Putri Kaca from Banjar (From Banjarmasin with Love part 2 – Journey of Kuliner in Borneo part 4)
Hanya sehari semalam (4-5 Jan 2009) aku tinggal di Banjarmasin. Meski demikian ada beberapa kuliner yang akan saya bagikan. Sebuah pengalaman baru menyantap makanan baru, khas daerah setempat.
Sudah saya ceritakan makanan pertama yang saya santap di Banjarmasin adalah kepiting saus padang, ca brokoli, dan sup tom yam. Bagaimana gambar yang dipajang tidak sesuai dengan barang yang disajikan. Berikut ini beberapa pengalaman berkuliner dan berpetualang di bumi Banjarmasin selama satu hari.
Nasi Kuning Banjar
Berhubung pada hari Minggu saya tidak bisa mengikuti (apalagi) mempersembahkan perayaan Ekaristi, maka hari ini saya berusaha bisa mengikuti perayaan ekaristi. Maka sebelum berangkat tidur saya bertanya kepada tuan rumah, misa harian di paroki ini berlangsung jam berapa. Setelah mengetahui bahwa misa harian berlangsung jam 6 pagi, maka saya mengatur diri agar bisa bangun lebih pagi. Sebab jam 6 pagi di sini sama dengan jam 5 pagi waktu malang, berarti saya harus bisa bangun lebih pagi lagi.
Saya bangun jam 5 pagi padahal saya berangkat tidur baru jam 1-an dini hari. Sebenarnya badan dan mata ini masih ingin terus beristirahat setelah kemarin seharian terguncang-guncang dalam perjalanan dari Sampit. Toh niat untuk bisa mengikuti perayaan ekaristi mengalahkan keinginan badan yang ingin terus tidur. Tuan rumah bangun ketika saya sudah selesai mandi dan mereka juga segera bersiap. Bu Agus membuatkan the untuk kami berdua, sedangkan Pak Agus setelah mematut diri segera mempersiapkan mobil.
Teh yang sudah disiapkan tidak kami minum karena kami mengejar waktu agar jangan terlambat sampai di gereja. Ternyata gereja paroki itu sekat saja. Tidak sampai 5 menit bekendaraan kami telah sampai. Saya langsung mencari tempat pada sisi kiri agak ke depan. Masih ada waktu sekitar 15 menit saya gunakan untuk mendoakan ibadat pagi. Saya tidak tahu Pak Agus duduk di mana, karena tadi beliau masih memarkir mobil, sedang saya langsung masuk ke dalam gereja.
Setelah kurang lebih 10 menit berdoa saya melihat Pak Agus mendekati saya. Saya melihatnya karena saya berdoa sambil membuka mata, yah saya belum hafal mazmur-mazmur itu maka harus membuka mata untuk mendoakannya. Rupanya Pak Agus setalah memarkir mobil tidak langsung masuk gereja tetapi langsung menemui pastor paroki, pantas saja saya tidak melihat keberadaannya dalam gereja. Rupanya Pak Agus berinisiatif meminta izin untuk saya agar bisa mempersembahkan misa hari itu. Gayung bersambut karena pastor paroki, Rm. Greg CP tidak keberatan bahkan senang.
Maka setelah meringkas buku doa saya berjalan mengikuti Pak Agus menuju sakristi. Di sana Rm. Greg telah menunggu. Segera saya mengenakan alba dan kasula. Ada kebahagiaan dalam hati bisa mempersembahkan misa hari ini, sudah lama saya tidak mempersembahkan ekaristi, karena sejak tanggal 26 saya berlibur. Maka setelah merayakan perayaan ekaristi bersama Rm. Pur dan Rm Dwi pada Pesta Keluarga Kudus tanggal 27 Desember, baru sekarang saya merayakan perayaan ekaristi.
