Jangan MENANGIS
Saya ingat ajaran orangtua dulu untuk bisa berbela rasa dengan sesama. Secara sederhana, bela rasa bisa dimengerti sebagai "ikut merasakan". Jika menggunakan bahasa yang agak tinggi, sepadan dengan "emphati". Artinya kurang lebih sama, ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Terlebih perasaan sedih karena bencana, kehilangan orang yang dicintai, dst.
Namun ada kepedihan yang lebih pedih dari semua bencana, yaitu menjalani semuanya itu sendirian, tanpa teman untuk berbagi. Sungguh sebuah kepedihan yang tak tertahankan. Maka sikap berbela rasa akan sungguh membantu. Mungkin tidak melepaskan kepedihan itu seutuhnya, namun akan meringankan. Setidaknya ada rasa bahwa 'aku tidak sendiri menanggung dukaku'.
Bagaimana bisa berbela rasa dengan baik? Ada sebuah kisah yang bisa dipakai sebagai salah satu cermin untuk bersikap serupa. Kisah ketika Yesus berjumpa dengan iring-iringan jenasah dari seorang pemuda anak dari seorang janda di desa Nain. Kepedihan yang sungguh terasa, seorang janda ditinggal mati anaknya yang tunggal. Kepedihan yang sulit dipahami. Dia sudah kehilangan suami. Entah bagaimana ceritanya, apakah suaminya pergi atau meninggal, yang pasti sekarang dia sudah tidak bersuami. Tinggallah anaknya yang tunggal. Sekarang dia meninggal. Kepedihan seperti robeknya satu-satunya baju yang tak mungkin ditambal. Pedih di dalam dada seolah yang menggumpal, mengganjal.
Lukas bercerita bahwa Yesus tersentuh hati-Nya. Dia ikut merasakan kepedihan yang dialami oleh si janda. Diceritakan bahwa Dia menghampiri rombongan pembawa jenazah, pertama menemui si janda dan berkata, "jangan menangis." Kemudian memegang keranda dan meminta anak muda itu untuk bangun. Lukas menutup ceritanya mengenai Yesus yang berbela rasa hingga pada pembangkitan dari kematian dengan menceritakan reaksi orang-orang yang ada di sana. Mereka memuji Tuhan.
JANGAN MENANGIS
Kata-kata ini sederhana, namun maknanya luar biasa. Ketika Yesus berkata kepada janda Nain itu, "jangan menangis", seolah hendak berkata, "jangan menangis, Ibu, aku akan membantumu mengangkat bebanmu, kamu tidak perlu menderita sendirian." Sungguh tiada yang lebih indah dibandingkan ada pribadi yang memahami kita, memahami beban yang mesti kita panggul dan segala sakit yang kita bawa.
Kata-kata peneguhan yang diucapkan oleh Yesus itu juga memberi bukti bahwa Allah kita bukanlah Allah yang tinggal di tinggi di atas awan yang tak terjangkau oleh manusia. Dia adalah Allah yang dekat, yang mengerti segala derita manusia yang ikut merasakan setiap jerit lara hati umatnya. Dia yang dekat, yang ada di antara kita.
Sejatinya, sapaan "jangan menangis" itu juga ditujukan pada kita. Iya, kita yang merasa sendiri menanggung beban, sendirian membawa lara hati, sendirian memikul segala perkara. Sejatinya kita tidak pernah sendiri, karena Dia ada di sebelah kita dan berkata, "jangan menangis...".
Selain diberikan kepada kita, sapaan "jangan menangis" juga sebuah undangan. Undangan untuk ikut bersama dia, berbela rasa dengan sesama saudara yang mengalami derita. Mungkin kita tidak bisa membuat mukjizat seperti yang dilakukan oleh Yesus, tetapi kita bisa melakukan sapaan yang sama, bisa hadir dan menjadi teman bagi mereka.
Pertama, langkah sederhana yang pasti bisa dibuat adalah mendoakan mereka. Mendoakan dengan tulus mereka yang menderita, juga berdoa bersama mereka.
Kedua, melakukan sapaan. Mengirim SMS atau WA, email, pesan FB, twitter, atau sarana apapun yang bisa dibuat untuk menyapa mereka, untuk mengingatkan mereka yang menderita, bahwa mereka masih memiliki kawan untuk berjalan bersama melalui lorong-lorong sempit derita.
Ketiga, hadir di tengah mereka. Mengunjungi mereka, membezuk mereka yang sakit, yang di penjara, atau di manapun mereka berada. Mungkin kita tidak bisa melakukannya sendirian. Kita bisa bergabung bersama secara kelompok, dalam kelompok SSV atau Vincensian, kelompok Legio Maria, atau kelompok yang lain yang dekat dengan kita. Kunjungan secara kelompok akan lebih menegasakan bahwa mereka sungguh tidak sendiri.
salam
Comments