Tak Kenal, maka Tak Sayang...
Ini pepatah kuno yang kerap diucapkan dalam sebuah pertemuan. Apalagi kalau pertemuan itu melibatkan orang dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda. Pemandu acara akan mengajak para peserta untuk bekenalan, setelah berkenalan diharapkan ada jalinan pertemanan yang baik. Siapa tahu ada yang saling sayang dan melangkah ke jenjang yang lebih dalam lagi, siapa tahu!
Dan urusan kenal serta sayang ini menyasar berbagai lini kehidupan, bahkan bukan soal dua atau tiga insan manusia. Misalnya soal bercocok tanam. Seseorang tidak akan menyukai bercocok tanam kalau dia tidak pernah berkenalan dengan tanaman, dengan bebungaan, dengan tanah dan dengan keindahan. Kecintaan akan cocok tanam juga bisa timbul karena alasan yang sangat manusiawi. Misalnya kawan saya, dia suka bercocok tanam karena gadis incarannya suka berkebun. Alasannya simpel saja. Dia mulai bercocok tanam, mulai mengenal jenis tanaman, bebungaan, dll. Tujuannya sederhana, agar nanti kalau pas ngobrol berdua bisa nyambung. Kalau sudah nyambung akan mudah mengarahkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Saya katakan bahwa urusan mengenal dan menyayang itu juga menyasar setiap lini kehidupan manusia. Bahkan juga soal urusan dengan yang tidak kelihatan, dengan Sang Khalik. Seseorang tidak akan bernyala api cintanya kalau dia tidak pernah berusaha berkenalan dengan Sang Khalik. Memang lebih mudah berkenalan dengan anaknya Pak Kholik yang biasa berpeci terbalik itu dibanding berkenalan dengan Sang Khalik. Anaknya Pak Kholik jelas kelihatan wujudnya, rambutnya yang tergerai panjang, sorot matanya yang kerap berkedip nakal, atau langkah kakinya yang cepat seperti kelinci meloncat. Mudah dilihat dan diidentifikasi.
Lha berkenalan dengan Sang Khalik? garuk-garuk kepala yang tidak gatal bener dah. wujudnya tidak bisa dilihat, tubuhnya tidak bisa disentuh, semerbak aromanya tidak bisa dikenali, dst. Intinya, bagaimana mungkin kita berkenalan dengan sesuatu yang tidak pernah kelihatan?
Syukurlah bahwa manusia itu bukan makluk yang hanya mengandalkan daya empiris belaka. misalnya, baru percaya kalau sudah pernah melihat, pernah mencecap, pernah mendengar, pernah merasa, dll. Manusia itu bisa berabstraksi, bisa merasa. Saya percaya bahwa saya mempunyai otak meskipun saya belum pernah melihat otak saya, belum pernah mendengar degup otak saya, belum pernah meraba otak saya, tapi saya percaya bahwa saya memiliki otak. Apakah otak saya besar atau kecil, kemampuan berpikirnya bagus atau tidak, masih bekerja maksimal atau tidak; saya tidak tahu. Yang saya yakini, saya memiliki otak.
Lalu kembali kepada persoalan dengan Sang Khalik tadi, yang lebih mudah berkenalan dengan anaknya Pak Khalik tadi. Dalam sejarah panjang peradaban manusia, mereka sampai kepada pengenalan bahwa ada "sesuatu" yang mengatasi keberadaan manusia. Ada DIA yang melebihi daya kemampuan manusia untuk mencerna dan mengerti. Ada DIA yang kepadaNYA kita berseru tatkala kita mengharapkan bantuan yang melebihi batas kemampuan manusia. Maka muncullah berbagai acara ritual yang kata orang modern dianggap aneh. Mereka yang bersujud dan menaruh ebungaan di sebuah batu besar, di bawah pohon besar, di perempatan jalan, di dekat sumber mata air, dll. Mereka mengekspresikan sebuah nalar yang tak terkata dengan nalar, yang tak terdefinisikan dengan kata akan kehadiran "Sang Khalik".
