Biarkan orang bebas ini melangkah…


Saya sedang mengikuti kursus pendamping rohani di Institut Roncalli yang dikelola oleh bruder-bruder FIC. Pada Sabtu malam yang lalu, seusai makan malam, saya menawarkan sebuah film untuk ditonton bersama. Saya sudah pernah menonton film ini tetapi masih ingin melihatnya lagi.
Film yang berkisah mengenai kemartiran tujuh pertapa Trapist (Cistercian) ini sarat dengan muatan nilai kemanusiaan. Tentang Tuhan dan manusia. Tentang keagungan Tuhan dan kelemahan manusia. Tentang hidup sehari-hari, yang sangat manusiawi namun sekaligus penuh karya besar dari yang Ilahi. Di sinilah saya mencoba menuliskan beberapa hal yang saya dapatkan dari film tersebut, “of Gods and men”.

Sekilas film tersebut…
Pusat film ini adalah kehidupan para pertama Trapist di Algeria. Mereka hidup di perkampungan muslim, namun rukun berdampingan. Biara yang terletak di atas bukit di Tibhririne - Algeria ini menjadi bagian penting dari masyarakat di sana. Mereka memiliki klinik yang melayani masyarakat sekitar. Mereka juga bertani dan berbudidaya madu yang hasilnya dijual di pasar.
Kemudian muncullah kelompok muslin garis keras. Mereka mulai melakukan terror. Beberapa orang dibunuh, termasuk para pekerja tambang yang berasal dari Kroasia. Kelompok ini membenci orang-orang asing, terlebih yang berasal dari Eropa. Maka pemerintah menawarkan perlindungan kepada para pertapa ini, namun ditolaknya.
Suasana makin memanas. Kelompok garis keras ini akhirnya mendatangi biara dan meminta obat-obatan. Christian sebagai pemimpin biara menolaknya. Hal itu terjadi pada malam Natal. Peristiwa yang menggoreskan kenangan cukup mendalam pada penghuni biara. Pada hari perayaan kelahiran sang Raja damai (Prince of peace) mereka tidak damai.
Keadaan makin genting. Ada usulan agar mereka meninggalkan biara dan kembali ke Perancis, karena mereka semua berasal dari sana. Di sini mulailah pergumulan batin yang tidak mudah. Bagian ini merupakan bagian yang paling menarik. Di sana nampak jelas pergumulan antara kelemahan manusia dan kekuatan iman. Bahwa hidup beriman, ketika berhadapan dengan realitas yang menakutkan, kerap mengalami goncangan.
Film ini berakhir dengan diculiknya para pertapa tersebut. Dua dari sembilan anggota pertapa (Amedee dan Jean Piere) selamat karena berhasil menyembunyikan diri sehingga bisa menceritakan kejadian ini. Ketika film ini dibuat Amedee sudah meninggal dan Jean Piere masih hidup. Sedangkan tujuh pertapa yang diculik tersebut (Christian, Luc, Christophe, Celestine, Paul, Michel dan Bruno) mengalami kemartiran pada tanggal 21 Mei 1996. Identitas penculik tidak pernah diketahui. Tetap menjadi misteri hingga kini.

