Mengapa Saya Suka (oseng) pare?
Ada banyak kesempatan di mana saya merayakan peristiwa istimewa dalam tahapan kehidupan saya. Yang umum adalah merayakan pesta ulang tahun kelahiran. Sejak saya berada jauh dari kampung halaman, saya senantiasa merayakan pesta ulang tahun kelahiran dengan menu soto. Soto ayam! Kalau tidak bisa memasak sendiri, saya membelinya di warung. Sederhana saja. Bukan karena saya sangat tergila-gila dengan soto ayam. Seperti saya katakan tadi, yang istimewa adalah kisah di belakang menu soto ayam. Menu ini adalah menu istimewa semenjak masa kanak-kanak saya dulu. Setiap kali orangtua saya merayakan pesta ulang tahun saya, ibu selalu memasak soto ayam. Maka, menu soto ayam menjadi istimewa karena membawa kembali seluruh kenangan masa kecil bersama keluarga. Dan ini mengalahkan rasa yang mungkin tidak seberapa.
Nah, ada menu lain yang menemani saya dalam merayakan peristiwa istimewa lain dalam tahapan hidup saya yang lain. Misalnya merayakan ulang tahun tahbisan atau kaul kekal. Tentu tidak setiap tahun merayakan dalam suasana yang serupa. Seperti kebanyakan orang memiliki jenjang-jenjang tersendiri, entah dihitung berdasar perpuluhan, perduapuluhlima tahunan, atau yang lainnya. Saya juga merayakan, untuk saya sendiri, secara istimewa. Tentu istimewa menurut saya sendiri. Misalnya, sewaktu merayakan ulang tahun yang ke-5 imamat, saya mengumpulkan catatan yang berserakan di halaman fesbuk, dan menjadikannya sebuah buku. Buku itu saya beri judul, "yang kecil itu". Karena sebuah kenangan akan perjalanan imamat, maka buku itu tidak saya jual, melainkan saya bagi-bagikan kepada setiap orang yang membantu proses pendidikan saya juga saudara-saudara saya seserikat. Saya menyerahkan buku yang sudah dicetak kepada komisi misi serikat dan mereka yang tahu kepada siapa hendak membagikan buku tersebut.
Hari ini, saya merayakan ulang tahun yang ke-10 hidup imamat. Saya juga merayakannya dengan istimewa, berdua dengan saudara seserikat. Saya katakan kepadanya, "siang ini saya yang masak. Nanti sore baru kita makan di warung." Sore hari saya ajak ke warung untuk mengantisipasi kalau-kalau dia tidak bahagia dnegan siang amsakan saya, meski saya anggap istimewa. Lalu saya mulai memasak menu istimewa untuk menandai 10 tahun hidup imamat saya. OSENG PARE!!
Mungkin Anda tertawa, mengernyitkan alis mata pertanda tidak percaya. Tetapi ini adalah menu istimewa saya, hari ini, di hari yang istimewa. Sekali lagi bukan soal rasa pertama-tama saya menyukanya. Bukan juga karena harganya yang istimewa, tetapi karena kisah di belakangnya.
Sejujurnya, saya bukanlah penggemar oseng pare. Saya hanya menikmati oseng pare yang saya masak sendiri. Anda pasti tahu, pare itu rasanya pahit. Tetapi entah mengapa, oseng pare masakan saya tidak terasa pahitnya. Anda boleh tidak percaya, dan saya tidak memaksa Anda untuk percaya. Anda juga tidak perlu meminta bukti masakan saya dengan meyuruh saya membuatkan oseng pare bagi Anda. Cukup dengarkan penjelasan saya, dan Anda boleh memilih antara percaya, tidak percaya dan sangat tidak percaya. Terserah Anda.
Mengapa saya menyukai oseng pare sebagai menu istimewa dalam merayakan ulang tahun imamat ini? Ada banyak alasan. Ada alasan yang ilmiah, ada juga yang tidak. Ada yang bisa diterima dengan akal sehat, ada juga yang yahhh diterima sajalah. Diiyakan saja biar saya senang. Macam-macamlah.
