Pernikahan, Perzinahan, dan Pengampunan
Renungan Prapaskah
V
Bacaan: Yesaya 43:16-21, Mazmur 126; Filipi
3:8-14, Yohanes 8:1-11
Tema Bacaan
Dalam liturgi hari ini kita diberi janji
bahwa kuasa Tuhan akan memuaskan dahaga umat-Nya, bahkan di gurun (Bacaan
Pertama). Mengikuti contoh St Paulus, hubungan kita dengan Kristus harus
menjadi prioritas mutlak (Bacaan Kedua), dan jika kita kebetulan gagal,
pengampunan-Nya dapat menempatkan kita kembali pada jalan yang benar (Injil).
Ajaran Gereja
Sebagai masa tobat, Prapaskah adalah sebuah
undangan bagi kita untuk mengingat dosa kita dengan cara tertentu. Injil hari
ini adalah contoh klasik dari Yesus dan perempuan berdosa terjebak dalam
perzinahan. Perempuan itu dibawa ke tengah lapangan, dan menurut kesalahannya
ia pantas dilempari dengan batu. Orang-orang yang membawa perempuan itu mengharapkan
Yesus mengambil tindakan yang tepat, yang bisa dipakai untuk menjerat Yesus
kembali. Mereka membawanya kepada-Nya. Di luar dugaan, Yesus merespon dengan
jawaban yang menakjubkan. Dia hanya bertanya kepada semua yang hadir siapa yang
tidak berdosa, artinya yang cukup layak untuk memulai melemparkan batu. Dengan
kata lain, ucapan Yesus itu adalah undangan bagi mereka untuk melihat ke dalam
hati mereka sendiri dan merenungkan dosa mereka sendiri.
Memang, itulah yang semestinya kita lakukan.
Hati nurani kita adalah yang pertama kali mengingatkan kita. Kalau kita bisa sekali
saja mengakui dosa kita, kita tidak akan lagi bersikap keras terhadap orang
lain. Para tua-tua itu menjatuhkan batu dan kitapun juga. Bahkan kita harus
berani mengakui kasih Allah yang begitu besar.
Setelah para tua-tua itu pergi, wanita itu
berdiri dan gemetar ketakutan. Bagaimanapun juga ia mengharapkan penghakiman itu.
Namun ada yang membuatnya tidak takut lagi, karena bahkan Yesus tidak akan melempari
dia dengan batu. Bahkan kata-kata yang diucapkan Yesus telah mengubah hidupnya.
"Saya juga tidak menghukum engkau," itu sungguh membawa kepada
pertobatan, selanjutnya, "Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi."
Gambaran ini seperti hendak mengatakan
bahwa Allah telah membawa kehidupan ke dalam padang gurun (lihat bacaan
pertama). Jiwa wanita itu seperti padang gurun gersang, tetapi kasih karunia
Allah dapat membawa kehidupan baru. Perintah Tuhan diberikan bukan tanpa bekal
maupun alasan. Allah memberi kekuatan pada manusia untuk memenuhinya. Kasih-Nya
kuat menyertai jiwa di jalan pertobatan dan penyembuhan.
Untuk direnungkan lebih mendalam
Ada banyak hal yang bisa kita renungkan
untuk hidup kita sendiri berdasar bacaan-bacaan di atas. Yang paling jelas
adalah tentang dosa dan karunia pengampunan Kristus. Tapi mungkin kami
menawarkan sesuatu yang lain yang bisa kita renungkan lebih mendalam, yaitu
refleksi tentang pernikahan. Dalam masyarakat saat ini Sakramen Perkawinan
terus-menerus mendapat serangan. Bukan hanya orang-orang non-katolik yang
menyerang, bahkan banyak orang katolik sendiri menyerang keluhuran Sakramen
Pernikahan.
Injil hari ini menyajikan kasus perzinahan.
Ini seperti sebuah luka yang amat parah dalam hubungan pernikahan. Banyak
keluarga hancur berantakan hanya karena salah satu dari pasangan itu tidak
setia lagi atau terpeleset ke dalam dosa. Seolah-olah kesalahan itu seperti tak
terampuni lagi. Namun membaca Injil hari ini dan mendengar kata-kata Yesus hati
ini seperti dikuatkan lagi. Bahwa tidak ada yang mustahil kalau kita mau
mengampuni. Kesalahan yang besar sekalipun akan mampu dijernihkan asal ada
pengampunan. Cara sederhana melakukan pengampunan adalah melihat diri kita
sendiri yang berdosa. Tidak ada satupun dari kita yang benar-benar terbebas
dari dosa, maka menghukum orang lain secara kasar karena kesalahan yang
dibuatnya sungguhlah tidak adil.
Pengampunan haruslah menjadi ciri utama
pengikut Kristus. Pengampunan harus menajdi ‘insting dasar’ seorang katolik dalam
memecahkan masalah. Menyelesaikan persoalan pernikahan dengan perceraian
bukanlah jalan seorang pengikut Kristus. Insting dasar seorang Katolik harus
mengatakan, "pernikahan ini harus diselamatkan!"
Pasangan yang sedang menghadapi persoalan
harus diyakinkan bahwa mereka tidak sendirian. Mereka perlu diyakinkan bahwa
kasih karunia Allah hadir dan aktif. Sakramen pernikahan tidak selesai setelah
diucapkannya janji pernikahan di depan altar. Sakramen pernikahan itu harus
diperjuangkan terus menerus. Hal itu tidak mudah kalau salah satu dari mereka
ada yang terjatuh. Ada yang kemudian menyerah dan membiarkan sakramen
pernikahan itu hancur. Namun ada yang mau berjuang. Kemungkinan kedua inilah
yang harus kita buat. Satu hal yang harus diingat bahwa pernikahan mereka adalah
suci di mata Allah dan bahwa Ia akan terus mendukung mereka bahkan di saat-saat
paling gelap.
Ketika beban kita terasa berat, dan seolah kita berjalan sendiri, mari kita ingat Injil hari ini. Tuhan mengampuni hamba-Nya yang berdosa, yang menurut sesamanya sudah tak tertolong lagi. Tuhan hanya meminta, jangan berdosa lagi. Apakah kita mau juga berbagi kasih dengan sesama, berbagi maaf kepada sesama? Terlebih kalau yang bersalah adalah orang-orang yang paling dekat dengan kita? kalau ia adalah pasnagan kita, anak kita atau orangtua kita?
Tuhan memberkati.
Salatiga, 22 Maret 2013
Comments