Encounter the Cross, H-1 (Persiapan)
40 days Lenten Journey
Sebelum berangkat
Sebagai orang
Katolik tentu tidak asing dengan “Masa Pra-Paskah”. Masa 40 hari mempersiapkan
diri menjelang perayaan Paskah. Karena persiapan yang begitu panjang, banyak
orang menyebutnya sebagai masa “Retret Agung”. Bayangkan saja, retret agung ala
Ignasian membutuhkan waktu 30 hari. Nah yang ini membutuhkan waktu 40 hari. Sungguh
bukan sekadar agung, tetapi juga megah dan suci.
Di setiap paroki
biasanya ada kegiatan khusus untuk mengisi masa-masa yang istimewa ini. Ada yang
menyebutnya APP alias Aksi Puasa Pembangunan, ada entah apa lagi sesuai
kebijakan Keuskupan setempat atau paroki setempat. Intinya, masa itu diisi
dengan kegiatan rohani dan aksi nyata agar pantas merayakan Paskah.
Paroki-paroki
yang mengadapakn upacara pembaptisan pada Malam Paskah, masa Pra-Paskah adalah
masa persiapan tahap akhir bagi para calon baptis. Di Hong Kong, di mana
sekarang saya tinggal hal ini sangat terasa. Satu persatu para katekumen
dipanggil, diwawancara, dilihat kelayakannya, bahkan diuji. Kalau dirasa belum
memenuhi standart ya terpaksa harus mengulang.
Bagi saya, masa
40 hari ini sungguh merupakan sebuah peziarahan iman. Perjalanan manusia
berdosa yang ingin mamtutkan diri menyambut kemenangan sejati sebagai manusia
beriman. Sebuah perjalanan, yang disertai jatuh dan bangun untuk mencapai
kepantasan diri bersorak HALELUYA di akhir perjalanan.
Nah peziarahan
iman ini bias juga dilakukan sendiri-sendiri. Meniatkan hati dan segenap
kehendak budi untuk mengisi masa yang maha indah ini dengan sesuatu yang
memberi faidah. Perjalanan iman saya kali ini saya beri judul “Encounter the
Cross”. Bertemu dengan SALIB untuk sampai kepada kemenangan sejati. Beh kok
seperti ngeri-ngeri gosong kurang sedap. Tak tahulah. Yang penting judulnya
mentereng dulu, nanti dalam perjalanan akan kelihatan seperti apa hasilnya.
Sebuah perjalanan
itu kalau dilakukan sendiri saja, rasanya kurang asoy. Rasanya anyep dan kurang
greget. Meskipun sering kali, dalam perjalanan-perjalanan saya, atau lebih
tepatnya sewaktu kluyuran, saya kerap kali sendirian saja. Dan saya bias menikmatinya.Toh
dalam perjalanan kali ini, dalam peziarahan iman ini, saya membutuhkan teman
yang saya harapkan bisa saya jadikan panutuan untuk bisa sampai kepada SALIB
dan tentu saja sanggup membawanya. Teman yang saya pilih adalah Santa Theresia
dari Kanak-Kanak Yesus. Beliau telah menemani saya dalam menyiapkan ruang bagi
Tuhan, “Prepare HIM Room”, pada masa Advent yang lalu. Sekarang saya
mengajaknya lagi melakukan peziarahan iman. Buku-buku yang saya gunakan sebagai
pemandu adalah:
Caster, Gary, The Little Way of Lent – Meditations in the spirit of St. Therese of
Lisieux.
Cincinnati –
OHIO : Servant Books, 2010.
Clearly, John, Lent and Easter – Wisdom from St. Therese of
Lisieux. Liguori, Missouri:
Liguori
Publications, 2014.
Muto, Susan, Twelve Little Ways to Transform Your Heart – Lesson in Holiness and
Evangelization from St. Therese of Lisieux. Notre Dame, Indiana : Ave Maria Press,
2016.
Philippe, Jacques, The Way of Trust and Love, A Retreat Guided
by St. Therese of Lisieux.
Translated by
Helena Scott, New York : Scepter Publishers, Inc., 2012.
Therese of Lisieux, The Autobiography of St. Therese of Lisieux
: Story of a Soul. Translated by
John Clarke, O.C.D,
Washington, DC:ICS Publications, 1996.
________. The Poetry of St. Therese of Lisieux. Traslated by Donald Kinney,
O.CD., Washington,
DC : ICS
Publications, 1995. (saya memilikinya
dalam bentuk pdf)
Tonnelier, Constant, Through the Year with Saint Therese of
Lisieux, Living the Little Way.
