Mengundang-Nya... (Seri hati yang terbakar, bag 3)
Sahabat terkasih,
refleksi kita akan Ekaristi sudah melewati bagian sabda. Dalam bagian kedua
yang lalu, di mana kita merefleksikan kehadiran Tuhan dalam bacaan-bacaan, kita
melihat sendiri Tuhan yang hadir. Refleksi itu merujuk pada dua murid yang
tengah taksim mendengarkan teman asing mereka mengulas isi Kitab Suci.
Pada saat
mendengarkan sabda itulah kedua orang murid tadi mulai merasakan adanya
perubahan. Teman perjalanan mereka ini, yang belum mereka kenali siapa
identitasnya, mulai mereka sadari sebagai pribadi yang ‘bukan sembarangan’. Toh
mereka belum bisa memahami siapa, tetapi jelas bukan biasa-biasa saja.
Orang asing ini
telah mampu menunjukkan arah hidup yang lebih tepat. Dia menunjukkan sedikit
titik terang dari gelutan hidup yang acak kadut. Dia membuka sedikit demi
sedikit tabir gelap misteri yang membayangi mereka. Perjalanan hidup selama tiga
tahun mengikuti Yesus, saat akhir yang memporak-porandakan keteguhan iman
dengan meninggalnya Yesus serta kabar mengenai kebangkitan-Nya, adalah pecahan
mozaik yang gagal mereka rangkai. Tetapi orang asing ini berhasil menjelaskan
secara perlahan keterkaitan satu dengan yang lain. Saat itulah sesuatu yang
hangat mulai menjalari hati mereka. Pada saat yang sama, hari sudah berada di
ambang senja.
Sahabat, perjalanan
kedua murid yang pulang kampung tadi, yang pulang ke rumah masing-masing telah
menemukan makna yang baru. Rumah, atau kampung halaman bukan lagi tempat dari
mana ia berasal. Pulang ke rumah telah menemukan makna baru. Orang asing itu
telah memberikan makna dalam menempuh perjalanan. Rumah bukan lagi bangunan
kosong tanpa makna. Rumah adalah di mana ada kehangatan, siapapun bisa datang,
tempat ia bisa mengundang tamu dan melanjutkan perbincangan yang sudah dimulai
dengan tak disangka-sangka.
Pulang ke rumah
telah mendapatkan makna baru. Jika pada awalnya, pulang berarti kembali kepada
kehidupan yang lama; sekarang pulang berarti mendapatkan kesegaran kembali.
Teman baru telah memberi makna baru. Pecahan mozaik mulai bisa dirangkai.
Kampung halaman bukan lagi kehidupan lama. Dia bukan bagian terpisah dari
kehidupan; ia adalah rangkaian perjalanan panjang.
Seperti pada
umumnya orang yang dilanda kesedihan, mereka yang sedang mengalami kehilangan; dunia
terasa gelap dan membosankan. Semua yang ada di sekitarnya menjadi terasa
suram. Senyuman manis berubah jadi cibir pahit; dentang gelas seakan reruntuhan
atap. Semua serba negative dan mencemaskan. Semua yang ada di sekitar ikut memancarkan kesedihan. Bahkan angin yang
bertiup dan burung-burung yang berkicau juga seolah menyanyikan lagu sedih.
Tetapi jika engkau menemukan seorang teman, yang berjalan di sampingmu dan mengatakan
bahwa kesedihanmu ini bukanlah akhir, bahwa kehilanganmu ini bukannya tak
tergantikan; ini adalah awal dari sebuah pejiarahan yang baru; hatimu pasti akan
terbakar. Karena di sana kita akan menemukan bahwa ternyata penderitaan itu
adalah pintu masuk ke dalam kemuliaan. Dan rumah adalah tempat yang sangat
nyaman untuk berbagi.
Rumah telah
menemukan makna baru; yang bukan lagi bangunan mati dan ruangan kosong. Ia
adalah kehidupan. Seperti seorang yang terbuka tangannya untuk menyambut
sahabat yang datang. Hanya hati yang hangat dan penuh kepercayaan yang mampu
mengundang orang asing sebagai sahabat. Saat itulah yang asing telah melebur.
Tidak ada aku dan kamu. Karena kamu dan aku telah melebur menjadi kita.
Itulah yang
dirasakan kedua murid tadi. Mereka merasakan kehangatan dalam hati mereka. Maka
tatkala mereka telah sampai di kampung, telah tiba di rumah; mereka mengundang
kawan asing tadi mampir. Karena orang asing itu telah menjadi bagian dari diri
mereka. Karena ia telah mampu membakar semangat di dalam hati mereka. “Hari
telah beranjak malam, datang dan tinggallah bersama kami.” Demikianlah mereka
mengundang kawan asing tadi untuk singgah dan bermalam.