Mengenal diri, kenallah Allah…
Menyaksikan film ini saya diajak untuk melihat diri sendiri. Melhat segala kekuatan dan kelemahan diri. Melihat apa yang bisa saya banggakan dan apa yang saya takutkan. Melihat kualitas iman saya sendiri dalam menghadapi berbagai peristiwa hidup di jalan panggilan sebagai biarawan dan imam. Mengenal diri sendiri dengan utuh sungguh penting dalam hidup rohani.
Santa Teresa dari Avila juga menegaskan bahwa pengenalan diri adalah syarat awal untuk masuk ke dalam hidup doa. Pengenalan diri yang sempurna hanya bisa dilakukan dengan mengenal Allah. Dengan mengenal keagungan Allah, manusia dibantu untuk mengenali kelemahan-kelemannya. Dengan mengenal belas kasih Allah, manusia dibantu untuk menyadari kerapuhan dan dosa-dosanya.
Mengenal diri secara utuh berarti juga mengenal berbagai ketakutan dalam diri, terlebih ketika menghadapi situasi mencekam. Para pertapa Trapist yang oleh banyak orang dkenal sebagai ‘manusia-manusia hebat’, toh masih manusia biasa. Yang memiliki rasa takut dan gentar.
Ancaman pembunuhan membawa mereka berjumpa diri sendiri yang alami. Ketika keadaan damai tenteram, aneka ketakutan bisa disimpan dengan nyaman. Tetapi ketika bahaya datang, aneka ketakutan akan keluar mencari perhatian. Banyak alasan bisa dikemukakan. Bahkan bagi seorang pemimpin, saat-saat seperti itu sangatlah berat.
Saya mengenal seorang imam muda yang pernah mengalami hal yang kurang lebih serupa. Waktu itu dia masih seorang frater muda baru menyelesaikan belajar S1 di Malang. Dia berpastoral di paroki Maria tak bernoda Tanggul Jember. Pada waktu itu sedang marak penutupan gereja-gereja oleh kelompok Islam garis keras. Sudah banyak Gereja Kristen yang ditutup, alasannya tidak memiliki IMB.
Mulailah ada ancaman untuk menutup gereja stasi di desa Rowo Tengah , Kecamatan Sumber Baru. Umat di stasi itu hanya sekitar 9 keluarga yang tersebar di beberapa desa. Alasan adanya ancaman penutupan sama seperti yang lain, gereja yang dibangun tahun 1970 itu tidak memiliki IMB. Makin hari isyu akan adanya penutupan makin kencang bergulir. Setelah berseakat, pada hari Minggu itu ibadat dilakukan di rumah umat, bukan di gereja. Toh ancaman belum berakhir.
Akhirnya hari itu terjadi. Ibadat belum dimulai. Frater muda sedang bersiap-siap memimpin ibadat. Datanglah rombongan menumpak truk dan beberapa mobil berhenti di depan rumah tempat ibadat akan dilangsungkan. Rombongan yang masuk ke rumah, termasuk di dalamnya bapak kepala desa, meminta umat menghentikan ibadat. Alasan mereka, tempat ibadat tidak memiliki IMB dan rumah tidak boleh dipergunaan sebagai tempat ibadat. Mereka mengancam akan melakukan tindakan yang lebih keras kalau umat tetap membandel.
Frater muda ini mencoba berdialog, namun gagal. Karena rombongan yang datang hanya memiliki satu kalimat, pokoknya ibadat harus dihentikan, dan tidak boleh ada lagi. Umat mulai takut. Bahkan setelah mendengar berbagai ancaman, salah satu umat jatuh pingsan. Akhirnya frater muda tersebut dan ketua stasi menandatangani surat pernyataan akan menghentikan ibadat.
Selanjutnya frater muda tersebut pulang ke pastoran. Dia tidak langsung masuk rumah, namun hanya duduk di pinggir kolam. Sembari duduk dan merenung, muncullah berbagai kemungkinan yang tadi bisa saja terjadi. Ancaman-ancaman yang dilontarkan oleh pendemo mulai muncul kembali di kepala. Bersama dengan itu mulai muncullah ketakutan, kemarahan, penyesalan dan kebencian. Ketakutan akan kemungkinan dibunuh. Kemarahan dan penyesalan mengapa harus menyerah dan pulang. Kebencian karena ulah orang-orang tersebut telah menghambat segelintir umat yang ingin beribadat.
Frater muda tersebut terus bergumul. Demikian juga para pertapa di Algeria tersebut. Satu persatu berhadapan dengan dirinya sendiri, dengan kelemahan dan kekecilan dirinya sendiri. Apakah kemartiran adalah bagian dari misi? Apakah bertahan di sana dengan kemungkinan mati bukan suatu tindakan yang naĂŻf dan konyol? Masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang keluar dan bersumber dari ketakutan dan kekecilan.
Seperti yang disampaikan oleh Santa Teresa bahwa pengenalan diri yang baik adalah dengan mengenal Allah. Mengenali ketakutan akan menemukan jalan keluar yang baik ketika mencoba mengenal Allah. Mengenal Allah melalui Yesus Putera-Nya. Mengenali kemanusiaan Yesus yang tergambar dengan nyata dalam Injil. Itulah yang dilakukan oleh para pertapa tersebut. Membawa aneka ketakutan dalam doa, menghadapkannya kepada Allah untuk diolah.
Pada akhirnya keputusan harus diambil dengan baik. Bahwa situasi tersebut harus dihadapi. Ungkapan-ungkapan yang kemudian tercetus sungguh menggambarkan bagaimana mereka berproses. Lihatlah Christhope. Dia begitu takut dan ngotot ingin kembali ke Perancis. Dia tidak bisa melihat bahwa kemartiran adalah sungguh bagian dari imannya. Meskipun sedari kecil dia memiliki impian menjadi seorang misionaris dan mati karena iman. Tetapi ketika kenyataan itu hadir di hadapan mata, dia tidak mampu mencernanya. Bahkan dia meragukan apakah itu benar Allah atau bukan. Toh ketika dia berdoa, Tuhan tidak menjawab apa-apa. Ia tidak mendengar apa-apa. Apakah kemudian Christope menyerah begitu saja? Tidak! Setelah melewati pergulatan yang hebat, dia akhirnya bisa berpasrah. “Biarlah Tuhan menyiapkan meja perjamuan di sini, di mana kawan dan lawan menjadi satu di dalamnya”. Demikian yang diungkapkannya.
Kita juga bisa melihat pergulatan Christian, pemimpin biara. Sikap pemimpin adalah cerminan sikap komunitas, sikap kelompok. Apakah mudah mengambil keputusan? Sekali lagi tidak! Digambarkan bagaimana Christian mencari waktu dan tempat untuk bermenung dan mencari kehendak Tuhan. Proses pengenalan diri disertai pembedaan kehendak Tuhan, sungguh kentara sangat berat. Apakah keamanan dan kenyamanan yang harus dicari. Bagaimana dengan kesulitan dan bahaya kematian? Bagaimana dengan tudingan bahwa mereka hanya ingin jadi pahlawan? Sebagai pemimpin, sungguh berat menentukan pilihan yang benar-benar jujur. Hingga pada akhirnya ia berkata dengan bahasa kiasan, “Bunga liar tidak berpindah untuk mencari sinar matahari, Tuhan membuat mereka tetap subur di tempat mereka berada”.
Yang lain lagi juga menyampaikan ungkapan serupa. Ada yang melihat bahwa perutusan mereka di biara itu belumlah selesai. Semua harus diselesaikan. Ada yang berkata bahwa meninggalkan biara berarti meninggalkan diri sendiri, karena mereka melihat bahwa identitas mereka ada di dalam biara, mengikuti Tuhan. Ada yang melihat dan berpusat kepada sabda Tuhan, bahwa seorang murid tidak mungkin melebihi gurunya. Bahwa Guru mereka menderita dan mati di salib, maka sebagai murid kemartiran adalah upah yang pantas.

