GILANG

Gilang putra pertama pasangan Surikno – Ida. Sejak lahir memiliki kekurangan dalam pendengaran. Pasutri Surikno pertama kali menyadari kondisi Gilang ketika Gilang berusia 3 tahun. Mereka mengetahui kelainan ini karena melihat Gilang kecil yang hanya berlarian saja sementara teman-temannya sibuk bermain.
Ibunya melihat ada yang tidak beres dengan putranya. Sepertinya ada komunikasi yang terputus. Maka mereka membawa Gilang ke dokter untuk memeriksa keadaannya dengan saksama. Kenyataan pahit harus diterima, pendengaran Gilang hanya berfungsi sedikit saja. Ia mesti menggunkan alat bantu jika ingin mendengar lebih baik, itu pun tidak banyak membantu.

Dalam perjalanan waktu kondisi Gilang sangat berpengaruh pada kepribadiannya. Dia tidak mampu memahami pembicaraan dengan baik. Hal itu membuat bicaranya tidak lancar, sebab kita berbicara berdasar apa yang kita dengar. Akibat lebih lanjut adalah rasa minder dan sikap agak kasar. Apalagi ketika banyak sekolah yang menolak kehadirannya. Kedua orangtuanya berusaha memperlakukan Gilang sebagai anak normal. Mereka mencoba menyekolahkan di sekolah biasa, ini tantangan terberat karena tidak banyak sekolah yang bersedia menerima.
Gilang pernah mencicipi sekolah luar biasa selama 2 tahun. Dalam dua tahun itu bukan perkembangan yang diperoleh tetapi kemunduran. Setelah mempertimbangkan banyak hal, orangtuanya memutuskan untuk memindahkan Gilang ke sekolah biasa. Meski sulit akhirnya mereka menemukan sekolah yang sudi menerima Gilang.
Kesulitan lain adalah tempat tinggal. Pekerjaan pak Surikno di pertambangan, yang kerap dipindah-pindah, membuat mereka sering pindah rumah. Lingkungan baru adalah penyesuaian baru, padahal menyesuaikan diri adalah sesuatu yang sulit bagi Gilang. Bukan hanya dia yang harus menyesuaikan diri, tetapi orang-orang di sekitarnya mesti menyesuaikan diri pula dengan dia. Tidak semua guru sabar menghadapi siswa seperti Gilang, tidak semua teman bisa paham karakternya.
Pacaran juga menjadi persoalan tersendiri. Sebagai remaja dia mulai menyukai lawan jenis. Namun ia kerap menjumpai kenyataan ditolak karena kekurangannya. Hal itu semakin memperburuk kondisi psikologisnya. Merokok dan membolos adalah pelariannya. Perusahaan di mana ayahnya bekerja memberikan bantuan untuk menangani problem psikologisnya. Tiap bulan didatangkan psikiater dari Jakarta untuk menerapi Gilang.
Gilang, pemuda ganteng itu merupakan rahmat yang nyata bagiku selama kau berada di Balikpapan. Apa yang aku paparkan di atas adalah apa yang aku ketahui dari orangtuanya saat aku tinggal bersama mereka selama 2 hari. Namun perjumpaan terakhir dengan Gilang selama 2 jam mengubah segalanya.
Gilang Airlangga, nama lengkapnya ternyata pemuda yang sangat cerdas dengan pengetahuan yang sangat luas. Kesulitannya dalam pergaulan membawanya akrab dengan buku dan keinginan untuk mengetahui sesuatu yang baru. Kemampuannya dalam mengoperasikan computer juga bagus. Ide-idenya segar dan mencengangkan.
Pertama kali ia melontarkan ide untuk membuat sistim perintah dari otak kepada anggota tubuh yang palsu. Bagaimana itu mungkin? Menurutnya hal itu suatu saat akan mungkin. Misalnya mereka yang tidak punya tangan dipasangkan tangan palsu yang dihubungkan dnegan banyak ‘kabel’ ke otak. Itu pun bukan sembarang ‘kabel’ karena aliran darah, otot, dan jaringan yang lain akan berakibat buruk jika ‘kabel’ yang dipasang tidak tepat. Ide yang kelihatannya konyol, tapi dia yakin di tahun-tahun mendatang hal itu akan terwujud.
Hal kedua yang aku temukan dari diri Gilang, teman-teman mayanya sangat banyak. Ia menunjukkan padaku alamat friendsternya di mana ia memiliki teman yang sangat banyak, lebih dari 1000 orang. Bagi teman-temannya itu ia adalah pemberi motivasi yang baik. Pengetahuannya yang luas membuat ia menjadi ‘kamus berjalan’ bagi banyak pertanyaan. Dunia maya yang tidak mebgharuskan dia berbicara dan mendengar membuat segalanya baik. Ia tinggal membaca dan menulis.
Hal ketiga, ia menyarankan agar setiap orang normal mempelajari bahasa isyarat. Hal itu akan sangat membantu dalam pergaulan. Orang ‘cacat’ kerap mampu memahami orang normal dengan baik. Tetapi tidak demikian dengan orang normal. Jarang dari mereka yang bisa memahami orang yang ‘kurang beruntung’ itu. Hal itu ia buktikan dengan fakta bahwa ia bisa memahami saya namun saya kesulitan memahaminya. Ketika ia membuka youtube dan mencari film deaf people, ia bisa tertawa terbahak-bahak sedangkan saya hanya cengar-cengir. Kemudian ia menceritakan pada saya isi cerita itu, saat itulah saya baru tertawa lepas. Tentu sudah terlambat.
Tuhan itu Maha adil. Ia membuat kita dengan lengkap, kekurangan yang satu ditutup dengan kelebihan yang lain. Kita tidak bisa mengukur seseorang dan menilainya kurang hanya karena mereka tidak sama dengan kita. Bahkan orang yang kita anggap cacat pun bisa menjadi guru bagi kita.
Terimakasih Gilang. Kamu sungguh rahmat yang aku terima dan alami dalam perjalananku di bumi Kalimantan. Semoga Tuhan senantiasa memberkatimu dan memberimu segala rahmat yang kamu butuhkan.
Bandar Udara Balikpapan, 13 Januari 2009 ( Sambil menunggu Boarding )

Comments

The Black Pearl said…
Romo..
boleh tau email addressnya Gilang? penasaran nech ^^
MoRis HK said…
Aduh, dia janji mau ngeadd aku di FSnya, sebab waktu itu aku buru-buru, ntar tak lihat deh

Popular Posts