The Power of Faith!!!
Sahabat, saya muat tulisan lama. Cukup panjang, karena dulu saya buat dalam tiga tulisan lepas. Karena berkaitan maka saya gabungkan saja agar mudah membacanya. Catatan ini berdasar dua perikop besar, yang pertama Yesus menyembuhkan perempuan pendarahan dan membangkitkan anak Yairus, yang kedua Yesus ditolak oleh orang-orang sekampungnya.
Karena cukup panjang, saya sarankan bacalah jika memiliki waktu luang saja.
Salam dan doa
Romo Waris, O.Carm
Hong Kong 4 Februari 2014
...............................
(1)
Pengantar
Sahabat terkasih, iman adalah bagian yang
mendasar dalam menjalin relasi dengan Tuhan. Dalam hidup spiritual kita. Secara
sederhana kita memahami iman sebagai bentuk kepercayaan kita kepada Tuhan. Maka
dari itu ada ungkapan “pengakuan iman” atau sahadat. Pertanyaan yang mendasar
yang mesti kita ajukan, dan pada akhirnya harus kita geluti untuk mencari
jawabnya adalah: bagaimana cara kita memahami iman kita dan mengembangkannya?
Dari manakah iman itu berasal? Apakah daya kita untuk menumbuhkan iman itu? Apakah
beriman sama dengan pasrah total? Dan masih ada banyak pertanyaan yang bisa
kalian ajukan, tentu juga harus kalian geluti jawabannya.
Beberapa hari yang lalu saya menjumpai
sebuah iklan minuman. Di sana tertulis kata-kata seperti ini :“Today, I believe in luck not in faith”.
Kata-kata ini diungkapkan oleh seorang lelaki separuh baya. Sepertinya dia
seorang chef terkenal. Saya tidak terlalu memeprhatikan sosok orangnya, karena
pikiran saya langsung terpagut oleh kata-kata tersebut. Mengapa ia tidak lagi
mempercayai iman? Mengapa ia lebih mempercayai keberuntungan? Apakah latar
belakang di balik pemikirannya? Apakah ada pengalaman-pengalaman yang membentuk
pemikirannya itu? Masih banyak pikiran yang berkecamuk. Dan pada akhirnya saya
tidak ingin terpengaruh untuk menghakimi dia, tetapi saya ingin melihat sejauh
mana saya mempercayai iman saya.
Sahabat, dalam catatan ini saya merefleksikan
iman yang hidup, yang hadir dalam keseharian. Dan di sana saya hendak mengajak
kalian semua untuk melihat kekuatan iman yang amat besar. Saya tidak akan
membahas apa itu iman dengan mendalam. Karena iman lebih saya artikan kepada
penyerahan total kepada Allah. Saya lebih memilih untuk melihat bagaimana hidup
beriman itu. Bagaimana bisa memiliki iman seperti itu.
Ada beberapa hal yang akan kita lihat
secara terpisah. Pertama iman yang mengatasi kematian. Kemudian iman yang
mengatasi kelemahan manusia. Dan ketiga adalah catatan mengenai
kesulitan-kesulitan dalam beriman. Tiga persoalan ini saya dasarkan kepada dua
bacaan Injil yang kita dengar (baca) pada tanggal 1dan 8 Juli kemarin. Kisah
Yesus yang menyembuhkan perempuan yang telah 12 tahun menderita pendarahan dan
membangkitkan anak 12 tahun dari kematian disusul kemudian kisah Yesus ditolak
oleh orang-orang yang mengenalnya. Itulah rentetan peristiwa iman. Simaklah.
Talita kum! (Mrk 5:21-43)
Sekali peristiwa,
setelah Yesus menyeberang dengan perahu, datanglah orang banyak
berbondong-bondong, lalu mengerumini Dia. Ketika itu Yesus masih berada di tepi
danau. Maka datanglah seorang kepala rumah ibadat yang bernama Yairus.
Ketika melihat Yesus, tersungkurlah Yairus
di depan kakinya. Dengan sangat ia memohon kepada-Nya, “Anakku perempuan sedang
sakit, hamper mati. Datanglah kiranya, dan letakkanlah tangan-Mu di atasnya,
supaya ia selamat dan tetap hidup.” Lalu pergilah Yesus dengan orang itu.
Orang banyak berbondong-bondong mengikuti
Dia dan berdesak-desakan di dekat-Nya. Adalah di situ seorang perempuan yang
sudah 12 tahun lamanya menderita pendarahan. Ia telah berulang-ulang diobati oleh berbagai tabib,
sampai habislah semua yang ada padanya, namun sama sekali tidak ada faedahnya,
malah sebaliknya, keadannya semakin memburuk.
Dia sudah mendengar berita-berita tentang
Yesus. Maka di tengah-tengah orang banyak itu ia mendekati Yesus dari belakang
dan menjamah jubbah-Nya. Sebab katanya, “asalkan kujamah saja jubbah-Nya, aku
akan sembuh.”
Sungguh, seketika itu juga berhentilah
pendarahannya, dan ia merasa badannya sudah sembuh dari penyakit itu. Pada
ketika itu juga Yesus mengetahui bahwa ada tenaga yang keluar dari diri-Nya.
Maka Ia berpaling di tengah orang banyak itu dan bertanya, “Siapa yang menjamah
jubahku?”
