan soal "pajak-memajak" ini. Teks ini sudah cukup kita kenal, dan kisahnya amat menarik:
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga." (Mat 17,24-27).
Yesus dan para murid-Nya, ternyata biasa membayar pajak Bait Allah. Mateus menuliskan kisah ini dalam situasi di mana kekristenan hampir memisahkan diri dari jemaat Yahudi. Dalam situasi itu, orang bisa merasa "tak perlu bayar pajak". Toh Matius masih menampilkan contoh dari Yesus ini yang ternyata membayar pajak untuk Bait Allah: "......supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka", kata Yesus. Yesus dan para muridnya mau ditampilkan sebagai orang-orang yang "tulus". Mereka tidak mau tampil sebagai kelompok khusus, kelompok yang merasa mempunyai "previlese", dsb.
Juga bahkan dalam situasi ketidakadilan-pun, yakni pajak pada pemerintah Roma, rupanya mereka tetap bayar pajak pula. "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah", kata Yesus (Mat 22,21).
Ada kemungkinan, seperti Benny bilang, bahkan sudah dan sering terjadi bahwa uang pajak itu banyak dikorupsi. Ini yang membuat banyak orang marah. Namun, saya setuju dengan para konfrater semua, kita harus bayar pajak. Bagaimana negara bisa dibangun, kalau orang tak bayar pajak? Bayar pajak berarti ikut membangun negara. Memang kemudian kita bisa dan wajib memprotes, bila pajak itu tidak dikembalikan pada rakyat dan hanya dikorupsi. Namun tentunya kita tidak bisa protes, bila sebelumnya kita tidak mau bayar pajak.
Mungkin ada kebingungan di antara kita soal "bayar pajak atau tidak", dengan berbagai pertimbangan bahwa pendapatan kita kecil, aset kita tidak banyak, apakah nanti tidak akan menjadi "beban ang semakin memberatkan" kongregasi, dsb. Injil di atas menjadi undangan bagi kita untuk belajar "menjadi tulus". Mungkin kita tidak perlu mencari jalan/akal-akalan supaya "lolos" dari beban/kewajiban pajak ini. Selama ini Gereja dan kaum religius terbiasa dengan privilese. Belajar dari Gereja di Eropa, minimal di Itali, saya merasa privilese-privilese nampaknya malah "merugikan"! Ya, semoga saja ada peraturan yang adil tentang pajak ini (dan pelaksanaan yang konsekwen). Soal pajak, kita harus bayar. Mukjizat Yesus yang ini sangat "unik" dalam seluruh injil. Sungguh lucu, boleh dikatakan. Barangkali hanya mau menunjukkan bahwa jika ada ketulusan, ada pula "penyelenggaraan ilahi". Teks ini mungin baik untuk sedikit kita renungkan, mungkin juga menjadi suatu undangan bagi kita untuk percaya akan ada "empat dirham dalam mulut ikan yang pertama".
Berikut ini saya kirimkan tulisan kakak saya, romo Budiono, yang sedang belajar Kitab Suci. Semoga berguna.
Terus terang saya, bukan saja "rabun", tetapi "buta total" soal peraturan perpajakan. Maka soal ini saya percayakan saja pada para konfrater yang sedikit lebih tahu. Tapi berdasarkan common sense saja, orang mestinya bayar pajak. Saya hanya mau memberi satu tambahan pemikiran kecil saja dari "dunia saya".
Untung sekali bahwa dalam injil kita punya satu teks yang ada kaitannya dengan soal "pajak-memajak" ini. Teks ini sudah cukup kita kenal, dan kisahnya amat menarik:
Ketika Yesus dan murid-murid-Nya tiba di Kapernaum datanglah pemungut bea Bait Allah kepada Petrus dan berkata: "Apakah gurumu tidak membayar bea dua dirham itu?" Jawabnya: "Memang membayar." Dan ketika Petrus masuk rumah, Yesus mendahuluinya dengan pertanyaan: "Apakah pendapatmu, Simon? Dari siapakah raja-raja dunia ini memungut bea dan pajak? Dari rakyatnya atau dari orang asing?" Jawab Petrus: "Dari orang asing!" Maka kata Yesus kepadanya: "Jadi bebaslah rakyatnya. Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga." (Mat 17,24-27).
Yesus dan para murid-Nya, ternyata biasa membayar pajak Bait Allah. Mateus menuliskan kisah ini dalam situasi di mana kekristenan hampir memisahkan diri dari jemaat Yahudi. Dalam situasi itu, orang bisa merasa "tak perlu bayar pajak". Toh Matius masih menampilkan contoh dari Yesus ini yang ternyata membayar pajak untuk Bait Allah: "......supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka", kata Yesus. Yesus dan para muridnya mau ditampilkan sebagai orang-orang yang "tulus". Mereka tidak mau tampil sebagai kelompok khusus, kelompok yang merasa mempunyai "previlese", dsb.
Juga bahkan dalam situasi ketidakadilan-pun, yakni pajak pada pemerintah Roma, rupanya mereka tetap bayar pajak pula. "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah", kata Yesus (Mat 22,21).
Ada kemungkinan, seperti Benny bilang, bahkan sudah dan sering terjadi bahwa uang pajak itu banyak dikorupsi. Ini yang membuat banyak orang marah. Namun, saya setuju dengan para konfrater semua, kita harus bayar pajak. Bagaimana negara bisa dibangun, kalau orang tak bayar pajak? Bayar pajak berarti ikut membangun negara. Memang kemudian kita bisa dan wajib memprotes, bila pajak itu tidak dikembalikan pada rakyat dan hanya dikorupsi. Namun tentunya kita tidak bisa protes, bila sebelumnya kita tidak mau bayar pajak.
Mungkin ada kebingungan di antara kita soal "bayar pajak atau tidak", dengan berbagai pertimbangan bahwa pendapatan kita kecil, aset kita tidak banyak, apakah nanti tidak akan menjadi "beban ang semakin memberatkan" kongregasi, dsb. Injil di atas menjadi undangan bagi kita untuk belajar "menjadi tulus". Mungkin kita tidak perlu mencari jalan/akal-akalan supaya "lolos" dari beban/kewajiban pajak ini. Selama ini Gereja dan kaum religius terbiasa dengan privilese. Belajar dari Gereja di Eropa, minimal di Itali, saya merasa privilese-privilese nampaknya malah "merugikan"! Ya, semoga saja ada peraturan yang adil tentang pajak ini (dan pelaksanaan yang konsekwen). Soal pajak, kita harus bayar. Mukjizat Yesus yang ini sangat "unik" dalam seluruh injil. Sungguh lucu, boleh dikatakan. Barangkali hanya mau menunjukkan bahwa jika ada ketulusan, ada pula "penyelenggaraan ilahi". Teks ini mungin baik untuk sedikit kita renungkan, mungkin juga menjadi suatu undangan bagi kita untuk percaya akan ada "empat dirham dalam mulut ikan yang pertama".
Comments