Misa harian itu diikuti oleh cukup banyak umat. Dari mereka ada suster-suster, ibu bapak dan beberapa anak sekolah. Di awal misa Rm. Greg memperkenalkan saya kepada umat dan di akhir misa saya memperkenalkan diri lebih jauh lagi, mengenai tujuan saya ke Banjarmasin dll. Setelah misa saya sempatkan bercakap-cakap dengan beberapa umat yang hadir. Saya senang karena merasakan kehangatan dan semangat hidup beriman dari beberapa umat yang saya jumpai.
Selepas dari gereja Pak Agus membawa saya mencari sarapan. Beliau mencari warung yang menyajikan menu khas Banjarmasin. Ada banyak menu yang tersaji, dan saya memilih Nasi Kuning Banjar. Saya awalnya tidak tahu apa kekhasannya. Namun setelah menyuapkan sendokan pertama dan melihat lauknya saya baru tahu bedanya dengan nasi kuning yang biasa saya santap di Malang.
Nasi kuning ini, menurut saya memasaknya tidak dengan cara ‘dikaru’ terlebih dahulu, tetapi meminjam bahasa ibu saya memasaknya dengan cara ‘dikeroncong’. Air disiramkan kepada beras sehingga menghasilkan nasi ‘akas’ alias tidak menjadi pulen. Hal ini sangat berbeda dengan nasi kuning jawa yang cenderung pulen-lengket. Nasi kuning ini akas-ambyar. Menurut Pak Agus, orang Banjar suka nasi yang akas, mereka tidak suka nasi yang pulen lengket. Bahkan beliau bercerita bagaimana tersiksanya ketika harus berada di Jawa, karena mesti menyantap makanan yang pulen-pulen. Nasi yang pulen tidak bisa dinikmati, begitu alasannya. Berbeda dengan saya, nasi yang akas ini merupakan tantangan terberat selama makan. Saya terus ‘kesereten’ alias kesulitan menelan makanan itu. Tiap beberapa sendokan saya mesti minum air.
Lauk nasi kuning ini juga khas, yaitu ikan gabus dan telor bacem. Ikan gabusnya juga dimasak semi bacem, tetapi tidak sekering telor bacem, masih agak basah. Rupanya ikan gabus inilah yang menjadi kekhasan, kalau nasi kuningnya tidak diberi lauk ikan gabus maka bukan nasi kuning Banjar. Mungkin sungai yang melintasi Banjarmasin kaya dengan ikan gabus sehingga menjadi kekhasan daerah.
Sunduk Lawang and Putri Kaca
Setelah selesai menyantap nasi kuning kami segera meluncur pulang. Di rumah rupanya sudah menunggu seorang tamu yang ingin bertemu denganku. Ibu ini tadi mengikuti misa di gereja. Beliau sudah menunggu cukup lama karena kami mampir untuk mencari makan, sedangkan ibu itu langsung pulang dan segera menuju tempat tinggal Pak Agus. Rupanya kediaman ibu itu juga berada dalam jalan yang sama hanya bebeda gang.
Ibu itu datang untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai sekolah yang saya promosikan. Rupanya beliau memiliki anak yang sedang duduk di kelas 3 SMP dan berkeinginan melanjutkan sekolah di tempat saya mengajar. Setelah berbasa-basi sebentar cerita mengalir pada tema-tema yang sungguh serius. Pengalaman kesedihan mendalam yang ibu alami sejak kecil, bagaimana ditinggal ibu kandung, bagaimana mesti tinggal bersama ibu tiri. Hidup keras yang harus dihadapi membuatnya mampu menjalani hidup yang lebih baik.
Ternyata kesedihan itu tidak berhenti ketika mereka kecil. Setelah berumahtangga pun kesedihan terus mengalir. Anaknya kerap didera sakit yang sulit sembuh. Bahkan pernah hampir mati. Hidup berpindah-pindah juga menjadi kesedihan tersendiri. Situasi ini benar-benar menguras seluruh emosi dan mental keluarga.
Hidup beriman dan menggereja yang angin-anginan juga menjadi kesedihan tersendiri. Ibu itu bercerita bagaimana mereka jarang sekali pergi ke gereja. Bahkan ia sempat malu karena yang mengajak pergi ke gereja adalah anaknya. Kesedihannya semakin besar karena sang suami sama sekali tidak mau pergi ke gereja. Di tengah segala kesedihan itu, anak sulungnya yang rajin ke gereja, dan terus mengajak ke gereja sungguh alat yang dipakai Tuhan untuk membawanya ke gereja.
