From Sampit with Pecel(From Sampit with Love part 1 – Journey of Kuliner in Borneo part 1)

Agak aneh rasanya bercerita mengenai pecel dari Sampit. Mestinya cerita pecel itu dari Blitar atau Madiun, di mana surganya pecel (setidaknya padan nama warung pecel itu biasanya berbunyi ‘Pecel Asli Blitar’ atau ‘Pecel Pincuk Madiun’). Inilah yang hendak saya bagikan, With Pecel form Sampit (baca with love from Sampit, hehehehe).
Awal tahun 2009, 1 Januari jam 04.30 saya dijemput mobil travel untuk pergi ke bandara Juanda. Jalanan sepi, sisa pereayaan malam tahun baru masih sangat terasa. Setelah putar-putar menjemput penumpang, mobil benar-benar meninggalkan kota Malang pukul 05 lewat 20-an menit. Kendaraan kami sepertinya ‘tak ada lawan’, meluncur sendirian, hingga sampai di bandara baru jam 06.30. Yah sejam sampai dari Malang ke Surabaya benar-benar luar biasa. Pagi itu benar-benar milik kami.

O iya, kali ini saya hendak berpetualang ke Kalimantan. Agak kasar rasanya mengatakan seorang biarawan kok berpetualang (kayak para nabi yang berkeliaran tanpa tujuan). Apa sudah ga punya kerjaan atau emang udah bosan tinggal di biara. Semuanya tentu memiliki alasan yang seimbang, bukan mencari-cari alasan tentunya. Saya mengambil cuti, jadi emang waktu libur, sekaligus promosi sekolah di Kalimantan. Yah sekali berpetualang banyak hal bisa diraih.
Menunggu di Bandara
Pesawat saya terbang jam 11.40. Maka tiba di bandara jam 6.30 memang sungguh kepagian. Begitu sampai saya langsung mencari sarapan, maksudnya beli. Tentang sarapan di bandara ini tidak perlu dibahas. Saya hanya sarapan nasi lodeh ga jelas dengan lauk daging, itu saja. Selepas sarapan saya langsung masuk dan mencari bangku kosong untuk istirahat. Tidak mungkin langsung check in, loketnya belum buka. Yang sudah buka adalah counter untuk tujuan dan jam penerbangan yang lebih pagi.
Sekitar jam 08.00 saya mencoba check in, dan merupakan orang pertama untuktujuan Sampit yang melakukan Check in. sehabis itu saya langsung naik ke lantai 2 dan jalan-jalan sejenak. Counter buku menajdi tujuan saya. Sebenarnya tidak begitu pede saya masuk ke took buku itu, pertama yang dijual hanya buku/majalah berbahasa Inggris, kedua harganya juga lumayan buat kantong cuti, hehehehehe. Setelah berlagak mengamati tiap item dengan saksama, maka saya pilih satu buku karangan Paulo Coelho, A Warrior of The Lihght. Sebuah buku kumpulan catatan-catatan pendek. Jadi bisa say abaca secara acak, sesuai kosa kata yang saya tahu.
Jam 10.30 saya ,masuk ruang tunggu. Ternyata penumpang yang hendak ke Sampit banyak juga. Ruang tunggu itu penuh lumayan penuh. Jam 11.20 kami dipersilahkan masuk pesawat melalui pintu 5. Kursi saya di bagian depan, kursi nomor 2a, hahahaha, hasil check in kepagian. Lumayanlah. Di samping saya duduk seorang ibu dan putrinya yang masih kecil, mungkin berusia 2 tahun. Saya tidak tahu, karena tidak Tanya-tanya, ke mana suaminya kok pergi sendiri. Dia sibuk menenangkan anaknya yang agak rewel. Masak di salam pesawat ingin naik motor, ngebet lagi hingga nangis. Setelah 10 menitan mengudara si anak tertidur, saya mencoba membaca buku yang saya beli di bandara.