Murid-murid menjawab, “Engkau melihat
sendiri bagaimana orang-orang ini berdesak-desakan di dekat-Mu! Bagaimana
mungkin Engkau bertanya: siapa yang menjamah Aku!” Lalu Yesus memandang sekelilingnya untuk melhat siapa
yang telah melakukan hal itu. Maka perempuan tadi menjadi takut dan gemetar
sejak mengetahui apa yang telah terjadi atas dirinya.
Maka ia tampil dan tersungkur di depan
Yesus. Dengan tulus ia memberitahukan segala sesuatu kepada Yesus. Maka kata
Yesus kepada perempuan itu, “Hai anakku, imanmu
telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari
penyakitmu!”
Ketika Yesus masih berbicara, datanglah
keluarga dari rumah kepala rumah ibadat itu, dan berkata, “Anakmu sudah mati! Apa perlunya lagi engkau menyusahkan Guru?”
Tetapi Yesus tidak menghiraukan perkataan mereka, dan berkata kepada kepala
rumah ibadat itu, ”Jangan takut,
percayalah saja!”
Lalu Yesus tidak memperbolehkan seorangpun
ikut serta, kecuali Petrus, Yakobus dan Yohanes saudara Yakobus. Dan tibalah
mereka di rumah kepala rumah ibadat, dan di sana Yesus melihat orang-orang
rebut, menangis dan meratap dengan suara nyaring. Sesudah masuk Yesus berkata
kepada orang-orang itu, “Mengapa kamu rebut dan menangis? Anak itu tidak mati,
tetapi tidur!” Tetapi mereka menertawakan Dia.
Maka Yesus menyuruh semua orang itu
keluar. Lalu Ia membawa ayah dan ibu anak itu, dan mereka yang bersama-sama
dengan Yesus masuk ke dalam kamar anak itu. Lalu Yesus memegang tangan anak
itu, seraya berkata. “Talita kum,” yang
berarti, “Hai anak, Aku berkata padamu: Bangunlah!”
Seketika itu juga anak itu bangkit berdiri
dan berjalan, sebab umurnya sudah dua belas tahun. Semua orang yang hadir
sangat takjub. Dengan sangat Yesus berpesan kepada mereka, supaya jangan
seorang pun mengetahui hal itu. Lalu Yesus menyuruh mereka memberi anak itu
makan.
Iman yang menyembuhkan
Sahabat, perempuan
yang mendapatkan kesembuhan dari Yesus ini ‘menyela’ kisah perjalanan Yesus
menuju rumah kepala rumah ibadat. Perempuan ini tidak diceritakan identitasnya,
hanya disebutkan bahwa ia telah menderita sangat lama. Dua belas tahun.
Selama itu pula
perempuan tadi telah berusaha menemukan dokter yang tepat untuk penyakitnya. Ia
pindah dari satu dokter ke dokter yang lain, dari satu tabib ke tabib yang lain
hingga habis hartanya. Suatu ironi, karena hartanya dihabiskan untuk memperoleh
kesembuhan namun keadaan yang lebih buruk yang diperoleh.
Saat itulah ia
mencoba mendekat kepada Yesus. Diceritakan bahwa ia sudah mendengar kisah
mengenai Yesus. Tentu saja kisah ‘kehebatan-Nya”. Mungkin juga dia telah
mendengar banyak hal, tetapi tidak langsung bisa mempercayainya.
Ada banyak aspek
kiranya yang membuat perempuan tadi tidak langsung mempercayai berita-berita
yang tersiar. Pertama, kenyataan akan siapa Yesus membuat tidak sedikit orang
yang ragu untuk datang kepada-Nya. Nanti akan kita bahas secara khusus
kesulitan-kesulitan yang timbul untuk datang kepada Yesus. Mari kita fokus
kepada apa yang diusahakan perempuan tadi untuk memperoleh kesembuhan.
Perempuan tadi
sudah dua belas tahun menderita sakit pendarahan. Anda yang pernah mengalami
pasti bisa merasakan apa yang dirasakan oleh perempuan itu. Sakit sekali. Bahkan
sangat sakit. Saya tidak pernah mengalami, namun saya pernah memiliki luka
akibat terjatuh dari truck, dan itu juga sakit. Berhari-hari saya menderita.
Maka membayangkan seseorang dengan sakit pendarahan selama lebih dari satu
dekade tentu sangat mengerikan.
Di tengah
kesakitannya itu ia berusaha mendekati Yesus. Tentu saja tidak mudah, tetapi ia
tidak memiliki harapan yang lain. Inilah yang tersisa. Tidak boleh lewat. Karena
belum tentu Ia akan lewat di sini lagi. Belum tentu ia memiliki kesempatan
menjumpai-Nya, meski di dalam keriuhan massa. Dalam situasi seperti itu, tidak
usahlah meminta waktu khusus dari-Nya. Tidak perlulah berbicara personal dengan-Nya,
tidak perlu memegang tangan-Nya. “Asalkan kujamah saja jubah-Nya, aku akan
sembuh.” Itulah tekadnya. Itulah imannya. Dan dia sembuh.
Dia merasakan itu.