Baru dua tahun mereka tinggal di Banjarmasin. Beruntung mereka bertemua dengan keluarga-keluarga yang mampu membawa mereka kepada Yesus. Keluarga Pak Agus menjadi bukan hanya sekadar teman tetapi menjadi saudara untuk berbagi dan saling menguatkan. Selama dua tahun ini pula imannya makin dikuatkan dan diteguhkan. Meski demikian tidak berarti semuanya menjadi lebih mudah. Anak keduanya masih belum mau ke gereja. Selalu ada alasan untuk menolak pergi ke gereja. Belum lagi teguran-teguran dari sekolah mengenai prilaku anak keduanya. Sangat mengherankan bahwa perilaku anak pertama dan keduanya sangat bertolak belakang.
Ketika suasana hati sudah mulai mereda dan air mata sudah berhenti mengalir, tuan rumah menghidangkan makanan ringan khas Banjar, sunduk lawang dan putri kaca. Sunduk lawang itu sejenis lemet kalau di Jawa, hanya saja ukurannya kecil memanjang seperti sengkala pada pintu-pintu kayu di rumah kuno. Maka namanya sunduk lawang memang seperti sengkala pintu. Sedangkan putrid kaca berarti putri yang dibungkus kaca. Makanan ini sebenarnya mirip nagasari di Jawa, hanya bedanya pisang di tengah itu bisa diganti apa saja dna ukurannya tidak besar, sedangkan tepung yang membungkus itu dari bahan membuat jelly, berwarna bening transparan, sehingga isi kue itu terlihat. Maka disebut putri kaca karena mirip putrid dibungkus kaca. Dua makanan ini rasanya manis, berhubung saya tidak begitu menyukai makanan yang berasa manis, saya kurang bisa menikmatinya.
Setelah menyantap jajanan khas Banjar tadi aku bersiap-siap untuk pergi ke SMP Santa Maria guna melakukan promosi sekolah. Dalam kontak semalam suster memberitahu bahwa mereka bisa menerima kami agak siang, sebab pagi hari mereka masih melakukan upacara bendera. Hari ini adalah hari pertama masuk setelah libur natal dan tahun baru. Tidak semua sekolah memulai pelajaran hari ini. SMP St. Angela memulai pelajaran tanggal 7 atau hari Rabu.
Sop Buntut
Jam setengah sebelas kami sampai di SMP Santa Maria. Setelah berbicara sebentar dengan suster kepala sekolah, saya menuju aula sekolah untuk mempersiapkan diri. Apresiasi anak-anak cukup baik, sayang saya tidak membawa banyak brosur hingga kekurangan brosur. Menghadapi anak-anak SMP yang sedang memulai ‘perjalanan panjang’ dalam dunia akademi sungguh membuat hati ini terasa ‘mongkok’.
“Romo saya bukan orang kaya, sekarang saja saya bekerja paruh waktu agar saya bisa sekolah, apakah saya bisa sekolah di tempat Romo?” Tanya seorang anak setelah sesi promosi selesai. Pertanyaan itu sungguh sulit dijawab. Saya memiliki idealisme bahwa sekolah itu untuk semua, kaya miskin, bodoh pandai berhak mendapatkan sekolah yang sama. Waktu itu saya menjawab bisa. Karena saya memiliki pengalaman menolong anak-anak yang secara ekonomi kurang mampu untuk mendapatkan sekolah yang baik. Toh dalam hati saya masih tersimpan satu pertanyaan, siapa yang akan membiayai hidupnya di Malang. Mengenai biaya sekolah mungkin sekolah bisa membantu, tetapi bagaimana dengan tempat tinggal, makan, dllnya. Saat itu saya merasa bahwa masih ada banyak hal yang bisa dibuat untuk perkembangan sekolah, pekembangan anak bangsa, sebagai suatu sumbangan nyata bagi masyarakat. Masih banyak anak yang memiliki niat besar untuk mendapatkan sekolah yang baik tetapi terhalang oleh situasi ekonomi yang sulit.