Sahabat, Dia tidak
minta diundang. Dia tidak mengharapkan tempat untuk singgah. Bahkan ia berulah
seolah hendak melanjutkan perjalanan. Tetapi kedua murid itu terus memaksa,
agar ‘orang asing’ itu sudi singgah dan tinggal bersama mereka, malam itu. Dia
tidak menolak. Dia masuk dan tinggal bersama mereka.
Sahabat, mungkin
kita tidak berpikir bahwa dalam Ekaristi, kita seharusnya mengundang Yesus
masuk ke dalam rumah hati kita. Mungkin kita dipenuhi pemahaman bahwa Yesuslah
yang mengundang kita masuk ke dalam rumah-Nya. Yesuslah yang mengundang kita
masuk dan bersatu dalam meja makan. Bukankah dalam Ekaristi kita dating ke
rumah Tuhan, ke rumah Yesus; bagaimana kita bisa mengundang-Nya? Ternyata dalam
Ekaristi kita harus membuka hati dan mengundang Tuhan masuk.
Ya, Yesus menunggu
untuk diundang. Tanpa undangan dari kita,Yesus tidak akan ke mana-mana. Dia
akan tetap berada di luar. Dia tidak akan memasuki ruang batin kita. Jika kita
tidak mengundang Yesus masuk ke dalam rumah; ia akan tetap sebagai orang asing.
Kita ingin Ia menjadi bagian dari hidup kita; maka kita harus mengundangNya
masuk.
Dalam Ekaristi,
setelah kita mendengarkan Sabda Tuhan, kita mengakui keberadaannya. Aku percaya
kepada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kepercayaan yang penuh, bukan yang
kosong. Kepercayaan yang bukan karena sudah menghafal. Melainkan sebuah
keyakinan bahwa Allah itu sungguh ada. Sebuah kepercayaan yang penuh; bahkan
kalau kita tidak mampu memahaminya. Kepercayaan seperti dua murid yang percaya
penuh kepada ‘orang asing’ tadi. Mereka percaya meskipun mereka belum memahami
dengan penuh akan identitas sahabat barunya itu.
Dalam Ekaristi; kita
mengundang Tuhan masuk karena kita percaya. Kita percaya kepada-Nya, bukan
karena kita telah memahamiNya dengan sempurna. Bukan juga karena kita bisa
mengertinya dengan teliti. Kita mengundangnya karena kita percaya. Itulah iman.
Kita mengundang-Nya masuk, dan kita mengikuti jalan yang diajarkan-Nya. “Tuhan
masuklah ke dalam hati kami; penuhilah kami dengan Roh-Mu.”
Masuk
ke dalam persekutuan : Ambillah dan Makanlah
Sahabat, kita
telah mengundang Tuhan masuk. Ia telah berada di dalam rumah hati kita. Ada
pertanyaan; siapakah yang menjadi tuan rumah? Siapakah yang menjadi tamu?
Siapakah yang harus melayani meja makan? Siapakah yang akan mempersilahkan
makan? Dan masih ada banyak pertanyaan lain. Tetapi yang pertama-tama harus dipahami
dengan mengundang Tuhan masuk ke dalam rumah hati kita adalah; di sana tidak
ada lagi tamu dan tuan rumah. Karena yang ada adalah persatuan hati. Mari kita
lihat dalam pengalaman dua murid dengan Yesus.
Ketika Yesus masuk
ke dalam rumah murid-Nya, rumah itu telah berubah menjadi rumah-Nya. Tamu telah
menjadi tuan rumah. Yang tadi diundang kini menjadi pengundang. Bagaimana itu
bisa terjadi? Ini jawabannya. Dua murid yang percaya, yang mengundang orang
asing masuk ke dalam lingkaran hidupnya yang paling dalam, kini dibimbing masuk
ke dalam bagian terdalam dari kehidupan si tuan rumah yang baru. Yesus langsung
mengambil alih kendali rumah. Dia yang mengatur dan mengendalikan. Ia yang
melayani meja dan mempersilahkan makan.
“Sekarang, waktu
Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu
memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka.” Itu adalah sikap yang
dibuat oleh kepala rumah. Itu bukan sikap yang dibuat oleh seorang tamu. Itu
sikap yang dibuat diantara sahabat dekat. Sangat sederhana, sangat biasa,
sungguh nyata, dan tetap sangat berbeda.
Apa lagi yang
dapat kamu lakukan ketika kamu berbagi makanan dengan sahabatmu? Kamu mengambil
roti itu, memberkatinya, memecahkannya, dan membagi-bagikannya. Dan untuk
itulah roti itu; untuk diambil, diberkati, dipecah-pecah, dan dibagikan. Tidak
ada yang baru, tidak ada yang mengejutkan. Itu terjadi setiap hari, di setiap
rumah. Dua murid tadi telah mengalami peristiwa seperti itu setiap hari. Dengan
pribadi yang sama. Dengan cara yang sama. Dengan kehangatan yang sama. Bahkan
kini mereka ingat bahwa ‘orang asing’ ini dulu telah menceritakan begitu
mendalam makna roti baru. Roti yang mampu membawa kepada kehdupan kekal. Roti
yang kalau kita memakannya; kita tidak akan lapar lagi. Semuanya masih terasa
sama.