Pertama, orang bijak mengatakan "apa yang terasa pahit di mulut menyehatkan badan". Sejauh saya tahu, kalau saya sakit senantiasa diberi obat yang rasanya selalu pahit. Namun itu menyehatkan badan saya. Bisa jadi ini benar. Kemudian ada banyak sayuran atau buah-buahn lain yang serupa, yang rasanya pahit, namun menurut banyak orang baik untuk kesehatan. Baiklah ini diterima saja sebagai alasan pertama.
Kedua, pare itu gambaran rasa yang kerap datang dalam kehidupan. Namun seperti halnya sayur pare yang kalau tepat mengolahnya, rasa pahit itu bisa hilang dan yang tertinggal hanyalah kesedapan yang, bisa jadi, luar biasa. Namun, kalau salah mengolah, sayur pare itu akan sungguh seperti obat yang maha pahit saja rasanya. Di sinilah letak seninya, dan saya menyukainya. Mengolah yang pahit sehingga tidak terasa lagi pahitnya, namun membekaskan rasa yang luar biasa (nikmat) di lidah.
Ketiga, masih berkaitan dengan yang kedua. Orang Cina berkata bahwa hanya orang yang mampu makan yang pahit sajalah yang bisa menjadi manusia luar biasa. Makan makanan pahit dalam hidup adalah menghadapi dan melewati setiap peristiwa pahit dalam hidup. Batu-batu terjal yang terjajar di sepanjang jalan. Mereka bukan untuk dihindari, tetapi dihadapi, ditata rapi, dan pada akhirnya dilewati. Meski demikian tidak menjadi penghalang bagi yang lain, karena sudah kita tata dan atur dengan rapi. Jika kita hanya melewati dan menghindari saja, batu-batu itu akan menajdi penghalang bagi setiap orang yang lewat. Maka, menjadi manusia luar biasa memiliki makna menjadi manusia yang berguna bagi sesama.
Keempat, oseng pare itu terasa sedap sekali kalau di masak pedas dan dicampur dengan ikan teri yang asin. Perpaduan antara pahit, pedas, dan asin, ketika disatukan menghasilkan rasa yang aduhai. Seperti saya katakan di atas, rasa pahit adalah gambaran pengalaman yang tidak enak dalam kehidupan, sebuah kepahaitan, sebuah masalah, sebuah tragedi. Demikian halnya dengan gambaran asin dan pedas. Dalam kehidupan, asin dan pedas bukanlah gambaran yang baik. Kita biasa menggambarkan sesuatu yang mudah, yang enak, yang menyenangkan dengan sesuatu yang manis. hampir tidak pernah menggambarkan sesuatu yang enak dengan padanan pedas. Sedangkan asin, bisa dipadankan dengan pengalaman dalam hidup. Maka menyatukan sesuatu yang tidak enak, dibutuhkan keberanian dan tekat yang kuat.
Inilah sedikit alasan, mengapa saya merayakan ulang tahun imamat saya dengan menu oseng pare. oseng pare yang harus saya masak sendiri. Karena saya mengolah pare yang pahit agar menajdi sayuran yang enak membutuhkan seni tersendiri. Demikianlah saya mesti belajar sendiri, mengenal diri sendiri, mengenal setiap kepahitan yang singgah dalam kehidupan saya untuk saya oleh agar membekaskan rasa yang istimewa, tetap renyah ketika digigit namun tidak ada lagi jejak kepahitan di sana.
