Mencintai SALIB
Sahabat, sudah beberapa minggu ini pikiran saya selalu diisi dengan kata SALIB. Bemula dari ruang kelas di saat saya menghadapi ujian, kemudian mengikuti dan memberi refleksi ibadat jalan salib, mengajak saya untuk melihat lebih jelas SALIB yang sesungguhnya dalam hidup harian saya.
Sebelum melangkah lebih jauh baik kalau kita sadari bahwa setiap orang memiliki SALIBnya sendiri, memiliki persoalan hidup sendiri-sendiri. Ada yang berat ada yang sedikit ringan, ada yang besar ada yang relatif kecil. Tetapi kita tidak bisa membandingkan begitu saja SALIB setiap orang.
Misalnya: ada orang yang memiliki persoalan dalam keluarganya. Relasi antara orangtua dan anak-anak tidak bagus. Ada yang memiliki persoalan di dalam tempat kerjanya. Entah persoalan antar teman, dengan atasan atau bawahan, atau persoalan mencari pekerjaan. Yang lain memiliki persoalan dalam menemukan makna yang mendalam dalam hidup mereka, karena mereka seolah hidup tanpa arah, tanpa makna, melangkah tanpa tujuan bak daun kering tertiup angin.
Ada banyak sekali persoalan, ada banyak sekali SALIB. Jika kita membuat daftar dalam buku harian kita, akan menghasilkan berhalaman-halaman daftar yang semakin hari semakin panjang.
Bagaimana dengan saya sendiri? Saya akan menceritakan sedikit saja salib yang saya panggul ini. Saat ini SALIB terbesar dan terberat adalah belajar bahasa Kanton. Hampir seluruh waktu saya tercurah ke sana, tetapi hasilnya belumlah seberapa. Hal ini yang membuat beban salib ini terasa lebih berat. Dulu saya masih sering membuat tulisan, membuat ini dan itu, tetapi sekarang hampir semuanya terhenti dan terpusat pada belajar bahasa kanton, tetapi hasilnya belum seberapa.
Sudah setahun lebih saya belajar, tetapi sekali lagi hasilnya belum seberapa. Bahkan dalam percakapan sehari-hari saja banyak istilah yang tidak saya mengerti, belum mampu saya hafalkan meski sudah diajarkan. Sekali ini, ini membuat beban menjadi semakin berat.
Selama setahun yang lalu, ketika saya mulai belajar bahasa Kanton, saya tinggal di biara Maryknoll. Di sana tinggal romo-romo dari Amerika yang membuat kami berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Di sana saya seperti menemukan tempat persembunyian. Saya tidak harus bercakap-cakap dalam bahasa Kanton. INILAH PERSOALANNYA. Saya belajar bahasa tetapi menghindar untuk menggunakannya.
TAKUT. Mungkin ini istilah yang pas untuk menggambarkan kondisi yang saya alami. Takut mendapati kenyataan bahwa saya tidak mengerti, takut mendapati kenyataan bahwa orang lain akan tahu bahwa saya tidak tahu, takut bahwa saya akan dianggap "bodoh". Dan sebenarnya, ini ketakutan yang tidak berdasar. Ketakutan yang entah datang dari mana, tetapi begitu kuat menguasai.
SAYA HARUS KELUAR.
Ya, saya harus keluar dari ketakutan itu. Bagaimana caranya? Hadapi saja. TIDAK ADA PILIHAN. hadapi saja. BERBICARA ITU GAMPANG TETAPI MELAKUKAN ITU SUSAH!!! Itu yang saya alami. Kepala saya mengatakan, "Kamu harus segera keluar dari biara itu, pindah ke paroki yang membuat kamu bisa bertemu dengan banyak orang, yang membuat kamu memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan banyak orang, dengan itu bahasa kantnmu perlahan-lahan akan membaik."
Namun hati saya berbisik, "apa kamu sanggup? apa kamu yakin bisa bercakap-cakap dengan mereka? apa kamu nggak akan malu?..."
Hati dan kepala saya berkelahi saling mencari perhatian. Pada awalnya hati saya menang. Saya menunda tinggal di paroki. Pada akhirnya TIDAK ADA PILIHAN, saya tidak bisa menunda lagi dan saya pindah ke paroki. Setelah pindah ke paroki, saya mendapati bahwa semuanya baik-baik saja, saya mendapati banyak kesulitan tetapi juga banyak keuntungan di sisi lain.
Sahabat, pengalaman bergulat mengahdapi bahasa Kanton telah mengajari saya dalam menghadapi masalah, persoalan, beban, atau SALIB. Setidaknya ada tiga langkah yang bisa dibuat untuk menghadapi SALIB.