Penyakit yang membuatnya tidak bisa berjalan dengan baik, yang memaksanya
membungkuk terus untuk menahan sakit, kini telah hilang. Hilang begitu saja
setelah ia menjamah jumbai jubah-Nya. Ya, hanya dengan menjamah jumbai
jubah-Nya. Ia telah sehat kembali. Ia bisa berdiri tegak kembali dan berjalan
dengan cepat mengikuti Yesus. Pasti ada banyak yang bersentuhan dengan Yesus
atau dengan jubah-Nya saja. Tetapi hanya perempuan itu yang mendapatan
kesembuhan. Ada banyak yang menyentuh Yesus, tetapi hanya terhadap perempuan
itu ada kekuatan yang keluar dari diri-Nya. Yesus merasakannya. Yesus tahu ada
yang memegang jubahnya dengan penuh iman. Dan Ia ingin tahu siapa. Ia ingin
melihat siapa yang memeiliki iman sebesar itu sementara yang lain tidak.
“Siapa yang menjamah jubahku?” Tanya Yesus
kepada orang-orang yanga da di sekitarnya. Para murid menertawakan pertanyaan
Yesus. Bisa dipahami, karena ada begitu banyak orang berdesakan, dan itu sangat
memungkinkan untuk saling bersentuhan dan atau jubahnya tersentuh atau
terpegang. Apalagi pada saat itu ada keluarga kepala rumah ibadat sedang
bersama Yesus. Tentu ia tidak sendiri. Pasti ia bersama yang lain pula. Dan
masih ada para murid. Kemungkinan besar merekalah yang sering bersentuhan
dengan Yesus. Mereka senantiasa berdiri dan berjalan mengelilingi Yesus seperti
pengawal, terkadang agar memperoleh penghormatan. Dan itu biasa terjadi. Banyak
juga orang berdiri di pinggir jalan yang melambai-lambai, dan menggapa-gapai
untuk bisa sekadar menyentuh jubah Yesus. Dan selama ini Yesus diam saja.
Tetapi mengapa sekarang Yesus bertanya akan siapa yang memegang jubah-Nya?
Mengapa baru sekarang?
Para murid tidak
bisa membedakan orang-orang yang berdesakan di sekitar Yesus. Tidak bisa
membedakan niat dan iman mereka. Di antara orang yang berdesakan itu banyak
yang hanya ingin tahu. Sekedar ingin tahu, orang macam apakah Yesus itu. Mereka
seperti fans penyanyi terkenal berdesakan menyambut idolanya. Mereka sudah
cukup puas kalau bisa melihat atau menyentuh sedikit saja. Mereka datang bukan
dengan iman. Bahkan tidak sedikit yang datang untuk melihat Yesus, untuk
menyelidiki dan mengamat-amati. Kalau-kalau Yesus melakukan sesuatu yang
menurut mereka salah. Saat itu adalah kesempatan yang baik untuk
memojokkan-Nya. Atau ada yang datang sekadar ingin tahu saja. Mereka tidak
terlalu peduli akan siapa Dia. Mereka sudah mendengar cerita, tetapi mereka
tidak peduli. Dan sekarang mereka dating hanya untuk melihat seperti apakah
Dia, tidak lebih tidak kurang. Tetapi harus dipahami juga, banyak yangd atang
dengan harapan mendapatkan kesembuhan. Namun kesempatan mereka kerap tidak
banyak. Ada yang malu. Ada yang takut. Ada juga yang dipinggirkan karena
dianggap menggangu. Kita sudah kerap mendengar cerita mengenai hal ini.
Itulah yang membedakan dengan sikap
perempuan tadi. Ia datang dengan kepasrahan, ia datang karena tidak memiliki
harapan lagi. Ia tidak malu apalagi takut. Ia datang dengan sepenuh hati
menyerahkan segala daya yang ada. Ia telah mendatangi banyak dokter, mereka
yang tersohor mampu menyembuhkan banyak penyakit. Namun ia makin menderita,
penyakitnya semakin parah dan uangnya telah habis. Ia tidak memiliki apa-apa
lagi. Maka ia datang kepada Yesus, yang tidak meminta bayaran, yang tidak
pernah menolak siapapun. Ia datang, dan ia disembuhkan. Ia tidak takut dan
tidak peduli bahwa nanti ia akan disingkirkan oleh orang-orang yanga da di
sekitar Yesus. Maka ia hanya bertekat untuk sekadar bisa memegang pakain Yesus,
bukan meminta waktu khusus-Nya. Ia memiliki iman bahwa dengan memegang
pakaian-Nya saja ia akan sembuh. Itulah yang ia peroleh. Itulah yang telah
terjadi.
“Hai anakku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan
sembuhlah dari penyakitmu!” Yesus menghargai iman perempuan tadi. Iman yang
mengatasi kelemahan manusia. Mengatasi ketakutan dan kekawatiran insani. Ketulusan
dan kepasrahan perempuan tadi diterima oleh Yesus. Kini ia telah menjadi
manusia baru, sembuh seperti 12 tahun yang lalu. Dia memperoleh kehidupannya
kembali yang selama 12 tahun ini lenyap ditelan penyakit.
Kondisi yang dialami perempuan tadi
sebenarnya kerap kita alami. Kita menderita banyak penyakit bertahun-tahun. Ada
penyakit fisik, ada penyakit rohani. Penyakit itu bisa jadi telah menggerogoti
bukan hanya diri kita sendiri, tetapi juga keluarga dan komunitas (masyarakat)
kita. Bahkan harta kita juga telah habis untuk mencari kesembuhan. Kita
berpindah dari satu dokter ke dokter yang lain. Dari satu orang pintar ke orang
pintar yang lain. Sesaat kita merasa lega, namun setelahnya kita semakin
menderita. Karena sumber penyakit kita belum benar-benar disembuhkan.
