Pergilah... Kamu diutus (Seri Hati yang terbakar, bag 4, selesai)
Catatan ini terselip entah ke mana.
Saya mengira bahwa sudah mempostingnya tahun lalu, ketika seri ini selsai saya buat.
Rupanya saya membuat dan memebrikan untuk kepentingan lain (untuk Warta KKI Melbourne dan Buletin PDKKI Melbourne). Saya mengira sudah memposting juga di sini, ternyata belum.
Senyampang memposting draff tulisan yang 'nyantol' saya posting juga tulsian ini, sebagai 'arsip'.
Semoga berguna.
.......
HATI
YANG TERBAKAR :
Pergilah…
Kamu diutus!
(bagian
4 dari 4 tulisan)
………
Saudara terkasih,
bagian terakhir dari catatan ini, bagian terakhir dari perayaan Ekaristi, juga
bagian terakhir dari kisah perjalanan dua murid yang pulang ke Emaus. Bagian
yang kerap kali tidak mendapat perhatian. Bagian yang kerap kali dilewatkan.
Mungkin saya sedikit berlebihan; tetapi mari kita lihat kenyataan yang kerap
muncul. Banyak umat yang pulang setelah menerima komuni. Banyak umat yang tidak
memperhatikan bagian terakhir dari Ekaristi. Banyak umat tidak sadar dengan
tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah itu? Perutusan.
Sahabat, mari kita
lihat sejenak apa yang terjadi dalam bagian akhir Ekaristi. Setelah memberikan
berkat, imam berkata, “pergilah kamu diutus”. Singkat. Jelas. Apakah
dijalankan? Itu persoalan lain. Sebelum
memahami apakah perutusan itu dilaksanakan atau tidak ada baiknya kita
perhatikan persoalan lain. Pertama, mengapa kita diutus? Hal kedua, diutus untuk
apa? Melakukan apa?
Sahabat, mari kita
tengok yang terjadi dengan para murid. Apa yang mereka alami semuanya telah
berubah. Kehilangan yang sempat membuat hidup mereka tak tentu arah itu kini
tidak lagi melemahkan. Mereka telah menemukan jawaban bahwa kehilangan itu
adalah jalan untuk memperoleh sesuatu yang baru. Hidup baru. Rumah mereka,
kampung mereka, bukan lagi ruangan kosong. Tamu yang mereka undang masuk telah
mengubah semuanya. Telah memberi penerangan pada rumah mereka. Telah
menghangatkan dinginnya dinding-dinding hati mereka.
Dua murid yang
mengawali perjalanan dengan kepala tertunduk, kini saling memandang dengan
sorot mata bercahaya. Orang asing yang tiba-tiba menyapa mereka di jalan, kini
telah menjadi sahabatnya. Bukan hanya menjadi sahabat, Ia telah memberikan semangat-Nya, memberikan
kegembiraan ilahi, cinta, damai, kekuatan, dan harapan. Kini tidak ada keraguan
lagi dalam pikiran dua murid. Dia hidup!
Ya, Dia hidup. Tidak
hidup seperti sebelumnya, tidak hidup sebagai pengajar yang luar biasa dan
penyembuh hebat dari Nazareth. Tetapi, Dia hidup dalam nafas baru, dalam diri
mereka. Cleopas dan temannya telah menjadi manusia baru. Semangat baru dan hati
yang baru telah dianugerahkan kepada mereka. Mereka kini telah menjadi sahabat
yang baru satu sama lain. Mereka bukan lagi sahabat yang hanya berbagi duka dan
kesedihan. Sekarang mereka memiliki sesuatu yang baru, sesuatu yang sangat
besar; itu menjadi misi mereka. Sesuatu yang tidak bisa disembunyikan lagi, sesuatu
yang harus diproklamasikan, harus dikatakan. Kegembiraan yang mereka miliki,
tidak akan dipercaya kalau hanya disampaikan oleh satu orang. Kegembiraan adan
pengalaman iman itu akan didengar dan diamini ketika mereka mengatakannya
bersama-sama.
Kapan harus
mewartakan? Tidak ada waktu lagi untuk berpikir dua kali. Tidak ada kesempatan
untuk disia-siakan. “Mari cepat”. Mereka berkata satu sama lain. Kemudian
secepat kilat, mereka mengambil sandal, obor, hanya berselempang sarung, lupa
pakaian hangat; mereka berlari kembali ke kota menemui teman-teman lamanya di
Yerusalem. Mereka harus mendengar kegembiraan ini. Mereka harus tahu bahwa Dia
hidup!
Sungguh ada
perbedaan besar diantara kembali ke kota dengan tatkala mereka berjalan pulang.
Sebelumnya mereka penuh kesedihan dan ketakutan, juga keraguan. Sekarang tidak
adalagi takut, tidak ada lagi keraguan. Yang ada adalah kegembiraan untuk
dibagikan.
Bagian akhir dari
Ekaristi juga menyiratkan hal ini. Pergilah dan wartakanlah, kamu diutus. Diutus
untuk mewartakan kegembiraan hidup. Hidup yang telah diubah dan dibaharui oleh
Tuhan. Kesedihan dan luka-luka yang kita bawa dalam Ekaristi telah dibilas
bersih dengan Sabda Tuhan. Lebih dari itu, kita juga telah dikuatkan oleh
dantapan Tubuh dan Darah-Nya sendiri.
Komuni bukanlah
akhir. Sayangs ekali bahwa ada banyak umat dating ke perjamuan hanya mencari
komuni. Maka banyak di gereja-gereja, umat pulang setelah komuni. Belum, ini
belum berakhir. Perutusan inilah akhir dari perjamuan. Kita diutus untuk apa?
Kita diutus untuk mewartakan kabar gembira. Kita diutus untuk menjadi garam dan
terang bagi dunia. Hidup baru yang bersumber dari Ekaristi harus kita bawa ke
dalam dunia. Dia yang hidup, yang dialami oleh para murid, haruslah dirasakan
oleh dunia. Itulah perutusan kita, membuat masyarakat di mana kita hidup
menjadi lebih ‘gurih’. Masyarakat yang mengalami kegelapan mampu merasakan
terang.
Penutup
Saudara
terkasih, Ekaristi memiliki makna ucapan syukur. Sebuah hidup yang didasarkan
pada Ekaristi adalah hidup yang penuh dengan rasa syukur. Kisah mengenai dua
orang murid yang pulang ke Emaus, yang juga adalah kisah kita ini,
menggambarkan bahwa rasa syukur tidak bisa muncul begitu saja. Dibutuhkan
keberanian untuk masuk lebih dalam ke dalam misteri iman. Aneka pengalaman
pahit kerap membawa kita kepada rasa marah dan dendam. Ketika kita hanya
melihat setiap peristiwa dari kulitnya saja, kita tidak akan menemukan apa-apa.
Yesus memberi kita Ekaristi agar kita bisa masuk ke dalam hidup penuh syukur.
Ekaristi mengajari kita berseru mohon belas kasih Allah, mengajar kita untuk
mendengarkan suara Tuhan, dan memberi kita sebuah kesempatan untuk mengundang
Dia masuk ke dalam rumah kita. Pada akhirnya, kita masuk ke dalam persekutuan
dengan-Nya, dan keluar untuk mengabarkan kegembiraan itu. (selesai)
Tuhan
memberkati
Port
Melbourne, 25 Juni 2012
Romo
Waris, O.Carm
Comments