Hati Yang Terbakar : Inilah Sabda Tuhan ... (bagian ke-2 dari empat tulisan)
Para sahabat terkasih. Catatan ini adalah lanjutan dari permenungan mengenai Ekaristi yang diambil dari kisah dua murid yang pulang ke Emaus. Mereka sedang bersedih karena kehilangan orang yang menjadi pegangan hidup. Catatan yang lalu telah membawa kita kepada pemahaman bahwa saat kita datang ke dalam Ekaristi adalah saat kita membawa seluruh duka dan lara. Saat di mana kita berseru Tuhan kasihanilah kami, kasihanilah hati kami yang tercabik-cabik luka. Setelah kita memohon belaskasih Allah, kita sia mendengarkan Tuhan berbicara.
Mendengarkan Sabda
Mari kita lihat apa yang terjadi dengan dua murid yang pulang dengan sedih tersebut. Ketika mereka berjalan ke rumahnya sambil bersedih, tiba-tiba Yesus hadir. Tetapi mata mereka tidak menyadari kehadiran-Nya. Mereka tidak menyadari bahwa sudah ada yang berubah. Toh itu tidak berlangsung lama.
Perlahan mereka menyadari keadaan yang mulai tidak sama lagi. Yang semula adalah dua kini menjadi tiga. Semuanya kini berbeda, tidak sama lagi. Maka serta merta mereka tidak menunduk ke tanah lagi, mereka menatap orang asing yang tiba-tiba muncul. Orang asing yang bertanya, “apa yang sedang kalian perbincangkan sembari kalian berjalan?”
Dua orang tadi menghentikan langkahnya sejenak seraya menatap orang asing itu. Mereka tidak segera menjawab pertanyaan orang asing yang kedengaran aneh, tetapi memandangnya sejenak. Meski memandang secara demikian, mereka tidak menyadari siapa orang yang datang tersebut. Kemudian mereka berbicara meski tidak langsung memberi jawaban, “pastilah kamu satu-satunya orang yang tidak tahu akan apa yang terjadi.”
Kemudian terjadilah percakapan di antara mereka. Dua murid bergantian menceritakan apa yang terjadi di Yerusalem. Apa yang mereka alami bersama guru mereka. Mereka membagikan pengalaman kehilangan, pengalaman pahit mereka kepada orang asing yang tiba-tiba datang. Mereka tidak tahu, kenapa mereka bisa begitu saja menceritakan kesedihan itu kepada orang asing.
Kemudian orang asing tadi membuka mulutnya. Ia mulai berbicara. Banyak sekali. Ia berkisah mulai dari kisah-kisah yang ada dalam Kitab Suci. Ia memulai dengan kitab-kitab Musa, kemudian kitab para nabi. Begitu seterusnya. Orang yang tadi mendengarkan kisah kesedihan mereka, kini bercerita. Dan kedua murid yang tadi membagikan kesedihan, kini tekun mendengarkan.
Kisah yang dibagikan orang asing ini sebenarnya bukan kisah baru bagi mereka. Itu adalah kisah biasa. Mereka sudah sering mendengarnya sejak mereka kecil, ketika mereka harus berkumpul di bait suci untuk belajar ilmu agama. Mereka sudah sangat terbiasa mendengarkan kisah itu, tetapi sekarang terasa berbeda. Seolah-olah baru hari itu mereka mendengarkannya.
Mungkin yang membedakan adalah si penceritanya. Orang asing ini bisa seolah-olah jauh, sekaligus dekat. Ketika ia menceritakan kesedihan, seolah-olah dialah yang sedang sedih. Tatkala ia menceritakan kegembiraan, tergambar dengan jelas bagaimana ia bisa menghadirkan kegembiraan itu secara nyata. Si pencerita ini bisa memaparkan banyak hal yang selama ini sulit mereka pahami. Kisah-kisah yang selama ini hanya menjadi cerita kuno, yang dibacakan di bait suci, kini mulai hidup dan membakar hati.
Ketika bercerita mengenai kesedihan, ia tidak memaparkan mengapa kesedihan itu harus terjadi. Ia juga tidak berusaha menjawab alasan dari kesedihan itu. Tetapi ia menunjukkan bahwa kesedihan itu adalah bagian dari satu-keatuan kesedihan yang lain, yang telah menyembunyikan kegembiraan.
Sebuah kesedihan tidak pernah berdiri sendiri. Ia hadir bertalian dengan yang lain. Orang asing itu tidak menunjukkan mengapa seseorang harus mengalami kesedihan dan kehilangan. Orang asing itu menunjukkan bahwa kehilangan adalah jalan untuk terjalinnya hubungan yang baru. Orang asing itu tidak membantah sedikitpun apa yang mereka paparkan tadi, ia hanya menunjukkan bagian terdalamnya, ia menunjukkan keterkaitan semuanya. Orang asing ini sungguh pencerita yang hebat, ia bisa masuk menukik hingga sampai bagian terdalam pikiran dan hati pendengarnya.
