Catatan akhir tahun


Merayakan ekaristi pada hari ulang tahun tahbisan
Sahabat  yang terkasih, tahun 2018 tinggal sekejap saja akan berlalu. Banyak kenangan yang terukir di dalamnya. Paduan kisah manis dan pahit bertaut merangkai kisah indah, tak kalah dengan drama Korea yang paling sentimental sekalipun.

Kita bisa menandai setiap peristiwa, bahkan mengukurnya dengan nilai dari rentang 1 hingga 1000, itu hanya sebagian saja. Tetapi mengungkap kembali semua peristiwa dan menceritakannya kembali, tentu butuh waktu satu tahun untuk bercerita.

Saya sendiri menandai dua peristiwa sepanjang 2018 yang memberi kesan mendalam. Kisah pertama yang menggembirakan adalah ziarah ke makam Tuhan pada hari ulang tahun tahbisan. Saya hanya bisa mengatakan bahwa ini adalah anugerah semata. Bahkan saya tidak menyadari sebelumnya kalau tanggal 12 Mei itu saya akan ke makam Yesus. Bahkan pada saat mengetahui saya akan berziarah ke Israel pun saya tidak tahu.

Di makam Tuhan Yesus
Adanya kekisruhan di beberapa daerah di Palestina membuat jadwal ziarah harus sedikit kami ubah. Dan hal itu rupanya berkah tersendiri bagi saya. Tentu kegembiraan dan haru menyatu menjadi satu. Boleh mempersembahkan Ekaristi di makam Tuhan. Hanya air mata yang meleleh yang bisa menggambarkan kegembiraan dan haru yang menyatu padu.

Berdiri mengantri yang membutuhkan waktu lebih dari dua jam itu tak mengurangi segala berkat bahwa boleh duduk sebentar dalam keheningan, meraba batu di mana dulu Sang Guru dibaringkan. Dia yang rela mati demi manusia, demi aku yang penuh dosa ini. Tuhan kasihanilah aku. hanya itu yang bisa terucap. tak banyak kata yang terungkap, atau gerak tangan yang mengusap. Karena seluruh jiwa seolah terbawa masuk ke dalam kubur kosong.

Bagian dari ziarah yang juga membuat hati saya melambung adalah kesempatan pergi ke Gunung Karmel. Menginjak tanah di Nabi Elia pernah tinggal adalah sesuatu yang tidak bisa dilukiskan dengan kata. Rasa kembali ke sumber, dari mana para leluhur karmelit berasal adalah limpahan berkah tak terkira.

Di puncak Gunung Karmel
Masih dari bagian ziarah yang sungguh membuat saya bahagia adalah boleh tinggal di “Bukit Sabda Bahagia” selama 5 hari. Setiap pagi sebelum memulai perjalanan ziarah, saya sempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar Gereja Sabda Bahagia, memandang Danau Galilea. Membayangkan dahulu kala Yesus kerap berada di sana dan para murid berkerumun mendengarkan. Membayangkan bahwa saya adalah salah satu dari mereka merupakan khayalan yang menjadi kenyataan.

Dan tentu saja pengalaman ke Betlehem. Awal dari semua karya penyemalatan ini dikerjakan. Ketika allah rela merendahkan diri dan menjadi manusia. Lahir dalam segala kesederhanaannya.

di Betlehem, di tempat kelahiran Yesus
Perjalanan ziarah itu sendiri seperti mimpi. tak pernah terencakana bahwa saya akan ke sana. Kalau saja paroki tidak meminta saya agar bersedia menajdi bapa rohani ziarah, tentu saya tidak ke sana. Dan saya tidak memperhatikan hari-hari yang akan saya lewati di sana. saya menjalaninya sebagai rahmat yang mesti dinikmati tanpa banyak berpikir dan bertanya.

Bahwa boleh berjalan di tenah tempat dahulu Tuhan sendiri berjalan. Duduk memandang danau di tempat dulu Sang Guru agung dulu sering duduk mengajar, adalah nikmat yang hanya bisa diberi oleh Sang pemberi nikmat. 

Itu adalah tiga atau bahkan empat bagian dari sekian banyak tempat yang kami kunjungi dalam ziarah yang begitu menyentuh.  Bagian dari perjalanan ziarah yang membuat perjalanan itu adalah satu peritiwa terindah pada 2018 yang boleh saya alami. Yang mungkin tidak terulang lagi. Ataupun kalau bisa mengulang ke sana, segala peristiwa dan rasa yang boleh ada bisa jadi akan berbeda.

Peristiwa tersedih pada tahun 2018 adalah kehilangan bapak tercinta. Kehilangan adalah tetap sebuah kehilangan, bagaimanapun caranya. Saya bisa bercerita secara dramatis untuk menggambarkan kesedihan itu, tetapi hanya akan menambah lelehan air mata belaka.
Kehilangan orang terdekat, orangtua atau saudara, sebenarnya sudah lama saya persiapkan. Dalam banyak kesempatan saya kerap bertanya kepada diri sendiri, seandainya tiba-tiba mendapat kabar bahwa salah satu dari mereka berpulang, apakah yang akan saya lakukan? Saya sering bertanya seperti ini karena jauh. Samudra yang luas memisahkan kami.

Kegembiraan orangtua saat anak-anak dan para cucu berkumpul
Maka ada beberapa hal yang saya lakukan sebagai persiapan. Salah satunya adalah menggunakan setiap kesempatan yang diberikan semaksimal mungkin. Maksudnya, kalau saya sedang berlibur, saya hanya menghabiskan waktu bersama orangtua saya di rumah. Saya tidak menggunakan waktu itu untuk jalan-jalan atau berwisata.  Akibatnya, saya kerap dicap orang yang sombong, yang tidak mau berkunjung ke rumah teman atau kerabat. Ya itu saya terima saja, karena setiap pilihan pasti ada akibatnta. Dan saya memilih untuk mendekam di rumah bersama bapak ibu saja. Menikmati kebersamaan yang ada, yang tidak setiap hari saya miliki.