Sampit kota Perang
Sekitar pukul 12.30 pesawat Merpati yang saya tumpangi mendarat. Karena saya hanya membawa satu tas ransel, hasil meminjam kakak Sixtus (makasih ya Kak!), saya langsung menuju pintu keluar. Di beranda depan adik saya sudah menunggu. Kulitnya semakin gelap, tipikal pemuda perkebunan. Begitu bertemu kami langsung baku peluk. Kemudian kami menuju parkiran motor dan langsung meluncur menuju tempat peristirahatannya. Setelah berputar-putar sekitar 40 menit kami sampai juga, bukan di rumahnya, tetapi di rumah bossnya. Kebetulan bossnya sedang ke luar kota maka kami bisa beristirahat di sana malam itu.
Tidak banyak yang saya ketahui mengenai kota Sampit. Hal pertama yang saya ingat adalah kerusuhan beberapa tahun silam. Selain itu, dari adik saya, saya tahu bahwa sekarang mulai berkembang perkebunan kelapa sawit. Perkebunan dan pabrik-pabrik pengolah sawitlah yang sekarang mendukung pendapatan kota ini. selebihnya saya tidak tahu banyak.
Bekas kerusuhan memang tidak saya temukan, yang saya lihat adalah bangunan-bangunan yang bagian atasnya penuh dengan lubang. Hampir semua bangunan yang memiliki tinggi lebih dari 3 tingkat, bagian atasnya pasti penuh dengan lobang. Sempat saya bayangkan seperti bekas tembakan meriam. Mungkin terlalu berlebihan. Tetapi ada yang aneh, bagian bawah rapi dan ramai karena digunakan sebagai usaha, tapi bagian atasnya begitu berantakan. Selain itu suara bising cicicuwit burung juga memenuhi kota. Ternyata lobang-lobang itu adalah pintu masuk bagi sekawanan wallet.
“Kota ini pusat wallet Sam,” kata adik saya menjelaskan semuanya.
Ternyata bangunan bagian atas itu adalah rumah wallet (hehehehe), maka tidak mengherankan kalau keadaannya begitu berantakan. Yang mengherankan bagi saya adalah, kok mereka tidak terganggu dengan banyaknya aktivitas di bawah. Ke manapun wallet itu pergi mencari makan, pasti pulangnya ke situ juga. Maka penduduk kota Sampit banyak yang membangun bagian atas rumahnya sebagai tempat tinggal wallet.
Demi Pecel
Inilah yang hendak saya ceritakan, pecel from Sampit. Setelah istirahat sejenak sekitar 30 menit adik saya mengajak mencari makan. ‘Golek pecel yo Sam’, ajaknya. Aku langsung mengiyakan, lha sudah lapar. Dalam hati sempat berpikir, ‘jauh-jauh ke Sampit kok yo cari pecel’ (jadi teringat ketika keluyuran ke Jogja sehabis kaul kekal, yang kami santap ya hanya pecel lele, hingga Tinto marah-marah, hehehehe).
Ternyata bagi adik saya, pecel adalah menu istimewa. Setelah berhari-hari, atau bahkan berminggu atau berbulan-bulan terkurung di tengah kebun sawit yang jauh dari mana-mana, menikmati nasi pecel adalah sebuah kemewahan. Bisa mengobati, bukan hanya rasa sepi dan jenuh di perkebunan, tetapi juga bisa menghadirkan suasana kampung halaman untuk menghilangkan kangen.
Jangan membayangkan sebungkus pecel pincuk Madiun atau pecel Karangsari asli Blitar, pecel asli Sampit beda banget. Siang itu kami menuju warung yang katanya langganannya. Tapi agak sial, warungnya tutup. Maklum masih tahun baruan. Maka kami meluncur ke pasar, mencari makan di kaki lima yang banyak bertebaran di sana.
“Iwaknya apa Bang,” kata Mbak penjualnya.