Perempuan tadi telah memberi kita contoh
yang baik. Datang kepada Yesus dengan penuh kepasrahan. Mengenyahkan segala
takut dan ragu, malu dan khawatir untuk bisa sekadar memegang jubahnya
sangatlah penting. Tentu saja kita tidak perlu menunggu segala-galanya yang ada
pada kita habis untuk bisa datang dengan penuh kepasrahan kepada Yesus. Karena
hanya iman kepada-Nyalah yang sungguh memberi kita kesembuhan lahir dan batin.
(2)
Sahabat, pada bagian pertama tulisan ini telah kita lihat iman yang
menyembuhkan. Iman yang kita lihat dalam diri perempuan yang telah 12 tahun
lamanya menderita pendarahan. Sekarang kita hendak melangkah maju, seiring
perjalanan Yesus yang juga melangkah maju. Setelah selesai berdialog dengan
perempuan yang baru saja mengalami kesembuhan, Yesus kembali kepada Yairus dan
rombongannya. Ia mengajak mereka untuk segera bergegas ke rumah.
Percayalah Saja!
Baru saja Yesus dan rombongan hendak melanjutkan langkah,
serombongan orang datang tergopoh-gopoh. Mereka adalah orang-orang dari
keluarga dekat Yairus. Mereka tidak ikut menemui Yesus pada awal karena harus
tinggal di rumah, melihat apa yang akan terjadi. Dan memang terjadi. Sekarang,
semuanya sudah terlambat. Mereka harus segera memberitahu Yairus agar tidak
membuang waktunya Yesus.
“Anakmu sudah mati.” Katanya lugas. “Untuk apa engkau menyusahkan
Yesus lagi.” Lanjutnya pasrah, namun lebih tepat putus asa. Mereka putus asa
karena pada awalnya masih melihat ada harapan pada diri Yesus. Mereka tahu
bahwa kalau Yesus datang sebelum anak itu mati, Yesus bisa menyembuhkan dia.
Tetapi kini semuanya sudah terlambat. Anak itu sudah mati. Tidak ada lagi
harapan.
Yairus juga dihinggapi rasa gelisah dan putus asa yang sama. Ia
mulai melihat hal-hal yang lain. Pikirannya dijangkiti rasa kecewa dan sedikit
amarah, Seandainya Yesus tidak disela oleh perempuan yang sakit tadi.
Seandainya Yesus tidak mencari orang yang memegang jubbah-Nya, yang membuat
kekuatan-Nya keluar, seandainya… dan pengandaian yang lain. Yairus kecewa,
lebih tepatnya marah dan putus asa. Ada kemarahan karena usahanya sia-sia. Tapi
perasaan yang dominan adalah putus asa, bahkan ada ketakutan juga di sana.
Yesus bukannya tidak menyadari keadaan yang terjadi. Yesus menyadari
benar adanya perubahan emosi yang mengalir dalam diri Yairus sejak kedatangan
anggota keluarganya. Yesus melihat itu. Yesus melihat kegundahan yang
mengecamuk di hati Yairus. Ia membaca keputus-asaannya. Dan Yesus tidak mau
semuanya berlarut-larut. Ia mau semua tetap tenang dan fokus.
“Jangan takut. Percayalah saja!” Sebuah penegasan yang tanpa
basa-basi. Ia tidak mau meladeni segala informasi yang makin menciutkan hati.
Ia hanya mau Yairus tetap teguh kepada imannya. Bukankah tadi ia datang dengan
iman yang gagah. Yang percaya penuh kepada Yesus? Mengapa sekarang goyah?
Tanpa membuang jeda, Yesus lebih dulu mengayunkan langkah. Ia
berjalan gegas melarutkan segala rasa gundah. Yairus masih ragu dan cemas.
Anggota keluarganya bahkan sudah kehilangan percaya. Mereka hanya melangkah
saja menunggu hal yang lebih buruk datang. Mereka tidak melihat adanya kuasa.
Mereka tidak melihat bahwa yang mustahil di mata manusia adalah mungkin bagi
Allah. Mereka tidak tidak melihat itu, tetapi Yesus tidak peduli. Ia melangkah
saja.
Tertawa…
Perjalanan itu mestinya tidak jauh, tetapi terasa begitu lama karena
adanya aneka rasa yang berkecamuk. Apalagi rombongan itu terbagi-bagi dalam
jumlah dan perasaan. Di depan ada Yesus dengan para murid serta Yairus. Di
belakangnya ada anggota keluarga Yairus yang berjalan seolah diseret. Mereka
berjalan sembari membicarakan Yesus. Bukan sekadar membicarakan, mereka bahkan
menertawakan. Memang belum terang-terangan. Mereka hanya menunggu saat yang
tepat.
Akhirnya mereka sampai di rumah si kepala rumah ibadat. Di sana
sudah berkumpul banyak orang. Penangis sewaan juga sudah menjalankan tugasnya.
Oh iya, di Israel pada waktu itu adalah jamak orang menyewa tukang tangis.