Lebih dari itu saya sungguh merasa bahwa mereka yang mengalami kesulitan ekonomi tetap lebih sulit memperoleh pendidikan. Sulit untuk memilih tenpat pendidikan yang sesuai, yang menjanjikan banyak fasilitas untuk pengembangan diri, yang menjanjikan akan memberikan pendidikan yang terbaik. Mereka yang terlahir dari keluarga kaya selalu memiliki banyak pilihan. Kemudian pertanyaan lama yang tersimpan dalam hati muncul lagi, apakah memang pendidikan hanya untuk merek ayang memiliki banyak uang? Apakah anak miskin hanya berhak mendapatkan pendidikan di sekolah gratis yang sarana dan pelayannya kurang maksimal, karena gratis? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, yang terbaik.
Jam dua belas kami meninggalkan SMP St. Maria dan kembali ke rumah. Rencananya kami hendak ke terminal untuk membeli tiket, karena rencanaku sore ini langsung meninggalkan Banjarmasin menuju Samarinda. Tetapi kami memilih untuk langsung pulang. Sesampai di rumah kami diberitahu oleh Bu Agus bahwa kami ditunggu untuk makan siang di rumah ibu yang tadi pagi datang. Saya menyesal alang kepalang karena lupa nama ibu itu. Maka dalam cerita ini saya hanya bisa mengatakan ibu yang tadi pagi datang dalam misa harian dan datang ke rumah keluarga Agus dan banyak melelehkan air mata. Maafkan saya ibu telah melupakan nama ibu, atau mungkin kemarin saya tidak menanyakan nama ibu. Yang pasti saya selalu berharap rahmat Tuhan senantiasa melimpah dalam keluarga ibu.
Rupanya rumah ibu tadi begitu dekatnya. Kami hanya berjalan kaki ke sana. Jalan kaki ini banyak maknanya, setelah cukup lama berada dalam kendaraan berjalan kaki sungguh melancarkan aliran darah. Lebih dari itu berjalan kaki membuat badan lelah, perut lapar, dan nafsu makan meningkat. Hehehehe. Khan kami ke rumah ibu tersebut untuk makan siang, jadi akan sangat menyenangkan tuan rumah jika kami bisa makan dengan lahap.
Rumah dengan banyak ornament kayu itu begitu menarik. Mungkin yang membuatnya dulu begitu menyukai unsur kayu, meski kebanyakan rumah asli Kalimantan terbuat dari kayu, namun gaya rumah ini cukup beda. Perpaduan gaya modern dan tradisional menjadikan rumah ini cukup eksotis di antara bangunan megah di sisi kiri dan kanannya. Pintu pagar, lantai dan beberapa unsur lain yang terbuat dari kayu membuat suasana hangat.
Mereka menghuni rumah ini baru dua tahun. Sebelumnya mereka tinggal di Pontianak dan Sampit. Perpindahan tempat tinggal mengikuti perpindahan pekerjaan. Ketika kayu menjadi primadona Kalimantan mereka tinggal di Sampit. Ketika kayu habis mereka mengalihkan usaha batu bara. Tentu usaha pertambangan di lakukan jauh dari pemukiman, maka kerapkali rumah ini hanya berisi para wanita dan anak-anak. Suami ibu ini lebih banyak menghabiskan waktunya di pertambangan.
Kami langsung dipersilahkan menuju ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Saat itu di rumah hanya ada Ibu dan anak bungsunya serta dua pembantu perempuan. Dua anaknya yang lain masih di sekolah, tadi waktu presentasi saya sempat bertemu. Saya dan pak Agus langsung mengambil tempat duduk. Setelah menunggu sebantar anak bungsunya langsung bergabung bersama kami. Usianya masih 3 tahun lebih. Sikapnya sangat terbuka dan cenderung apa adanya. Tipe anak cerdas yang akan memusingkan guru jika tidak siap menghadapi keterbukaan dan segala pertanyaan.