“Ayam saja.” Jawab adik saya. Sementara itu saya tak henti-hentinya memperhatikan kondisi pasar. Bangunan-bangunan yang bagian atasnya penuh dengan lubang-lubang. Lapak-lapak pencual vcd juga tak kalah banyaknya. Yang sekali lagi mengejutkan adalah, banyaknya vcd-vcd campursari beredar. “Sam, Sampit itu 80% penduduknya pendatang, kebanyakan dari Jawa,” kata adik saya menjelaskan ketika saya tanya kenapa banyak orang jual vcd campursari.
Akhirnya lima bungkus nasi pecel itu telah selesai. Segera kami meluncur ke pondokan. Perut ini sudah lapar bener, mungkin cacing-cacing ini sudah menggelepas-gelepar lapar. Saya ingin segera membuka bungkusan pecel itu. Bukan hanya karena sudah sangat lapr, tetapi juga ingin tahu istimewanya pecel Sampit. Ternyata ya biasa saja, ada sayurnya, ada sedikit sambal kacang, kemudian ada tahu goreng satu, sambel goreng tempe, ayam dan sambal bajak.
Bagi saya agak aneh, karena nasi pecel itu disebut pecel karena unsure sambel pecelnya. Tetapi ini sambel pecelnya sedikit banget, yang banyak malah sambel bajak alias sambal tomat. Rasa pecelnya sebenarnya tidak begitu menggigit, yang lebih nendang adalah sambel bajaknya. Maka nasi pecel ini mirip ayam lalapan. Tapi itu semua tidak menjadi soal. Mau nasi pecel atau ayam lalap yang penting enak, yang pasti kenyang.
Saudara
Nikmatnya pecel atau apa tadi namanya, sebenarnya tercipta karena hati saya yang sedang berbunga-bunga. Pertemuan saya dengan Dwi, nama adik saya memang mebahagiakan. Terakhir bertemu ketika saya ditahbiskan. Adik saya ini tidak pernah tinggal serumah dengan saya. Ketika dia berusia 7 bulan, ia sudah diadopsi dan diasuh pakDe saya. Sebab mereka tidak memiliki anak.
Meski secara hukum dia menajdi kakak saya, tetapi tetap saya anggap sebagai adik. Dia pun tetap memanggil saya kakak. Kami memang tidak pernah tinggal serumah, tetapi kami berasal dari satu darah dan satu paudara. Maka kebersamaan yang tercipta sungguh membahagiakan.
Pesan
1. Makan apa saja asal bersama orang yang kita cintai rasanya menjadi luar biasa, enak banget, Mak Nyuss poll.
2. Saudara adalah pribadi yang sungguh memberikan kebahagiaan. Jika kita tidak bahagia dengan pribadi di sekitar kita, mungkin karena mereka bukan saudara kita.
3. Ada banyak saudara, tidak harus karena stu darah atau satu payudara. Kelompok ini mesti mengusahakan banyak hal agar sungguh-sungguh bisa hidup bersaudara.
4. Menurut pengalaman, mereka yang berasal dari satu darah atau satu payudara pun bisa tidak akur, bisa tidak harmonis, apalagi mereka yang tidak ada ikatan darah. Maka hidup harmonis dengan saudara itu mesti diupayakan, bukana hanya dengan perkataan.
5. Pecel atau ayam lalapan bisa memupuk hidup persaudaraan. Tetapi itu bukanlah syarat mutlak. Sate, krupuk, tahu, gulai, tempe, pete, juga sambel adalah variasi lain yang sangat sehat bagi persaudaraan, vitamin-vitamin alami untuk be brotherhood.

Parenggean - Sampit, 2 Januari 2009


Comments

The Black Pearl said…
RoMo..
hahaha..
Jayus tau nggak sech ^^
tapi pesan moralnya mengena ^^
Keep Rock ya Mo!!
MoRis HK said…
hahahahaha, emang lagi jayus-jayusan. hehehehehe

Popular Posts