Mengolah kepahitan menjadi sesuatu yang bermakna memang tidak mudah. Itu laksana menata batu-batu kasar di seoanjang jalan yang saya lewati. Batu-batu yang telah membuat kaki saya berdarah juga kesleo, tetapi saya mesti menatanya dnegan rapi agar batu-batu itu tidak mencelakakan orang lain. Di sinilah saya, sebagai seorang gembala (pastor dalam bahasa latin berarti gembala) mesti berjalan menyiapkan jalan yang baik bagi para domba. Menata batu-batu yang berserakan dalam sepanjang jalan hidup saya. batu-batu itu bisa berupa luka-luka yang tertinggal dari masa lalu, yang terjadi karena ketidaktahuan atau kesembronoan. Itu mesti saya tata agar tidak menjadi celaka bagi orang lain.
Terkadang kepahitan hidup tidak datang sendirian, dia juga hadir bersama pedasnya pengalaman. Namun asinnya pengalaman akan membantu menyatukan hingga keduanya tidak melukai. Hal yang sulit bisa datang bersamaan, terkadang bahkan berombongan. Meski demikian semua mesti ditata dengan baik, semua ditakar dengan sempurna agar paduan pedas dan pahit setara dengan denyut asin dan manis yang menyela. Sehingga terpadu dalam adonan yang rata dan istimewa. Bukan karena saya hebat dan luar biasa, tetapi karena DIA yang menguatkan saya untuk mampu menanggung banyak perkara.
Seperti kisah Paulus dan Silas dalam buku Kisah Para Rasul yang dibcakan dalam perayaan Ekaristi hari ini. Mereka mengalami kepahitan berkali-kali. Ditangkap di masukkan penjara, bahkan penjara yang paling tengah, yang sangat ketat penjagaannya. Namun mereka menerima semua kepahitan itu dengan tenang dan hati yang lapang. Mereka percaya dengan SIAPA mereka bekerja. Maka, meski kepahitan itu mendera, mereka tetap melantunkan pujian kepada DIA yang mengutus mereka. Dan siapa bisa menduga kalau pujian itu akan menggetarkan pintu-pintu penjara dan membuatnya terbuka.
Maka, pada hari di mana saya genap 10 tahun menjadi imam, oseng pare sungguh gambaran yang pantas untuk saya nikmati. Inilah perutusan saya. Mencecap kepahitan demi kepahitan, namun saya harus mengolahnya agar menjadi membekaskan rasa yang sedap. Dan setelah menyadari ini semua, saya kemudian mengambil gitar, memetiknya perlahan dan bersenandung, seperti yang disenandungkan Daud dalam Mazmur 138:1-2:
aku hendak bersyukur pada Tuhan
karena kebaikan-Nya
dan memuji-muji nama Tuhan
yang maha tingi
ya Tuhan...Tuhan kami
betapa mulianya
namamu Tuhan kami
dimuliakan atas sluruh bumi.
.........
Aku hendak bersyukur pada Tuhan
Atas segala kasih dan setia-Nya
Atas segala rahmat karunia-Nya
Atas segala perlindungan dan cinta-Nya
Atas segala rahmat karunia-Nya
Atas segala perlindungan dan cinta-Nya
Aku hendak berterimakasih
Kepada semua kawan dan sahat
Mereka yg baik dan murah hati
Mereka yg gampang marah dan sakit hati
Mereka yg menyadarkan kalau tersesat
Mereka yg menghihur dengan canda dan tawa
Mereka yg rela hati bersama-sama berjalan dalam iman.
Kepada semua kawan dan sahat
Mereka yg baik dan murah hati
Mereka yg gampang marah dan sakit hati
Mereka yg menyadarkan kalau tersesat
Mereka yg menghihur dengan canda dan tawa
Mereka yg rela hati bersama-sama berjalan dalam iman.
Aku hendak bersyukur atas orangtua
Atas saudara dan saudari, atas kemenakan yang lucu-lucu
Atas saudara dan saudari, atas kemenakan yang lucu-lucu
Atas kerabat semua, mereka yang mendukung dan setia mendoakan,
selama 10 tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang.
Hong Kong, 12 Mei 2015
Comments
Kamu sekarang di mana? aku di Hong Kong.
bagaimana kabarmu? kabarku baik.
oseng pare emang enak!