Dan jelaslah
semuanya. Tanpa berbagi, tidak ada meja perjamuan. Tanpa adanya komunitas,
tidak ada pertalian persahabatan. Dan tanpa itu semua tidak ada damai, cinta
dan harapan. Dengan berbagi makanan itu semuanya dapat menjadi baru. Dan mereka
menyadari dengan jelas siapa orang asing itu. Dia adalah yang memberikan
dirinya sebagai makanan. Dia yang kini masuk ke dalam rumah mereka; telah
menjadi bagian dari diri mereka, bahkan bagian yang paling dalam. Ia mengerti
setiap rahasia kita; bahkan lebih paham dari kita sendiri. Semuanya mereka
pahami dengan jelas sejak Ia membagikan makanan.
Sahabaat, mungkin
kita lupa bahwa Ekaristi itu adalah bahasa manusia yang sederhana. Bahasa tubuh
yang sederhana. Bahasa membagikan makanan. Namun sayang, karena kerapkali itu
telah menjadi kabur dan rumit. Jubah, lilin, misdinar, buku besar, tangan yang
terentang, altar yang agung, lagu-lagu pujian, umat yang banyak, telah membuat
semuanya kelihatan rumit. Tak ada lagi yang kelihatan sangat sederhana, sangat
biasa, sangat nyata. Semuanya menjadi rumit; karena kita tidak mau masuk ke
dalam kedalaman Ekaristi itu sendiri. Kita tidak benar-benar masuk ke dalam
hakikat Ekaristi itu sendiri.
Sebenarnya setiap
perayaan kita; entah ekaristi megah atau sederhana; entah dengan koor yang
hebat atau bahkan tanpa nyanyian; sebenarnya sama dengan apa yang terjadi di
dusun kecil itu. Semuanya berpusat pada roti yang diambil, diberkati,
dipecah-pecah dan dibagikan. Semua berpusat pada anggur yang dituang, yang
diberkati dan dibagikan. Itu terjadi dalam setiap meja perjamuan. Itulah
Ekaristi. Di sanalah kita harus turut serta. Masuk pada kedalaman Ekaristi.
Menjadi bagian yang penting; karena membiarkan Tuhan membawa kita kepada
kedalaman rahasia-Nya sendiri.
Sahabat, setiap
kali kita mengundang Yesus masuk ke dalam rumah kita, kita mengundang-Nya masuk
ke dalam bagian hidup kita yang terang maupun yang gelap. Kita mengundang Tuhan
ke dalam seluruh diri kita. Tidak ada lagi yang disembunyikan. Dan di sanalah
kita mempersilahkan Yesus menjadi kepala meja. Kita memberikan tempat yang
utama kepada-Nya. Di sanalah Dia akan mengambil roti, memberkati, memecah-mecah
dan memberikannya kepada kita. “Ambilah dan makanlah, inilah Tubuhku. Ambilah
dan minumlah, inilah Darahku. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku.”
Itu yang selalu
kita dengar dalam Ekaristi. Apakah ada yang baru? Tidak. Semuanya sama.
Semuanya sederhana. Apakah ada yang mengejutkan kita? Tidak, karena semuanya
sederhana dan biasa. Lantas apakah yang kita rasakan? Apakah hati kita tidak
sontak terbakar? Atau semuanya berlalu biasa saja? Apakah karena sudah terlalu
biasa, sehingga kita tidak mendengar seruan dan tawaran-Nya lagi? Padahal undangan
itu juga menyimpan permohonan, menyimpan sebuah tugas bagi kita.
Sahabat, mungkin
kita akan merasakan lagi seruan hati Yesus kalau Beliau berkata demikian: “Ambilah
dan makanlah. Ambilah yang banyak agar engkau kuat, ambillah agar engkau
bergembira, ambillah dan rasakanlah betapa aku mencintaimu.”
Pemberian diri ini
adalah pemberian diri Tuhan. Pemberian diri seorang kekasih kepada yang
diaksihi. Jika sudah demikian, masihkan tidak terasakan? Di dalam Ekaristi
Yesus memberikan segalanya. Roti itu bukan saja gambaran sederhana akan makanan
dan anggur itu bukan sekadar gambaran dari minuman kita. Roti dan anggur itu
adalah Tubuh dan Darah-Nya. Tubuh dan Darah-Nya yang diberikan kepada kita. Dia
menjadi sebuah hadiah yang sangat berarti bagi kita. Hadiah terindah dari
Tuhan, yaitu anak-Nya sendiri menjadi santapan bagi kita. (bersambung)
Comments