Di meja makan terhidang empat amcam masakan. Ada sayur asem, sop buntut, ayam kecap, dan ‘huiwan’ (saya tidak tahu menulisnya tapi kedengarannya seperti itu hahahahaha, terbuat dari udang yang dihaluskan dan dicampur sedikit tepung dan di goreng). Saya cukup heran mengapa si ibu mesti memasak beberapa jenis masakan padahal penghuni rumah ini hanya sedikit. Saya mengambil sop buntut tanpa nasi, rasanya segar di tengah panasnya kota Banjarmasin. Daging sapinya dimasak lunak sehingga di mulut tidak mengadakan perlawanan sama sekali. Sesi kedua saya mengambil sedikit nasi dan ayam kecap. Setelah itu saya ambil huiwan beberapa potong tanpa nasi, yah seperti camilan saja, rasanya memang udang banget hahahahaha.
Saat kami makan dua anaknya datang dari sekolah. Mereka langsung duduk di meja makan dan dilayani oleh pembantu rumah. Si sulung makan dengan sangat santun, hanya makan nasi dan sayur asem. Sedang adiknya begitu lahap dengan sop buntut dan ayam bergantian. Si adik menambah piringnya dengan nasi lagi hingga tiga kali untuk mengimbangi daging yang terus ia cedok. Sementara itu si kakak masih berjuang menghabiskan nasi pertamanya, ia bahkan tidak mengambil daging sama sekali. Menurut si ibu, anak sulungnya itu tidak begitu suka daging dan suka sayuran, ia juga tipe tidak pilih-pilih makanan. Sementara adiknya mesti ada daging baru lahap. Efeknya jelas terlihat. Si adik lebih gemuk dan gempal sedang kakaknya lebih langsing.
Bye Banjar
Selesai makan saya langsung meminta tolong untuk dipesankan tiket bis menuju Samarinda. Rencananya sore hari saya ingin meluncur ke Samarinda. Sore hari yang saya maksudkan ya sekitar jam 6 atau jam 7. Betapa terkejutnya kami ketika jadwal bis itu adalah jam 3 sore. Padahal saat itu sudah jam 2.30. kontan kami segera mohon pamit untuk menyiapkan barang-barang. Pak Agus mencoba menghubungi pangkalan bis lagi untuk mencari bis lain yang mungkin berangkat lebih sore. Syukurlah ada bis lain yang berangkat jam 4 sore, maka saya masih memiliki kesempatan untuk mandi dan packing lebih longgar.
Setelah mandi dan menata barang, yahh barangku jadi bertambah karena ada beberapa titipan. Waktu datang saya hanya membawa satu tas ransel, sekarang mesti ditambahi satu tas tenteng. Setelah berpamitan saya diantar menuju terminal. Waktu itu jam masih menunjukkan angka 15.20 waktu Banjar, masih ada cukup waktu untuk ngobrol-ngobrol. Saya bersama Pak Agus ngobrol banyak hal mengenai situasi umat di Banjar, mengenai situasi masyarakat dlsb. Jam 15.50 saya menuju bis yang akan membawaku ke Samarinda. Rupanya tidak banyak penumpang yang mengisi bis ini. Karcis saya bernomor18 dan di belakang saya tidak ada penumpang lagi. Betapa mengenaskannya, bis sebear ini hanya diisi oleh 19 penumpang, padahal biaya yang dikeluarkan oleh bis ini tetap sama meski ia memuat 40 penumpang atau 20 penumpang. Berhubung bangku di belakangku kosong, maka saya pilih pindah agar lebih leluasa. Jam 16.05 bis berngkat meninggalkan terminal Banjarmasin menuju kota Samarinda.
Selamat tinggal Banjar, hanya sehari semalam aku menyinggahimu dan belum banyak yang aku kenal darimu. Mungkin suatu saat jika Tuhan memberi kesempatan, saya akan datang lagi. Menikmati Soto Banjar yang begitu terkenal. Mungkin ini memang sudah diatur agar aku bisa datang lagi untuk menikmatinya. 5 Januari 2009 diiringi mentari yang berpacu menuju ke arah barat seakan berlomba dengan bis yang melaju ke arah utara.