Lalu peradaban manusia membawa kepada pengalaman yang lebih modern. Muncullah AGAMA. Hadirlah TUHAN dalam kehidupan manusia. Dia mewujud, mengirim para nabi-Nya, DIA mengatur. Ada tatanan yang DIA berikan yang harus diikuti. Ada Kitab yang bisa dibaca sebagai sebuah manual dalam hidup beragama.
Baiklah kalau kita sebut munculnya AGAMA-AGAMA itu sebagai reaksi atas pengalaman manusia akan Yang Ilahi tersebut. Karena pengalaman manusia itu berbeda-beda maka muncullah banyak Agama. Ada pula agama yang mirip-mirip. Misalnya ada tiga agama besar yang memiliki sejarah yang sama, yang memiliki pengalaman akan kehadiran Allah yang mirip. Yaitu, Yahudi, Katolik/Kristen, dan Islam.
Pengalaman akan Allah itu bisa bersifat sangat personal dan kemudian berkembang menjadi pengalaman bersama. Misalnya pengalaman iman ABRAHAM. Dia dan keluarganya memiliki hubungan personal dengan ALLAH. Hubungan itu kemudian berkembang dalam keluarganya, dan keluarganya berkembang menjadi sebuah bangsa. Dan ketika pengalaman akan Allah itu dibagikan, dan orang lain yang mendengar pewartaan itu mengamininya, pengalaman itu kemudian menjadi pengalaman bersama. Pengalaman akan Allah yang diwariskan oleh Abraham adalah pengalaman Allah yang TUNGGAL. Dalam bahasa modern, MONOTEISME. Bahkan dalam perjalanan sejarah keimanan kelompok ini muncul NABI ELIA yang berjuang untuk mempertahankan Allah yang tunggal ini dan melawan adanya penyembahan allah yang lain.
TRI TUNGGAL
Agama Katolik meneruskan sejarah pengalaman akan Allah yang dialami oleh Abraham. Dahulu kala, Allah mengikat perjanjian dengan Abraham. Inti dari semua perjanjiannya adalah janji keselamatan. Allah hendak menyelamatkan manusia. Rencana atau janji keselamatan itu terus diperbaharui. Allah, diwakili juru bicara-NYA, yaitu para nabi, terus mengingatkan manusia akan janji keselamatan itu. Di sisi lain, juga mengingatkan agar manusia setia dengan janji yang telah diucapkan. Yaitu janji setia kepada Allah yang Tunggal tersebut.
Kemudian datanglah Yesus. Membaharui perjanjian yang selama ini juga selalu diperbaharui melalui para nabi. Dalam seluruh pengalaman perjanjian itu, pihak manusialah yang selalu ingkar janji, sedangkan pihak TUHAN selalu mengampuni. YESUS datang membaharui seluruh perjanjian itu melalui dua belah pihak. Pihak TUHAN dan pihak MANUSIA. Karena sekarang dua pihak diwakili oleh satu orang, maka tidak ada yang bisa mengingkari.
Melalui Yesus pula kemudian kita mengenal ALLAH TRI TUNGGAL. Allah itu tetap satu, hanya mewujud dalam tiga pribadi, BAPA, PUTERA, dan ROH KUDUS. Ada beberapa peristiwa yang dicatat dalam Kitab Suci yang menggambarkan ketigaNYA. Misalnya dalam peristiwa setelah Yesus dibaptis. Di sana Roh Kudus muncul dan ada suara Bapa menyatakan kasihNya kepada Yesus.
Konsep Allah yang TUNGGAL tetapi terdiri dalam tiga pribadi ini amat sulit dipahami. Bahkan banyak pihak, terutama non Katolik yang mengkritik konsep ini. Mereka menganggap bahwa konsep ini kontradiksi. Bagaimana mungkin Allah yang Tunggal tetapi juga Tiga. Bagaimana mungkin TIGA tetapi juga SATU. Amat sulit dipahami. Tetapi inilah iman yang dihidupi oleh orang Katolik.
