Dempo Fair XXXI
Harmony Nusantara itu tema DF ke-31. Menjadi Indonesia danmengangkat budaya bangsa ke tingkat yang lebih tinggi, itulah semangat di balik pemilihan tema. Aneka permainan daerah, makanan daerah diusung untuk memeriahkan acara tersebut.
Saya mencoba melihat dari beberapa aspek dan fenomena yang menarik.
Rumah Tuhan kalah menarik dengan Rumah Hantu
Setiap Dempo Fair, terlebih akhir-akhir ini, para frater Karmel senantiasa membuka stan. Malam tadi stan yang mereka buka dinamai 'Rumah Tuhan'. Ternyata stan ini "ga laku" padahal dibuka gratis, bahkan kalau masuk dikasih permen, dikasih gambar. Tetapi ga laku. Sementara ada 7 rumah hantu yang membuka stan. Antrian di rumah hantu ini begitu panjang dan padat. Mulai dari Wingit Gentanyangan, Angker Watu, Lingsir Wengi, dll. Untuk masuk ke rumah hantu para pengunjung harus merogoh kocek rata-rata 10.000,-an. Meski demikian pengunjung padat dan rela mengantri.
Akhirnya menjelang jam 9 para penjaga rumah Tuhan menyerah. Mereka meringkas tempat pamerannya dan melepas jubah,lantas membaur dengan penonton untuk menikmati sajian di panggung utama.
Mengapa rumah hantu lebih menarik dari rumah Tuhan? Itu pertanyaan yang muncul. Mungkin rumah Tuhan tidak memberi tantangan. Tidak menambah daya juang, atau memang sekarang ini rumah Tuhan tidak diminati lagi. Mereka lebih menyukai rumah hantu, yang gelap, serem, dan mahal harganya.
Yang Daerah Yang Menawan
Siapa bilang kesenian daerah kalah menarik dari pada kesenian import? DF XXXI membuktikan bahwa kesenian daerah sangat menarik jika dikemas dengan baik. Betapa terharu dan bangganya saya tatkalamelihat anak-anak menarikan secara medley tarian Saman dari Aceh, tarian piring dari Padang, hingga tarian Ondel-Ondel dari Jakarta, dan tarian Kecak dari Bali. Gerak Ritmis tari Saman dipadu dengan lenggak gemulai tarian Jawa, serta energiknya tarian dari Kalimantan (saya ga tau namanya, tapi iringannya lagu Ampar-ampar Pisang). Betapa luwes gerakan mereka. Dan ribuan anak muda yang memadati hall lapangan basket Dempo, tempat panggung utama DF digelar, dibuat terpana dengan penampilan mereka. Sungguh mereka telah membuktikan bahwa tarian daerah tidak kalah dengan breakdance dari manca negara.
Harapan
Bagaimanapun DF itu hanya semalam. Kerja keras panitia selama 3 minggu ini mestinya tidak hilang hanya semalam. Semangat untuk mengangkat budaya lokal ke tingkat global jangan berhenti hanya dengan berakhirnya DF.
salam
Saya mencoba melihat dari beberapa aspek dan fenomena yang menarik.
Rumah Tuhan kalah menarik dengan Rumah Hantu
Setiap Dempo Fair, terlebih akhir-akhir ini, para frater Karmel senantiasa membuka stan. Malam tadi stan yang mereka buka dinamai 'Rumah Tuhan'. Ternyata stan ini "ga laku" padahal dibuka gratis, bahkan kalau masuk dikasih permen, dikasih gambar. Tetapi ga laku. Sementara ada 7 rumah hantu yang membuka stan. Antrian di rumah hantu ini begitu panjang dan padat. Mulai dari Wingit Gentanyangan, Angker Watu, Lingsir Wengi, dll. Untuk masuk ke rumah hantu para pengunjung harus merogoh kocek rata-rata 10.000,-an. Meski demikian pengunjung padat dan rela mengantri.
Akhirnya menjelang jam 9 para penjaga rumah Tuhan menyerah. Mereka meringkas tempat pamerannya dan melepas jubah,lantas membaur dengan penonton untuk menikmati sajian di panggung utama.
Mengapa rumah hantu lebih menarik dari rumah Tuhan? Itu pertanyaan yang muncul. Mungkin rumah Tuhan tidak memberi tantangan. Tidak menambah daya juang, atau memang sekarang ini rumah Tuhan tidak diminati lagi. Mereka lebih menyukai rumah hantu, yang gelap, serem, dan mahal harganya.
Yang Daerah Yang Menawan
Siapa bilang kesenian daerah kalah menarik dari pada kesenian import? DF XXXI membuktikan bahwa kesenian daerah sangat menarik jika dikemas dengan baik. Betapa terharu dan bangganya saya tatkalamelihat anak-anak menarikan secara medley tarian Saman dari Aceh, tarian piring dari Padang, hingga tarian Ondel-Ondel dari Jakarta, dan tarian Kecak dari Bali. Gerak Ritmis tari Saman dipadu dengan lenggak gemulai tarian Jawa, serta energiknya tarian dari Kalimantan (saya ga tau namanya, tapi iringannya lagu Ampar-ampar Pisang). Betapa luwes gerakan mereka. Dan ribuan anak muda yang memadati hall lapangan basket Dempo, tempat panggung utama DF digelar, dibuat terpana dengan penampilan mereka. Sungguh mereka telah membuktikan bahwa tarian daerah tidak kalah dengan breakdance dari manca negara.
Harapan
Bagaimanapun DF itu hanya semalam. Kerja keras panitia selama 3 minggu ini mestinya tidak hilang hanya semalam. Semangat untuk mengangkat budaya lokal ke tingkat global jangan berhenti hanya dengan berakhirnya DF.
salam
Comments