Semakin lama situasinya makin menggores di hati karena orangtua say asemakin tua dan terutama bapak saya kondisinya tidak sehat lagi. Memang beliau tidak pernah mengeluh di hadapan saya. Tetapi ibu dan adik saya bercerita bagaimana kondisinya kalau saya tidak ada di rumah. Yang dikeluhkan kerapkali hanyalah soal linu dan sakit tulang belaka. Tidak tahan duduk terlalu lama dan ingin berbaring saja. Biasanya setelah pergi ke dokter sakit itu akan sembuh. Saya tahu bahwa bapak hanya diberi obat penahan rasa sakit tanpa dicari tahu dengan benar sumber sakitnya dan diobati sakitnya apa.

Maka pada saat liburan saya yang terakhir (tahun ini), saya tepatkan dengan rencana menghadiri tahbisan Romo Arief SMM. Saat itu saya merasakan kondisi yang berbeda. Tetapi rasa itu tidak bisa diungkap menjadi sebuah kata. Kondisi bapak yang semakin menurun. Bahkan sudah berhenti merokok. Sesuatu yang dulunya mustahil untuk dilakukan. Karena menurut pengakuannya, merokok hanya menambah rasa sakit belaka. Namuan demikian, beliau tetap berusaha menunjukkan kegembiraan karena berkumpul dengan anak-anak dan para cucu.

Puncaknya, pada saat saya merayakan ulang tahun. Karena kebetulan kok ya ulang tahun saya itu jatuh pas saya sedang liburan. Sesuatu yang tidak pernah terjadi semenjak saya meninggalkan rumah 25 tahun yang lalu. Karena ini agak istimewa, maka bapak sedikit ngotot agar para cucu juga dirayakan ulang tahunnya. Maka dibelikanlah 3 buah roti tart dengan masing-masing nama dan lilinnya. Saya sendiri meminta tumpeng dan bubur merah putih.
di pusara makam bapak

Itu terjadi pada awal September. Akhir September bapak saya masuk rumah sakit dan kemudian berpulang ke rumah Bapa pada 30 September. Seperti yang saya singgung di atas. Peristiwa ini sudah saya antisipasi cukup lama. Meski demikian, ketika saat itu tiba, saya pun tak kuasa menahan rasa. Duka itu begitu dalam. Meski saya tidak ingin terus menerus terkungkung dalam rasa sedih, tetapi tak bisa saya pungkiri, hidup saya ada yang berbeda.


Sahabat, dua peristiwa ini menandai kehidupan saya di tahun 2018. Ada suka cita, namun ada pula duka yang cukup mendalam. Semua terjalin menjadi satu, memberi satu pelajaran yang harus saya tahu; meskipun tak sepenuhnya saya mengerti, toh saya mesti jalani.
Jalinan perjalanan hidup saya memang jauh dari apa yang saya bisa rencanakan dengan jeli. Bukannya saya tidak cermat atau kurang akurat dalam menghitung setiap kemungkinan yang lewat. Tetapi semua peristiwa itu seperti menjadi jawaban atas setiap hela refleksi yang sepanjang tahun ini boleh saya panjatkan, “jadilah kehendak-Mu…”
Penggalan doa Bapa Kami ini saya sisipkan dalam setiap helaan doa. Setiap kali saya berlutut sehabis mengangkat hosti dan anggur yang menjadi Tubuh dan Darah Kristus, saya hanya menghela pelan, “Tuhanku dan Allahku, jadilah semua kehendak-Mu.”
Helaan doa yang selalu saya tutup dengan sebuah permohonan, “ampunilah aku”. Menjadi satu-satunya doa yang saya panjatkan setiap kali saya berlutut setelah mengangkat Tubuh dan Darah Kristus setelah nyanyian Anak Domba Allah.
2018 sesaat lagi akan berlalu. 2019 akan datang. Senang atau tidak, cerita kehidupan ini harus terus berjalan. Saya sadar sepenuhnya, banyak hal tidak lagi sama. Tokoh-tokoh yang dulu terlibat dalam pembentukan karakter cerita hidup saya, kini sebagian sudah tidak ada lagi. Tetapi perjalanan yang seumpama misteri ini mesti tetap dijalani. Meski nyeri dan terkadang datang silih berganti tetap harus ditaati. Karena tidak selamanya nyeri yang datang, ada pula bahagia dan rasa senang yang datang berhimpitan. Pada akhirnya, semua bersama-sama mencoba merangkai cerita yang baru, mewujudkan kehendak Ilahi yang mungkin akan tersaji. Karena ini masih bukan cerita saya dan kehendak saya. Doa sayapun masih tetap sama “… jadilah kehendak-Mu, di atas bumi seperti di dalam surga…”.  
Tuhan memberkati.
Hong Kong,
31 Desember 2018
15:53 pm

Comments

Salam kenal romo, kunjungi blog saya juga romo www.blogevan.com. Terima kasih
sachchitlabare said…
T-Shirts - T-Shirt.com - The T-Shirt
T-Shirts · T-Shirts · T-Shirts · T-Shirt.com titanium sia · T-Shirts.com · T-Shirts.com. microtouch titanium T-Shirts.com. titanium joes T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. polished titanium T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. T-Shirts.com. how much is titanium worth

Popular Posts