Mungkin terasa janggal. Tetapi bisa dijelaskan. Begini kira-kira dasar
pemikirannya. Kematian itu ada waktunya, kalau memang sudah waktunya, maka
kematian itu tidak perlu ditangisi bahkan harus dirayakan. Tetapi apabila
kematian itu datang sebelum waktunya, maka tangisan harus menjadi iringan
utama, bahkan jika dibutuhkan penangis sewaan juga bisa didatangkan. Kapan
kematian itu pantas datang? Apabila tugas seseorang di dunia sudah usai.
Misalnya, orang yang sudah tua dan anak-anaknya sudah menikah semua. Sudah
tidak ada tanggungan lagi. Sebaliknya, anak kecil yang meninggal haruslah
ditangisi sedemikian rupa sebagai wujud kesedihan yang mendalam.
Anak kepala rumah ibadat itu baru 12 tahun. Maka tangisan yang
mengharu biru, bahkan tak jarang yang melolong-lolong menghiasi seluruh udara
rumah. Pada saat seperti itulah Yesus dan rombongan datang. Tentu suasana
sangat tidak nyaman. Yesus ingin menenangkan. Lebih dari itu Yesus ingin menunjukkan
kebenaran. Ia hanya mengajak Petrus, Yohanes, Yakobus dan kedua orangtua anak
yang katanya sudah meninggal tersebut masuk. Sedangkan yang lain tidak Ia
ijinkan masuk. Di dalam rumah semakin banyak yang menangis bahkan dengan
suaranya yang nyaring. Maka Yesus menegur mereka. “Mengapa kamu ribut dan
menangis?Anak ini tidak mati, tetapi tidur!”
Kontan saja orang-orang itu menertawakan Yesus. Jelas anak tersebut
sudah meninggal dan dikatakan hanya tertidur. Mereka yang ada di luar, yang
mendengar Yesus mengatakan demikian juga tertawa. Mereka meledek para murid
yang ada di luar. Bagaimana gurunya bisa mengatakan anak itu tidak mati padahal
faktanya mati.
Pesarean…
Toh Yesus tidak menghiraukan mereka semua. Yesus kemudian meminta
orang-orang itu keluar, dan hanya orang tua si anak yang Ia ajak masuk ke dalam
kamar. Dan memang benar, anak itu terbujur kaku. Tidak ada nafas tanda
kehidupan. Tidak ada helaan lembut dari hidung tanda ia tertidur. Dia memang
sudah meninggal.
Toh Yesus tidak menghiraukan itu. Ia pegang tangan anak itu dengan
lembut. Dengan lembut pula Ia berkata, “Talita Kum!” Kalau diterjemahkan
berarti, “Hai anak, bangunlah!” Yesus membangunkan anak tersebut, karena anak
tersebut memang tertidur. Dan memang Yesus tidak berbohong. Anak itu tertidur.
Mungkin Anda sekalian kurang sependapat. Mari kita lihat secara
lebih jeli. Dalam banyak kebudayaan, orang tidak menggunakan kata mati, atau
meninggal. Orang menggunakan kata tertidur. Bahkan orang jawa mengatakan
kuburan itu sebagai pesarean. Berasal
dari kata sare yang artinya tidur.
Jadi pekuburan itu adalah tempat orang tertidur. Maka memang diperbolehkan
menyebut orang yang meninggal itu sedang tidur. Lebih tepatnya tidur panjang.
Mengalahkan kematian…
Sahabat, saya ingin mengajak Anda untuk merenungkan lebih jauh makna
kematian dan artinya Yesus mengalahkan kematian. Bagi kita orang beriman apakah
kematian itu? Apakah berhentinya seluruh fungsi biologis kita? Atau bagaimana?
Jika kita mengikuti upacara-upacara kematian, selalu dikatakan bahwa mereka itu
tidak meninggal, tetapi beralih dari dunia ini ke dunia yang lain. Jika
demikian, apakah kematian itu?
Kematian adalah hilangnya relasi manusia dengan Allah. Dalam kisah
kejadian dikatakan bahwa ketika selesai membentuk manusia dari tanah, Allah menghembusinya
sehingga hidup. Secara sederhana bisa kita pahami bahwa manusia itu hidup
karena mendapatkan nafasnya dari Allah. Manusia hanya hidup kalau memiliki
hubungan dengan Allah. Maka manusia itu mati kalau tidak memiliki hubungan
dengan Allah. Di sini kematian memiliki arti yang lebih dalam dari sekadar
berfungsi atau tidaknya organ-organ biologis manusia.
Lalu, apa artinya Yesus mengalahkan kematian? Kita harus melihatnya
dari awal keterpisahan manusia dengan Allah. Dahulu kala, ketika manusia tidak melawan
Allah, mereka hidup damai di taman Eden. Tetapi begitu mereka berbuat dosa
dengan melawan perintah Allah, mereka mulai terpisah. Mereka mulai berkenalan
dengan kematian. Karena buah dosa adalah maut. Nahhh, Yesus mengalahkan
kematian yang berarti Dia mengembalikan hubungan manusia dengan Allah. Relasi
yang terputus karena dosa Ia satukan lagi dalam kurban di salib.