1. Menerima SALIB tersebut
2. Merangkul SALIB tersebut
3. Mencintai SALIB tersebut.
Ketika saya belum mampu menerima SALIB saya, keadaannya samngat kacau, semua terasa berat. tetapi ketika saya mulai menerimanya, perlahan-lahan beban itu terasa berkurang beratnya. beban itu masih ada, kesulitan itu masih besar, tetapi ketakutan itu mulai hilang.
Menerima SALIB berarti menerima kenyataan, menerima situasi, dan menerima siapa diri kita. Ada orang yang mampu membawa salib seberat 100kg, ada yang hanya mampu membawa 50kg, atau hanya 10kg saja. Saya menyadari bahwa kemampuan saya (mungkin) hanya membawa 10kg saja. Maka kalau di depan saya ada 1000kg SALIB, butuh 100 kali untuk membawanya. bagi yang lain, yang mampu membawa 100kg, bagi mereka cukup 10 kali saja memanggul salib.
Kalau saya memaksa membawa 50kg atau 100kg, mungkin saya mampu pada langkah awal, tetapi saya akan jatuh dan (mungkin) lumpuh tertimpa beban itu.
Menerima SALIB berarti menyadari kenyataan akan besarnya salib dan besarnya kemampuan dalam memanggul, Selanjutnya setia untuk terus memanggul.
Ini yang saya maknai sebagai MERANGKUL SALIB.
Saya belajar dari Yesus saat terjatuh di jalan saat memanggul salib. Yesus jatuh sampai tiga kali. tetapi yang dilakukan oleh Yesus adalah memeluk salib tersebut, memanggulnya kembali dan meneruskan perjalanan. Saya juga mengalami berkali-kali jatuh tertimpa salib, jatuh karena merasa mampu membawa beban yang berat nyatanya saya gagal, saya terjatuh. Belajar dari Yesus, saya mencoba merangkul salib tersebut dan kembali meneruskan perjalanan.
Sampai kapan saya harus merangkul SALIB? Saya tidak tahu. Tetapi ketika kita setia merangkul SALIB, akan ada "Veronika" atau "Simon dari Kirene" yang akan datang meringankan. Tetapi tetap, beban utama SALIB itu menjadi tanggungjawab kita. Orang lain hanya akan mengelap peluh dan membantu mengangkat, tetapi tanggungjawab itu ada pada diri kita.
tahap berikutnya adalah mencintai SALIB. Tahap ini akan datang dengan sendirinya ketika kita mampu setia merangkul dan memanggul SALIB kita. Percayalah, saat kita mampu mencintai SALIB itu, sebenarnya salib itu tidak akan menjadi beban lagi, karena salib itu telah menjadi bagian diri kita.
PENTINGNYA SALIB
Apakah memang SALIB itu begitu penting?
Saya belajar dari YESUS bahwa Salib itu memiliki makna penting. Salib dan penderitaan Yesus, yang kemudian membawanya kepada kematian menjadi berarti karena ada kebangkitan. Tanpa sengsara dan kematian, tidak ada kebangkitan. Sebaliknya, jika tidak ada kebangkitan, maka sia-sialah sengsara dan kematian itu.
Maka, SALIB dalam hidup kita itu menjadi berarti kalau kita nanti pada akhirnya juga mengalami kebangkitan. Kalau Salib itu membawa kita menjadi manusia baru yang diubah oleh salib itu. Ketika hidup kita tidak ada yang baru, kita tidak belajar apa-apa dannnnnn CINTA KITA KEPADA TUHAN tidak semakin besar, maka SIA-SIALAH salib yang kita rangkul itu.
Salib menjadi berarti ketika kita satukan dalam Salib Tuhan, dan terlebih lagi ketika kita membiarkan diri mati bersama Kristus dan akhirnya bangkit kembali, memperoleh kehidupan baru.
Sahabat, saat menulis catatan singkat ini saya mendengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Grezia. Dia adalah gadis kecil yang (mungkin) buta sejak lahir, namun dikaruniai suara yang sangat merdu. Dia menyanyikan lagu berjudul "Walau aku tidak dapat melihat". Sejenak saya diajak untuk menyadari bahwa kerap kali saya tidak mampu melihat rencana Allah, aku juga tidak mampu berharap karena Yesus yang menjadi harapanku telah "mati" di salib, namun aku tetap diajak untuk memandang Allah, karena Dia selalu ada.
Kusadar tak semua dapat aku miliki
di dalam hidupku
hatiku percaya rancanganMu bagiku
adalah yang terbaik
Walau ku tak dapat melihat semua rancanganmu tuhan
Namun ahtiku tetap memancang padaMu
Kau tuntun langkahku
....
Hong Kong, 03/04/2015
Jumat Agung
Comments