Bagi saya pribadi, misteri Allah Tri Tunggal ini menandakan bahwa Allah itu sungguh Allah. Karena kalau Allah atau Tuhan itu bisa dipahami 100% maka dia pasti bukan Tuhan. sesimpel itu. Untuk lebih lengkapnya, nanti kita bisa mengeceknya tatkala kita sudah berhadapan muka dengan muka dengan Allah dalam keabadian. Tetapi, sebelum semuanya itu terjadi, sebenarnya kita bisa memahami Allah Tritunggal dalam hidup sehari-hari. Dalam pengalaman pendalaman iman.
KENAL DAN SAYANG
Maka, ungkapan tak kenal maka tak sayang juga pas dikenakan kepada pengenalan kita akan Tuhan. Kalau kita tidak pernah berusaha mengenalnya, kita tidak akan pernah menyayanginya. Pengenalan adalah sebuah proses. Memang kita tidak bisa langsung bertemu dengan BELIAU face to face. Tapi kita bisa belajar dari pengalaman orang lain, dari hasil pembelajaran orang lain.
Proses pengenalan ini bukan hanya sekadar pemuasan akal budi dengan membaca banyak buku. Tetapi juga harus menyentuh perasaan dan jiwa. Di sanalah fungsi mempraktikkan apa yang kita pelajari dan kita imani.
Akal budi kita harus dilengkapi dengan banyak informasi yang benar dan terarah. Misalnya dengan membaca ajaran resmi Gereja, seperti yang dituangkan dalam buku katekismus (bisa dibaca mulai artikel 253 sampai dengan artikel 256). Mungkin kita tidak paham dengan ujaran yang dipaparkan di sana, tetapi kalau tidak pernah membacanya sama sekali dan menarik kesimpul secara sepihak tentu amat sangat berbahaya. Disinilah olah akal budi diperlukan. Juga masih ada banyak buku-buku hasil karya para teolog yang mencoba merenungkan misteri Allah Tritunggal ini.
Sedangkan batin yang diwakili perasaan dan jiwa juga harus dipuaskan. Aktivitas kesalehan seperti, menghadiri Ekaristi, melakukan pengakuan dosa, bergabung dalam kelompok doa atau kelompok syering Kitab Suci, atau juga kelompok sosial di Gereja, itu penting dan baik untuk dilakukan. Segala aktivitas ini bisa membantu untuk bisa mengenal Allah lebih imbang dan lebih dekat lagi, memupuk rasa sayang, dan pada akhirnya akan memiliki pemahaman yang penuh akan DIA.
Akal budi kita harus dilengkapi dengan banyak informasi yang benar dan terarah. Misalnya dengan membaca ajaran resmi Gereja, seperti yang dituangkan dalam buku katekismus (bisa dibaca mulai artikel 253 sampai dengan artikel 256). Mungkin kita tidak paham dengan ujaran yang dipaparkan di sana, tetapi kalau tidak pernah membacanya sama sekali dan menarik kesimpul secara sepihak tentu amat sangat berbahaya. Disinilah olah akal budi diperlukan. Juga masih ada banyak buku-buku hasil karya para teolog yang mencoba merenungkan misteri Allah Tritunggal ini.
Sedangkan batin yang diwakili perasaan dan jiwa juga harus dipuaskan. Aktivitas kesalehan seperti, menghadiri Ekaristi, melakukan pengakuan dosa, bergabung dalam kelompok doa atau kelompok syering Kitab Suci, atau juga kelompok sosial di Gereja, itu penting dan baik untuk dilakukan. Segala aktivitas ini bisa membantu untuk bisa mengenal Allah lebih imbang dan lebih dekat lagi, memupuk rasa sayang, dan pada akhirnya akan memiliki pemahaman yang penuh akan DIA.
Hari Raya Tri Tunggal Maha Kudus 2016
salam.
St. Teresa's Parish,
Kowloon - Hong Kong.
Comments