Apakah jika demikian semua menjadi bebas? Ternyata tidak. Manusia
masih memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak penyelamatan itu. Kalau
mereka memilih untuk bersekutu dengan dosa, maka mereka akan tetap mengalami
kematian. Tetapi kalau mereka mengikuti Yesus, maka mereka akan diselamatkan
dari kematian. Ingat, kematian adalah keterpisahan manusia dengan Alllah.
Artinya, seseorang bisa mengalami kematian meskipun secara biologis
organ-organnya masih berfungsi kalau mereka kehilangan relasi dengan Allah.
Penutup
Sahabat, bagaimana dengan kita? Ada baiknya saya berikan beberapa
point untuk direfleksikan lebih jauh secara pribadi. Pertama, dan ini adalah
yang utama dalam catatan ini, apakah kita sungguh percaya kepada Allah? Ketika
Allah berkata bahwa Ia akan mencukupkan hidup kita, tatkala Dia meminta kita
mencari dulu kerajaan Allah dan kebenarannya sehingga yang lain akan ditambahkan
kepada kita. Percayakah kita akan janji-janji Allah itu. Seperti kata Yesus
kepada Yairus, “jangan takut, percayalah saja!”
Kedua, beranikah kita mengungkapkan kepercayaan kita kepada Tuhan.
Ketika kita ditertawakan karena percaya kepada Tuhan. Ketika kita dianggap
bodoh karena percaya kepada kuasa Tuhan; masihkah kita percaya dan terlebih
lagi menjalankan kepercayaan kita itu? Atau jangan-jangan kita menjadi pihak
yang menertawakan tatkala ada orang memiliki iman yang begitu besar.
Terakhir, apakah yang akan kita pilih; kehidupan atau kematian. Jika
kita memilih kehidupan, maka hanya ada satu jalannya yaitu menjalin relasi yang
intim dengan Allah. Kalau kita mengabaikan hal ini berarti kita memilih
kematian. Jalinan relasi dengan Allah itu bukanlah sesuatu yang instan dan
konstan. Dia memerlukan proses dan peningkatan terus menerus. Yesus meminta
Yairus agar memberi anaknya makan. Kehidupan itu harus terus ditopang dengan
makanan. Relasi pribadi kita dengan Allah juga harus terus ditopang dengan berbagai
makanan rohani. Jika kita mengabaikan makanan rohani ini maka matilah relasi
kita dengan Allah. (bersambung)
(3)
Tantangan
Beriman!
Sahabat terkasih, dalam
dua bagian tulisan terdahulu, saya mengajak Anda untuk merenungkan betapa luar
biasanya iman. Dengan memilikinya kita bisa dibawa kepada pengalaman
mengalahkan kematian dan disembuhkan. Nyatanya memiliki iman seperti itu
tidaklah gampang. Ada banyak tantangannya. Pada bagian ini saya ingin
merenungkan beberapa hal yang kerap menjadi penghambat dalam beriman. Kisah
dalam Injil Markus saat Yesus pulang ke kampung-Nya menjadi landasan kita
bermenung.
Teman-teman sekampung (bdk. Mrk 6:1-6)
Sahabat, setelah Yesus menyembuhkan anak gadis Yairus,
kemudian Ia berangkat dari sana. Ia dan murid-muridnya melanjutkan perjalanan
dan tiba di tempat asal-Nya, di kampungnya sendiri.
Pada hari Sabtu, yaitu hari Sabat Ia pergi
beribadah di rumah ibadat. Setelah Kitab Suci dibacakan Ia mulai mengajar, seperti
biasanya dia lakukan di tempat-tempat lain. Sekali lagi, seperti di
tempat-tempat lain, jemaat yang besar takjub ketika
mendengar Dia. Namun ada yang berbeda. Yaitu reaksi selanjutnya dari jemaat.
Mereka mempertanyakan kapasitas Yesus, dan mereka berkata: "Dari mana
diperoleh-Nya semuanya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan
mujizat-mujizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?
Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan
Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang
perempuan ada bersama kita?"
Lalu mereka kecewa dan lebih ekstrim lagi mereka menolak
Dia. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa teman
sekampung mereka menajdi seorang Guru yang mumpuni. Mereka menolak karena
merasa mengetahui siapa Yesus itu. Maka Yesus tidak tinggal diam. Ia berkata
kepada mereka: "Seorang nabi dihormati di
mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di
rumahnya." Ia tidak dapat mengadakan satu mujizatpun di sana, kecuali
menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan-Nya atas
mereka. Ia merasa heran atas ketidakpercayaan mereka.
Teman-teman sekampung sendiri.
Pengetahuan
Sahabat, kita melihat
bagaimana iman mendapat tantangannya dari orang yang merasa tahu. Mari kita
mulai dengan orang-orang yang tinggal satu daerah dengan Yesus, yaitu
orang-orang di Nazareth. Waktu itu Nazareth bukanlah kota yang besar.
Penduduknya juga pasti belum sangat banyak. Maka sangat wajar jika mereka saling
mengenal satu sama lain.
Di sanalah mereka mengenal
siapa Yesus. Anak Maria dan Yosef. Juga saudara-saudarinya yang lain. Sebelum
berlanjut, saya perlu memberi keterangan singkat bahwa yang dimaksud
saudara-saudari di sini bukanlah kakak atau adik kandung. Mereka adalah
kerabat. Seperti halnya dalam budaya kita, bahwa kerabat kita sebut saudara dan
saudari. Keterangan mengenai hal ini sudah sangat jelas. Bahkan para ahli sudah
tidak memperdebatkan lagi, karena hal itu umum di dalam banyak kebudayaan.