Burung dan dahan…
                  Ada satu bagian yang sangat menarik ketika para pertapa ini berdialog dengan warga pedesaan yang hidup di sekitar pertapaan. Dialog dalam bentuk perbandingan antara dahan pohon dan burung. Siapakah dahan, siapakah burung. Dialog ini dilakukan karena ada kemungkinan bahwa para pertapa akan meninggalkan pertapaan.
                  Para pertapa ini memiliki relasi yang baik dengan warga sekitar. Ketika ada yang khitanan, mereka juga hadir di dalam pesta. Mereka adalah satu keluarga besar. Perbedaan agama tidak memisahkan mereka. Bahkan seperti ada tali halus yang mengikat mereka. Juga dalam situasi yang mencekam tersebut. Masing-masing membagikan kekalutan dan kecemasannya.
                  Relasi antara penduduk desa dengan pertapaan tak ubahnya seperti burung-burung yang hinggap di dahan. Para pertapa mengira mereka adalah burung-burung yang hinggap di dahan. Mereka bisa pindah ketika dahan itu tidak aman lagi. Saat ini adalah saat yang tidak aman itu. Maka sebagai burung mereka bisa pindah dan mencari dahan baru, mencari tanah baru.
                  Pemikiran warga desa persis sebaliknya. Merakalah burung-burung itu dan pertapaan adalah dahannya. Desa tersebut bertumbuh dan berporos pada pertapaan. Kalau pertapa pergi itu tak ubahnya dahan pohon yang ditebang, mereka tidak memiliki tempat berpijak lagi.
                  Sebuah penggambaran yang sungguh menyentak titik kesadaran saya. Sebagai seorang biarawan saya merasa diri seperti burung yang diutus ke sana ke mari. Hinggap di dahan-dahan. Dan pergi lagi menurut perutusan yang baru. Ternyata hal itu tidak seutuhnya tepat. Karena saya adalah ‘organ’ tarekat. Yang harus menghidupi dahan-dahan tempat burung-burung mendapatkan kenyamanan.
Saya bukanlah burung-burung yang mencari kenyamanan. Saya adalah dahan yang harus menempel kuat kepada pokok pohon. Dan pokok pohon adalah Allah. Sumber hidup yang diperoleh dari Allah itu harus memberi perlindungan yang aman kepada burung-burung yang bersarang di sana. Sebagai dahan saya harus tetap sadar bahwa ada bahaya ada orang usil merusaknya. Entah memotong seluruhnya atau sebagian saja yang mengoyak kedamaian seluruh penghuni dahan. Saya harus tetap di sana. Saya juga harus tetap sadar untuk terus bertumpu kepada pokok pohon. Saya tidak mungkin hidup tanpa pokok pohon. Ketika saya mencoba melepaskan diri, saya akan menjadi kering dan mati.
                 
