Ajari kami berdoa...
Malam itu, selesai mempersembahkan Ekaristi, seperti
biasanya aku menuju halaman samping pastoran. Biasanya senyam-senyum sebentar
dengan umat, kemudian masuk ke dalam lift dan kembali ke kamar. Namun malam itu
langkahku tertahan. Seorang ibu datang mengajukan pertanyaan. Sebelum bertanya
dia mengungkapkan sedikit pujian. Soal ini tidak penting untuk dituliskan. Mari
kembali fokus kepada pertanyaan.
Oh iya, sebelum memahami pertanyaannya, sebaiknya saya
gambarkan sedikit latar belakangnya. Ibu ini seorang musisi profesional,
tepatnya pianis, dan penyanyi profesional. Seingatku sudah dua kali ini
menemuiku. Yang pertama bertanya soal kemampuanku berbahasa kantonis. Aku jawab
dengan jujur bahwa kemampaunku masih hancur lebur. Meskipun sudah mencoba
belajar dengan teratur. Toh belum pandai dalam bertutur. Kerapkali homili masih
melantur. Kali ini beliau datang lagi dan berkata bahwa kantonisku sudah mulai
lumayan. Setidaknya dia bisa sedikit memahami. Syukur! Dan lagi, dia memuji
suaraku. Aduh, kok tertulis di sini. Dia bilang suaraku bagus banget. Ini jelas
85% tidak benar. Hanya untuk menghiburku saja agar tidak patah semangat. namun
kepadanya aku katakan, dalam bernyanyi (lagu kantonis0 aku tidak dipusingkan
dengan tone! hanya ngablak saja. Kalau dirasa merdu, yahhh, itu pujian saja,
kebenarannya sangat subjektiPPPP!!! pakai P besar dan triple!
Walah kok malah ngelantur. Mari kembali kepada
persoalannya. Ibu ini bercerita perihal sepupunya. Dia bukan Katolik. Namun dia
ingin mengenal Tuhan. Sepupunya ini orang yang mengandalkan akal budi dalam
kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang tidak masuk di akal kerap kali
diabaikannya. Karena baginya, yang tidak masuk akal sama dengan tidak ada!
wuihh serem!
Lalu ibu ini memintaku menuliskan kata-kata doa.
Kata-kata doa yang akan diberikannya kepada sepupunya itu. Walah saya langsung
gelagapan. Bagaimana saya harus menuliskan kata-kata doa? lha wong kata-kata
doa saya juga tidak karu-karuan. Lalu saya mulai bertutur mengenai doa yang
sebaiknya dilakukan.
Doa itu sebuah relasi dua pribadi. Percakapan dari
hati ke hati dari dua pribadi yang saling mencintai. Seperti sepasang kekasih
yang memadu hati. Saling mencurahkan isi hati tak mesti dengan kalimat-kalimat
berarti. Terkadang semua senada bualan namun ungkapan mendalam kepada
kesayangan.
Anda paham? Kalau tidak ya tidak menjadi soal.
Saya lanjutkan. Doa, pertama-tama bukanlah sebuah
metode (duduk, berlutut, berdiri, berbaring, menari, dll), bukan juga soal
kata-kata. Doa pertama-tama adalah soal kerinduan hati. Soal hati yang merindu.
Soal rindu.
Sulit? Ya, sulit! Karena ini soal menjalin relasi
secara pribadi yang sangat intim dengan yang Ilahi. Menjalin relasi dengan yang
insani saja sulit apalagi ini dengan yang Ilahi. Walah, setengah mati!
Bisa dimulai dengan imajinasi. Membayangkan DIA
sebagai sosok pribadi yang nyata, hadir di depan mata, dengan segala
tampilannya yang tak terkira. Jadikan DIA pribadi yang kau puja. Niscaya, pelan
namun nyata, relasi akan mulai tercipta.
Maka doa sebagai sebuah komunikasi dengan Tuhan,
seperti yang diajarkan oleh guru agama sewaktu duduk di sekolah dasar dulu,
sungguhlah relevan. Komunikasi berarti percakapan. Percakapan berarti ada dua
pribadi yang bertukar hati. Satu bicara satu mendengarkan. Satu mengungkapkan,
satu memahami. Maka mari kita praktikkan. Doa sebagai sebuah komunikasi.
Percakapan mempererat hubungan hati. Dari dua pribadi yang saling mencintai.
Maka, kalau saya ditanya, ajari saya berdoa. Jawaban
saya, mari kita sama-sama belajar berdoa. Belajar menjalin kasih dengan-Nya.
Mungkin cara kita berbeda, tetapi tujuannya niscaya sama. Memiliki hubungan
yang manis mesra, dengan yang Kuasa.
salam.
Comments