Saya lanjutkan kisah
mengenai orang-orang Nazareth yang saling mengenal satu sama lain. Selain
mengenal seluruh kerabatnya, mereka kerap juga mengenal karakternya,
pergaulannya, kekayaannya, juga tidak jarang mengenal kemampaunnya. Kepandaian
dan bakat-bakat. Di sinilah mereka sangat terkejut. Di antara kagum dan kaget,
mereka heran. Mereka tidak bisa memahami bahwa Yesus memiliki kemampuan begitu
hebat. Mereka merasa sangat mengenal Yesus dengan segala latar belakangnya
dengan baik, tetapi mereka tidak mampu memahami bahwa ada kemampuan lain yang
tidak mereka lihat. Bahkan di tengah kekagetannya, mereka menolak Yesus.
Hal yang sama kerap kita
jumpai dalam pengalaman hidup sehari-hari. Manusia modern, yang mendasarkan
dirinya kepada pengetahuan (knowledge), sulit menerima apapun yang berada di
luar nalar. Kemajuan tekhnologi dengan berbagai sarana penunjangnya, membuat
manusia sungguh tergantung kepadanya. Di sinilah kemudian, pada zaman modern
ini iman mendapat tantangannya. Hal yang umum kita dengar adalah pernyataan
bahwa apa yang tidak bisa dimengerti oleh akal budi dinyatakan tidak ada.
Banyak orang mulai
kehilangan iman dan meninggalkan Tuhan karena mereka berhadapan dengan banyak
kenyataan yang tidak bisa dijelaskan dengan gambling oleh akal budi. Mari kita
lihat beberapa contoh sederhana. Allah Tritunggal. Bagaimana akal budi bisa
menjelaskan dengan sederhana adanya kenyataan Allah Bapa, Allah Putera dan
Allah Roh Kudus sebagai satu Allah. Dalam kenyataannya memang mereka adalah
tiga pribadi Allah yang ebrbeda, tetapi mereka adalah satu. Kita memahaminya
sebagai satu misteri dalam hidup beriman. Namun bagi banyak orang yang
mengedepankan akal budi, hal tersebut tidak bisa diterima.
Contoh kedua yang mungkin
bisa kita lihat adalah perintah Yesus untuk mengampuni. Jika pipi kita dipukul,
kita diminta memberikan bagian pipi yang lain. Kita diminta memebrikan apa yang
diminta orang lain. Diminta mengampuni dan mendoakan orang-orang yang memusuhi
kita. semua contoh ini sangat tidak masuk akal bagi sebagian orang. Meskipun
hal ini sangat mungkin dilakukan.
Singkatnya, pengetahuan
itu kerap menjadi halangan bagi sebagaian orang untuk beriman. Memang tidak
semua orang yang berpengetahuan tinggi akan kesulitan dalam beriman. Kita
mengenal tokoh dari masa lampau, misalnya St. Thomas Aquinas. Sejak kecil dia
bertanya siapakan Allah itu, apakah Allah itu. Kemudian dia melakukan banyak
penelitian. Seluruh hidupnya ia habiskan untuk mempelajari siapakah Allah itu.
Hasilnya bisa kita baca dalam buku Summa Theologia. Atau buku mengenai teologi
tertinggi. Tetapi pada akhirnya dia berkata, “karena indra tidak mampu maka
iman jadi tumpuan.” Pada akhirnya kemampuan manusia itu terbatas sedangkan
Allah sungguh tak terbatas. Maka sungguh yang dibutuhkan hanyalah iman.
Pengetahuan sebagai unsur
yang membuat orang kesulitan untuk beriman bukanlah unsur tunggal. Dia memiliki
teman. Yaitu kekuasaan dan kekayaan. Beriman dan berserah penuh kepada Tuhan
tidaklah gampang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekayaan banyak dan
kekuasaan besar. Bagian ini tidak akan saya jelaskan lebih lanjut. Kita bisa
memahami hal ini kalau mau dengan rendah hati mendengarkan dan melihat apa yang
terjadi. Saya ingin melanjutkan pembahasan mengenai usaha mengalahkan
tantangan-tantangan ini.
Tumpuan
Sahabat terkasih, apakah
yang perlu kita lakukan agar tidak kehilangan iman meski memiliki pengetahuan
yang besar? Menurut hemat saya hanya ada satu. Yaitu menumpukan seluruh
pengetahuan itu pada dasar yang tepat. Sebab kalau tidak ia akan membawa kita
ke tempat yang tidak semestinya. Bahkan bisa menenggelamkan kita ke dalam
samudera atheisme yang dalam.
Saya menyinggung sedikit
mengenai atheisme karena di sanalah bermuara segala pengingkaran akan Tuhan. Ke
sanalah mengalir segala bentuk ketidakpercayaan kepada Tuhan. Segala hal yang
berkaitan dengan hilangnya iman.
Bagaimana seseorang bisa
kehilangan imannya, atau sebaliknya bagaimana seseorang bisa memiliki iman yang
teguh bermula dari titik langkah yang sama. Yaitu pengenalan diri. Tiap orang
mesti mengenal dirinya sendiri dengan baik. Memahami segala kelebihan dan
kekurangannya dengan saksama.