Manusia bebas…
                  Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi manusia bebas. Bebas dari segala ketakutan dan kekhawatiran. Bebas dari segala belenggu-belenggu kemanusiaan. Bagaimana mungkin manusia bisa terbebas dari belenggu-belenggu kemanusiaan? Kristulah jawabannya.
                  Menjadi pengikut Kristus berarti makin hari makin menyerupai Dia. Bukankah Yesus sudah berpesan, Engkau harus sempurna seperti Bapamu sempurna adanya (bdk. Mat 5:48). Menjadi serupa berarti berjalan di jalan yang sudah dirintis oleh Yesus. Menjadi serupa berarti mengikuti jejak-Nya, meskipun itu berupa jalan salib. Namun dengan demikian kita akan terbebas dari belenggu-belenggu kemanusiaan kita.
                  Menjadi pengikut Kristus berarti makin leluasa mencintai Allah. Cinta itu membebaskan. Cinta itu hanya menginginkan kebahagiaan pasangannya. Dan ketika cinta itu tertuju kepada Allah, berarti hanya menginginkan sukacita Allah semata. Bukankah dengan hanya memikirkan apa yang menyenangkan Allah kita terbebas dari belenggu-belenggu kemanusiaan. Belenggu takut dan kekhawatiran. Sekali lagi, bukankah Yesus yang menegaskan jangan pernah takut kepada mereka yang hanya mampu membunuh badan, tetapi lebih takutlah kepada yang mampu membunuh badan dan melemparkan jiwa maupun badan ke dalam api yang tak kunjung padam (bdk. Mat 10:28).
                  Pergulatan kekhawatiran ini dialami oleh Christian. Sebagai pemimpin dia melihat bahaya yang semakin besar karena mereka mengobati anggota teroris yang terluka. Dia berbicara dengan Luc, sang dokter yang merawat. Namun jawaban Luc sungguh luar biasa. “Sepanjang karirku aku sudah bertemu dengan berbagai macam orang, termasuk nazi. Bahkan aku pernah bertemu dengan setan. Aku tidak takut dengan teroris, bahkan kalau kita tidak dijaga oleh tentara. Saya tidak takut mati. Saya adalah orang bebas”.
                  Bagaimana Luc bisa memperoleh kekuatan yang begitu besar? Iman dan pengaharannya kepada Allah-lah yang memampukan. Iman bahwa dia telah melakukan apa yang bisa dilakukan. Melaksanakan tugas melayani mereka yang miskin dan sakit. Bukankah itu jalan melayani Tuhan sendiri seperti yang dikatakan-Nya, ketika Aku sakit kamu melawat aku (bdk. Mat 25:36)? Luc juga penuh pengharapan bahwa kepergiannya dari dunia ini hanya akan membawanya kepada kedamaian dan kebahagiaan sejati bersama Yesus. Itu semua sungguh membebaskannya dari segala ketakutan dan khawatir akan aniaya. Dia sungguh manusia bebas, karena sudah dibebaskan oleh Allah.
                  Bagaimanakah Luc bisa mempunyai iman dan pengharapan yang begitu hebat? Karena dia memiliki cinta. Cinta kepada Allah yang telah merebut hatinya. Sejak masa mudanya Luc sudah terpikat dengan cinta yang luar biasa, yang mengalahkan segala tawaran dunia. Dia memiliki keahlian sebagai dokter, tetapi ada cinta lain yang lebih menggoda, yang lebih kuat. Dan dia telah mengikuti cinta itu lebih dari 60 tahun. Bukankah cinta adalah pengharapan kekal? Bukankah cinta sanggup menanggung segala sesuatu. Dengan cinta yang begitu besar kepada Dia yang telah membebaskannya, Luc mampu beriman dan berpengharapan.
                  “Biarkanlah orang bebas ini melangkah”. Demikianlah kalimat terakhir yang diucapkan Luc kepada Christian. Dia hendak melangkah merangkul salib Kekasihnya. Kekasih yang telah merebut hatinya hampir di sepanjang usianya.  Dia hendak melangkah untuk menyatukan hati sepenuhnya. Tidak ada yang menghalangi lagi. Baik hidup maupun maut semuanya milik Kristus, demikian pernah digaungkan Santo Paulus. Dan sekarang hal itu akan terpenuhi. Tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Biarkanlah orang bebas ini melangkah, memadu kasih di pelaminan. Di kayu salib kemartiran seperti yang dialami Kekasihnya.

Salatiga, 13 Januari 2013
Romo Waris, O.Carm
  
                 


Comments

Unknown said…
Halo Romo, saya Yosephine, follower baru di Blog ini. Film yang sangat kuat, bukan hanya karena berdasarkan kisah nyata, namun juga relevan hingga kini. Senang membaca tulisan-tulisan Romo, terma kasih :)
MoRis HK said…
Hallo Yosephine,
terimakasih sudah mampir dan bersahabat.

Popular Posts