Pesan: tulisan ini udah panjang banget, masa perlu pesan lagi, hehehehehe
Mbatu, 24 Januari 2009
Sudah saya ceritakan makanan pertama yang saya santap di Banjarmasin adalah kepiting saus padang, ca brokoli, dan sup tom yam. Bagaimana gambar yang dipajang tidak sesuai dengan barang yang disajikan. Berikut ini beberapa pengalaman berkuliner dan berpetualang di bumi Banjarmasin selama satu hari.
Nasi Kuning Banjar
Berhubung pada hari Minggu saya tidak bisa mengikuti (apalagi) mempersembahkan perayaan Ekaristi, maka hari ini saya berusaha bisa mengikuti perayaan ekaristi. Maka sebelum berangkat tidur saya bertanya kepada tuan rumah, misa harian di paroki ini berlangsung jam berapa. Setelah mengetahui bahwa misa harian berlangsung jam 6 pagi, maka saya mengatur diri agar bisa bangun lebih pagi. Sebab jam 6 pagi di sini sama dengan jam 5 pagi waktu malang, berarti saya harus bisa bangun lebih pagi lagi.
Saya bangun jam 5 pagi padahal saya berangkat tidur baru jam 1-an dini hari. Sebenarnya badan dan mata ini masih ingin terus beristirahat setelah kemarin seharian terguncang-guncang dalam perjalanan dari Sampit. Toh niat untuk bisa mengikuti perayaan ekaristi mengalahkan keinginan badan yang ingin terus tidur. Tuan rumah bangun ketika saya sudah selesai mandi dan mereka juga segera bersiap. Bu Agus membuatkan the untuk kami berdua, sedangkan Pak Agus setelah mematut diri segera mempersiapkan mobil.
Teh yang sudah disiapkan tidak kami minum karena kami mengejar waktu agar jangan terlambat sampai di gereja. Ternyata gereja paroki itu sekat saja. Tidak sampai 5 menit bekendaraan kami telah sampai. Saya langsung mencari tempat pada sisi kiri agak ke depan. Masih ada waktu sekitar 15 menit saya gunakan untuk mendoakan ibadat pagi. Saya tidak tahu Pak Agus duduk di mana, karena tadi beliau masih memarkir mobil, sedang saya langsung masuk ke dalam gereja.
Setelah kurang lebih 10 menit berdoa saya melihat Pak Agus mendekati saya. Saya melihatnya karena saya berdoa sambil membuka mata, yah saya belum hafal mazmur-mazmur itu maka harus membuka mata untuk mendoakannya. Rupanya Pak Agus setalah memarkir mobil tidak langsung masuk gereja tetapi langsung menemui pastor paroki, pantas saja saya tidak melihat keberadaannya dalam gereja. Rupanya Pak Agus berinisiatif meminta izin untuk saya agar bisa mempersembahkan misa hari itu. Gayung bersambut karena pastor paroki, Rm. Greg CP tidak keberatan bahkan senang.
Maka setelah meringkas buku doa saya berjalan mengikuti Pak Agus menuju sakristi. Di sana Rm. Greg telah menunggu. Segera saya mengenakan alba dan kasula. Ada kebahagiaan dalam hati bisa mempersembahkan misa hari ini, sudah lama saya tidak mempersembahkan ekaristi, karena sejak tanggal 26 saya berlibur. Maka setelah merayakan perayaan ekaristi bersama Rm. Pur dan Rm Dwi pada Pesta Keluarga Kudus tanggal 27 Desember, baru sekarang saya merayakan perayaan ekaristi.
Misa harian itu diikuti oleh cukup banyak umat. Dari mereka ada suster-suster, ibu bapak dan beberapa anak sekolah. Di awal misa Rm. Greg memperkenalkan saya kepada umat dan di akhir misa saya memperkenalkan diri lebih jauh lagi, mengenai tujuan saya ke Banjarmasin dll. Setelah misa saya sempatkan bercakap-cakap dengan beberapa umat yang hadir. Saya senang karena merasakan kehangatan dan semangat hidup beriman dari beberapa umat yang saya jumpai.