Transleted by Victoria Hebert and Dennis Sabourin, Liguori, Missouri
: Liguori Publications, 1998.
Wihhh, kok
kelihatan mentereng? Wekekekek. Yah, maksud hati memang kepengin bisa melakukan
peziarahan bareng kakak tercinta. Eh, khan tua saya ya, kok kakak? Tapi khan
beliau lahir duluan? Sudahlah, saya panggil saja KC terkasih, Theresia Lisieux.
KC itu panggilan saying buat kakak perempuan ala orang Hong Kong. Jadi, saya
berusaha “ngumpulin” sebanyak mungkin sumber, agar bisa berjalan seiring
sejalan. Tetapi kalau ternyata masih slerong sana slerong sini, ya mohon
dimaafkan. Kalau nanti dalam perjalanan saya masih membutuhkan “cemilan” lain,
entah artikel atau buku, pasti akan saya sertakan, akan kalian yang mungkin
tertarik kepengen memperdalam, bisa membacanya lebih jauh.
Pada
Mulanya…
Kiranya masa
mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh sebelum merayakan Paskah bisa
ditelusuri sampai pada Konsili Nicea pada tahun 325. Ted Olsen dalam catatannya
“The Beginning of Lent” yang diunggah di www.christianitytoday.com mengatakan
bahwa masih diperdebatkan apakah memang dari awalnya masa Pra-Paskah itu
berjumlah 40 hari atau baru kemudian hari. Bisa jadi pada awalnya masa
persiapan itu hanya beberapa hari saja, kemudian menjadi beberapa minggu,
hingga menjadi masa 40 hari.
Masih menurut
Ted Olsen, pada awalnya Lenten Season
tidak dimulai pada hari Rabu, tetapi pada hari Minggu. Tepatnya pada minggu ke
40. Atau dikenal sebagai Quadragesima. Baru kemudian Paus Gregorius Agung
(540-604M) memindahkan perayaan itu menjadi hari Rabu dengan upacara pemberian
tanda abu yang kita kenal sebagai “Hari Rabu Abu”. Pemindahan menjadi hari Rabu
itu berarti memiliki dampak hari Minggu tidak dihitung sebagai “masa puasa”.
Sekarang…
Saat ini masa
persiapan Paskah ini sangat kental nuansanya dengan masa puasa, masa
penyangkalan diri. Nahhh, ada banyak tuh yang mencoba berpuasa mengikuti cara-cara
muslim. Atau nggak mau kalah sama puasanya orang Muslim. Mereka khan puasa 30
hari lamanya, maka ada yang berpuasa 40 hari lamanya. Keren juga sih. Namun ahrus
memahami maknanya dan motivasinya.
Tentu ingat dong,
dengan kisah anak muda yang datang menemui Yesus karena kepengen masuk surge namun
ujung-ujungnya sedih karena nggak rela menjual hartanya. Atau, tentu ingat
dong, dengan pertanyaan Petrus, “Tuhan kami ini sudah meninggalkan segala
sesuatu untuk mengikuti Engkau, lha kami akan dapat apa?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu memang tidak langsung berkaitan dengan praktik pantang dan pausa pada masa
persiapan Paskah, tetapi secara umum. Bahwa mati raga demi mati raga saja,
pengorbanan diri demi pengorbanan diri semata, nggak akan dilirik oleh Tuhan.
Yang dilirik oleh Allah adalah mati
raga yang kita lakukan hendaknya demi semangkin cintanya kepada Yesus dan
kepada Injilnya. Upaya menahan segala hawa nafsu hendaknya menjadi sarana
memberikan ruang yang lebih luasssss kepada Allah atas diri kita.
Demikian sedikit
pengantar untuk perjalanan panjang yang akan kita mulai esok hari. Perjalanan ini
juga hendaknya jauh dari gegap gempita, sorak sorai dan kemegahan diri. Bahkan jika
perlu, cukuplah berjalan bersama Allah. Saya kutipkan sepenggal puisi yang
ditulis oleh Theresia sebagai bekal hari ini.
Oh Tuhan, ijinkan aku tersembunyi di Wajah-Mu/ di sana aku tak akan
lagi mendengar kebisingan dunia/ berilah aku cinta-Mu, peliharalah aku selalu
dalam Rahmat-Mu/ hari ini saja… (The Poetry, My Song For Today, 52)
salam
Comments