Itu adalah langkah
pertama. Langkah itu membawa orang memahami siapa dirinya dengan segala
kekurangan dan kelebihannya. Langkah berikutnya sangat menentukan. Apakah dia akan
menjadi orang beriman atau sebaliknya menjadi seorang atheis. Kita mulai dari
bagaimana seseorang bisa menjadi atheis.
Setelah proses pengenalan
diri, bahkan juga dengan pengembangan diri, seseorang bisa menjadi atheis.
Mengapa? Karena mereka akhirnya hanya berpusat kepada diri sendiri. Ketika
seseorang mengenal dirinya dengan baik, kemudian menemukan segala potensinya
dengan cemerlang; ia akan banyak melihat kepada diri sendiri. Segalanya bermula
dan bermuara kepada diri sendiri. Semuanya serba aku. Di sini yang menjadi
pendorong utama seseorang menjadi atheis adalah para motivator yang mengajak
orang untuk hanya mengandalkan kemampuan sendiri. Menggali kemampuan sendiri,
dan seterusnya. Tidak ada tempat bagi pihak lain. Di sana juga tidak ada tempat
bagi Tuhan. Karena seseorang berhasil melakukan banyak hal karena dia berusaha,
karena dia bisa, karena dia mengembangkan segala potensi diri yang ada. Tidak
ada sama sekali campur tangan ilahi di sana.
Hal sebaliknya bisa
terjadi bahwa seseorang bisa menjadi semakin beriman. Langkah pertama adalah
pengenalan diri. Hal ini sama. Langkah kedua ini yang sungguh berbeda sama
sekali, yaitu melepaskan segala kemampuan diri dan menumpukan hanya kepada
Tuhan. Bahwa segala kemampuan diri itu diterima sebagai anugerah dari Tuhan.
Tuhanlah yang memberikan segala bakat dan kemampuan. Maka kepada Tuhanlah
semuanya itu diserahkan.
Contoh dari pribadi semcam
ini adalah Santo Paulus. Dia itu seorang yang sangat pandai. Dia belajar Kitab
Suci kepada guru ternama, yaitu Gamaliel. Dia berasal dari kalangan terpandang
dan menjalankan hukum dengan baik. Namun baginya semuanya itu adalah sampah
jika dibandingkan dengan pengenalannya akan Yesus Kristus (bdk. Flp 3:8).
Kemudian dia masih menambahkan bahwa kalau dia bisa melakukan banyak hal, bukan
karena dia hebat, tetapi karena Tuhanlah yang memberi kekuatan kepadanya (bdk.
Flp4:13). Satu contoh bagi kita sendiri untuk memupuk hidup beriman kita bahwa
semuanya berasal dan akan kembali kepada Tuhan.
Dituntun orang buta
Sahabat, pada bagian
terakhir ini saya tambahkan sedikit mengenai bagaimana kita bersikap yang tepat
dalam hidup beriman. Mengatakan bahwa kita ini adalah orang beriman adalah
lebih mudah dari pada menjalaninya. Iman kita secara sungguh-sungguh
mendapatkan tantangannya di dalam berbagai kesulitan hidup yang kita jalani.
Saya menggunakan gambaran
‘dituntun oleh orang buta’ sebagai perumpamaan hidup beriman tersebut. Sekali
lagi, dituntun oleh orang buta. Bukan menuntun orang buta. Bukan juga orang
buta menuntun ornag buta. Saya rasa cukup jelas, yaitu dituntun oleh orang buta
sebagai gambaran hidup beriman.
Pertama, beriman artinya
percaya kepada Tuhan. Dituntun artinya percaya kepada yang menuntun. Beriman
yang adalah percaya tidak mudah dilakukan seperti halnya tidak mudah memercayai
orang buta sebagai penuntun kita. Hal awal yang akan kita kemukakan adalah,
kita lebih mengerti jalan dibandingkan dengan si penuntun. Yang terjadi
kemudian adalah kita menjadi penunjuk arah bagi dia yang menuntun kita.
Itulah yang kerap terjadi
dalam hidup kita. Kita menjadi penunjuk jalan bagi Pribadi yang menuntun hidup
kita. Kita mengarahkan Tuhan kemana kita harus pergi. Bukan sebaliknya. Kita
merasa lebih tahu dari pada Tuhan. Kita merasa lebih tahu dan mampu, sedangkan
Tuhan kita anggap tidak tahu apa-apa, karena Dia buta.
Kedua, bagaimanakah sikap
yang tepat yang mesti kita bangun? Sikap yang tepat yang cukup sederhana adalah
menutup mata. Ya, jika kita dituntun oleh orang buta, maka kita cukup menutup
mata kita. Di sana kita akan dibawa kepada sikap pasrah. Kalau kita membuka
mata, segala pengloihatan kita; segala pengetahuan dan kemampuan kita akan
menggangu. Dengan memejamkan mata, kita akan berserah sungguh kepada gandengan
tangan-Nya dan kita akan melangkah dengan lebih tenang. Bagaimana membuktikan
ini? Hanya ada satu cara membuktikannya, yaitu menjalaninya. Mari kita
bersama-sama berjalan dalam iman, dalam naungan Tuhan, dan kita akan bersama
pula sampai di tempat yang nyaman. (selesai).
Port Melbourne
20 September 2012
Comments