Humanist is not enough
Di sebuah kota ada seorang yang sangat kaya bernama Tuan Laparjaya.
Dia terus memburu kekayaan dan ketenaran. Ketika kekayaannya sudah melimpah
ruah, dia membangun sebuah gedung pertunjukkan untuk kota tersebut. Harapannya
satu, seluruh kota akan mengenal dia dan mengenang dia. Hal itu ditulis di
sebuah batu prasasti. Nama orang tersebut menjadi sangat terkenal, bukan saja
sebagai orang yang selalu lapar akan kejayaan, tetapi orang yang baik hati
terhadap kota karena telah membangun gedung pertunjukkan itu. Tuan tersebutpun
menikmati kejayaannya. Sungguh, dia sangat terkenal.
Beberapa tahun kemudian muncul orang kaya baru bernama “Tuan
Dahagasukses”. Dia memiliki usaha yang jauh lebih sukses dibandingkan tuan Laparjaya. Pada suatu kesempatan dia
merenovasi gedung pertunjukan di kota tersebut. Dia bahkan membangun ulang
dengan yang lebih hebat. Dan akhirnya yang lebih terkenal adalah tuan
Dahagasukses, bahkan pelan-pelan nama tuan Laparjaya mulai tenggelam dan
hilang.
Kisah di atas senada dengan kisah di dalam Injil. Di mana ada orang
kaya yang sedang memikirkan untuk membangun gudang yang baru bagi harta
kekayaannya. Gudang yang ada sekarang sudah tidak mencukupi lagi. Pemikirannya
hanya satu, ketika gudang baru nanti sudah selesai dibangun, dia bisa
beristirahat. Dia membayangkan bahwa hidupnya akan sangat bahagia karena sudah
menyimpan banyak harta. Tetapi naas, pada malam itu dia mati dan tidak ada
harta yang bisa dibawanya.
Sahabat, kedua kisah diatas memberi pesan yang sama. Yaitu, apakah
yang menjadi perhatian utama hidup kita? Apakah yang terpenting dalam hidup
kita? Harta? Nama baik? Ketenaran? Kemasyuran? Ataukah kasih Allah? Kedua kisah
di atas juga memiliki pesan “simpanlah harta terbaikmu dan segala ketenaranmu
(nama baik) di dalam surga”. Di sana tidak akan ada orang yang akan
merusakkannya. Di sana tidak akan ada yang merenggut ketenaran dan nama
baik. Di dunia ini harta bisa hilang
dalam sekejap. Nama baik bisa hancur dalam hitungan menit. Namun, jika disimpan
di dalam surga, keduanya akan abadi.
Sahabat, memahami hal yang paling penting dalam hidup manusia
berarti memahami tujuan manusia diciptakan. Bersama Santo Ignatius Loyola kita
memahi tujuan manusia diciptakan yaitu untuk memuji, menghormati serta mengabdi
Allah. Sedangkan barang-barang ciptaan yang lain dipergunakan untuk menolong
manusia mencapai tujuan tersebut. Maka barang-barang digunakan sejauh itu
menolong manusia untuk lebih memuliakan Allah. Yang diperlukan adalah sikap
lepas bebas. Sikap lepas bebas terhadap barang-barang ciptaan itu seperti apa?
Berikut contohnya: tidak memilih kesehatan lebih dari pada sakit, tidak
mengharapkan kehormatan tidak lebih daripada penghinaan, tidak mengharapkan
umur panjang lebih daripada umur pendek, dan seterusnya. Sikap yang lepas bebas
terhadap segala sesuatu karena hanya mau berpusat kepada Allah.
Kenyataan yang ada di dalam mayarakat kerap sebaliknya. Banyak orang
mengejar barang-barang ciptaan dan melupakan Tuhan. Atau, ada yang tidak
terang-terangan mengejar barang-barang ciptaan, tetapi tetap tidak menjadikan
Tuhan sebagai yang utama. Mereka ini biasanya berprinsip demikian: asal aku
sudah berbuat baik, asal aku tidak menyakiti orang lain, asal aku menolong
orang, dst, itu cukup. Maka mulai banyak orang meninggalkan agama, meninggalkan
doa, meninggalkan Tuhan dengan alasan sudah berbuat baik. Mereka beralasan:
dari pada pergi ke Gereja tetapi membicarakan kejelekan orang lain, ngegossip,
mendingan di rumah. Dari pada rajin berdoa tetapi tidak peka akan kebutuhan
sesama, mendingan di rumah saja tetapi aktif bersosial, dst. Ada juga yang
berdalih demikian: saya bisa berdoa sendiri di kamar, lebih enak, lebih
leluasa. Apakah mereka yang pergi ke Gereja lebih suci daripada yang tidak? Dst.
Sahabat, pergi ke gereja untuk beribadah bersama adalah salah satu
bentuk kerendahan hati. Seperti seorang pemuda yang mengunjungi kekasihnya. Dia
bisa bertemu dengan kekasihnya di mana saja, tetapi tempat yang paling pas
untuk bertenu adalah di rumah kekasihnya. Dibutuhkan kerendahan hati untuk mau
mengunjungi rumah kekasih. Harus menyediakan waktu khusus, harus mengorbankan
pekerjaan yang menumpuk, harus rela bertemu dengan orang-orang yang kurang
menyenangkan. Tetapi karena sang kekasih jauhhhhh lebih menarik, maka mengunjungi
kekasih di rumahnya tetaplah menyenangkan. Bukankah Allah adalah kekasih sejati
kita? Maka menemui Dia di rumah-Nya akan sangat menyenangkan Dia. Ada banyak
hal yang mengganggu, tetapi kalau kita hanya berpusat kepada Dia, hal yang
mengganggu tidak akan berarti lagi.
Bagaimana dengan kaum humanis yang menyatakan bahwa berbuat baik
saja cukup? Sahabat, berbuat baik saja tidak cukup. Memiliki kepedulian sosial
yang besar akan sesama saja tidak cukup. Yang harus dibuat adalah menjadikan
Allah sebagai pusat hidup kita. Sedangkan segala perbuatan baik mengalir dari
pergaulan mesra dengan Allah. Berbuat baik yang mengalir dari persatuan dengan
Allah akan lebih berdaya guna jika dibandingkan dengan perbuatan baik yang
keluar dari kemanusiaan belaka. Sikap yang demikian tidak akan mudah
dipatahkan. Kalau tidak mendapat pujian tidak akan kecewa, kalau tidak mendapat
balasan tidak akan marah, dst. Karena bukan itu yang dicari, bukan ketenaran
dan nama baik. Yang dicari adalah kemuliaan Allah.
Inilah harta sejati yang tidak akan mudah hilang. Kasih Allah yang
tertanam dalam hati. Kasih Allah yang terungkap dalam hubungan dengan sasama.
Kasih Allah yang tulus yang tidak akan luntur meskipun tidak mendapatkan
penghibur. Kasih yang akan terus bersemangat meskipun ada cobaan datang
menyengat.
Comments
...dan Allah mungkin tidak tinggal diam di dalam ruang bernama gereja...
...dan mungkin mengakui serta memahami bahwa tiap manusia memiliki cara masing2 untuk bertemu tuhannya adalah bentuk kerendahan hati juga...