Lambat mengerti
Kemudian orang asing itu berkata, “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu.” Hmmm, kata-kata ini sungguh keras. Biasanya kalau kita diberi ucapan seperti ini, sontak kita akan menolak, akan membela diri. Namun jika pernyataan keras itu dikatakan dengan tulus, dengan kejujuran yang membuka mata dan hati, kata-kata itu tidak keras lagi.
Orang asing itu memakai kata-kata ‘bodoh’ untuk membuka mata kedua murid. Bahkan bukan sekadar upaya untuk membuka mata, tetapi upaya untuk menimbulkan keyakinan. Keyakinan bahwa apa yang mereka alami, yaitu kehilangan itu; bukanlah kehilangan yang fatal yang tak mungkin kembali lagi. Langkah yang mereka ambil kini, yaitu pulang kampung setelah kehilangan pegangan, dan mencoba kembali kepada cara kehidupan yang lama sungguhlah bodoh. Maka orang asing itu berkata, “orang bodoh... sungguh lamban untuk percaya.” Mereka sangat lambat untuk memahami rancangan besar yang sedang terjadi, mereka hanya melihat bagian kecilnya saja, dan mereka kehilangan kepercayaan.
Pengalaman ini kerap terjadi dalam hidup kita. Yesus hadir dalam kehidupan kita, memaparkan segala isi Kitab Suci, tetapi kita lamban untuk mengerti. Lebih parahnya lagi, kita tidak menyadari kehadiran Tuhan tersebut. Kita tidak menyadari karena kita kerap tidak peduli. Kita kehilangan kesadaran. Hati dan pikiran kita dipenuhi kehendak pribadi sehingga menghilangkan kesadaran akan hadirnya pribadi lain. bahkan pribadi lain yang sedang memaparkan kehendak Allah.
Ketika kita sungguh memahami, kita akan menyadari kehadirannya. Kehadiran-Nya yang membakar hati kita. Seperti dua murid tadi yang berkata, "Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" Ini yang mesti kita sadari.
Dalam perayaan ekaristi, terutama ketika Sabda dibacakan, Tuhan sendiri hadir bercerita mengisahkan segala hal. Ia sungguh hadir. Dalam setiap Ekaristi, Ia hadir dalam Sabda, kehadirannya sungguh misterius. Ia hadir dan memenuhi hidup kita. Ia hadir agar hidup kita sungguh mengalir dari daya Ekaristi. Sayang kita tidak menyadari bahwa Dia sendirilah yang berbicara melalui para pembaca. Atau kita menyadari bahwa Sabda yang dibacakan adalah Sabda Tuhan, tetapi kita tidak mendengarkan dengan baik. Pikiran kita terlalu penuh dengan banyak rancangan dan angan-angan.
Bacaan yang diambil dari perjanjian lama, kemudian dari perjanjian baru, kemudian dari Injil dan disambung homily; itu seumpama Yesus yang bercerita kepada dua murid yang berjalan pulang. Dia menjelaskan; bukan alasan dari kesedihan kita, tetapi menunjukkan hubungan tiap peristiwa dalam satu kerangka yang utuh.
Kita tidak bisa sungguh-sungguh hidup tanpa sabda Tuhan tersebut. Sabda Tuhan, entah kita baca sendiri entah kita dengarkan, sungguhlah penting. Bukan sekadar sebagai peneguh iman, bukan hanya sebagai pemberi inspirasi dan kekuatan; tetapi sabda itu membuat Yesus sendiri hadir dalam hidup kita. Sabda Tuhan sungguh penuh dalam kehadiran Tuhan.
Kehadiran Tuhan
Sabda Tuhan tidak bisa dipisahkan dari kehadiran Tuhan. Maka ketika sabda Tuhan dibacakan, Tuhan sendiri hadir. Di sanalah kita bisa melihat-Nya, mendengar suara-Nya. Yang dbutuhkan hanya satu: membuka mata dan hati; membuka budi dan kehendak untuk mau mengerti.
Dalam Kitab Suci sendiri banyak kita jumpai contoh-contoh yang menjelaskan bahwa dalam sabda Tuhan menampakkan kehadiran Tuhan sendiri. Misalnya yang terdapat dalam Lukas 4:18-19. "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang."
Kemudian setelah membacakan itu Yesus berkata: Genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarkannya. Kembali kepada kita, tatkala kita mendengarkan sabda Tuhan, apakah yang kita lihat dan dengar? Sungguhkah kita merasakan kehadiran-Nya? Dalam akhir Injil imam biasa berkata, “Demikianlah Injil Tuhan” lalu kita sontak menjawab, “Terpujilah Kristus”. Atau seperti yang sering saya gunakan, yaitu ajakan panjang, “Berbahagialah orang yang mendengarkan sabda Tuhan dan tekun melaksanakannya.” Lantas umat menjawab, “Tanamkanlah SabdaMu ya Tuhan, dalam hati kami.”
Kita berseru “tanamkanlah SabdaMu ya Tuhan”. Artinya kita menyadari bahwa yang baru kita dengar tadi adalah Sabda Tuhan yang hidup. Dia butuh tumbuh di dalam hati manusia. Ataukah Sabda itu lewat begitu saja karena kita menjawab seruan imam karena sudah terbiasa, sekadar hafal belaka yangs emuanya tidak kita sadari lagi. (bersambung)
Comments