Selepas dari gereja Pak Agus membawa saya mencari sarapan. Beliau mencari warung yang menyajikan menu khas Banjarmasin. Ada banyak menu yang tersaji, dan saya memilih Nasi Kuning Banjar. Saya awalnya tidak tahu apa kekhasannya. Namun setelah menyuapkan sendokan pertama dan melihat lauknya saya baru tahu bedanya dengan nasi kuning yang biasa saya santap di Malang.
Nasi kuning ini, menurut saya memasaknya tidak dengan cara ‘dikaru’ terlebih dahulu, tetapi meminjam bahasa ibu saya memasaknya dengan cara ‘dikeroncong’. Air disiramkan kepada beras sehingga menghasilkan nasi ‘akas’ alias tidak menjadi pulen. Hal ini sangat berbeda dengan nasi kuning jawa yang cenderung pulen-lengket. Nasi kuning ini akas-ambyar. Menurut Pak Agus, orang Banjar suka nasi yang akas, mereka tidak suka nasi yang pulen lengket. Bahkan beliau bercerita bagaimana tersiksanya ketika harus berada di Jawa, karena mesti menyantap makanan yang pulen-pulen. Nasi yang pulen tidak bisa dinikmati, begitu alasannya. Berbeda dengan saya, nasi yang akas ini merupakan tantangan terberat selama makan. Saya terus ‘kesereten’ alias kesulitan menelan makanan itu. Tiap beberapa sendokan saya mesti minum air.
Lauk nasi kuning ini juga khas, yaitu ikan gabus dan telor bacem. Ikan gabusnya juga dimasak semi bacem, tetapi tidak sekering telor bacem, masih agak basah. Rupanya ikan gabus inilah yang menjadi kekhasan, kalau nasi kuningnya tidak diberi lauk ikan gabus maka bukan nasi kuning Banjar. Mungkin sungai yang melintasi Banjarmasin kaya dengan ikan gabus sehingga menjadi kekhasan daerah.
Sunduk Lawang and Putri Kaca
Setelah selesai menyantap nasi kuning kami segera meluncur pulang. Di rumah rupanya sudah menunggu seorang tamu yang ingin bertemu denganku. Ibu ini tadi mengikuti misa di gereja. Beliau sudah menunggu cukup lama karena kami mampir untuk mencari makan, sedangkan ibu itu langsung pulang dan segera menuju tempat tinggal Pak Agus. Rupanya kediaman ibu itu juga berada dalam jalan yang sama hanya bebeda gang.
Ibu itu datang untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai sekolah yang saya promosikan. Rupanya beliau memiliki anak yang sedang duduk di kelas 3 SMP dan berkeinginan melanjutkan sekolah di tempat saya mengajar. Setelah berbasa-basi sebentar cerita mengalir pada tema-tema yang sungguh serius. Pengalaman kesedihan mendalam yang ibu alami sejak kecil, bagaimana ditinggal ibu kandung, bagaimana mesti tinggal bersama ibu tiri. Hidup keras yang harus dihadapi membuatnya mampu menjalani hidup yang lebih baik.
Ternyata kesedihan itu tidak berhenti ketika mereka kecil. Setelah berumahtangga pun kesedihan terus mengalir. Anaknya kerap didera sakit yang sulit sembuh. Bahkan pernah hampir mati. Hidup berpindah-pindah juga menjadi kesedihan tersendiri. Situasi ini benar-benar menguras seluruh emosi dan mental keluarga.
Hidup beriman dan menggereja yang angin-anginan juga menjadi kesedihan tersendiri. Ibu itu bercerita bagaimana mereka jarang sekali pergi ke gereja. Bahkan ia sempat malu karena yang mengajak pergi ke gereja adalah anaknya. Kesedihannya semakin besar karena sang suami sama sekali tidak mau pergi ke gereja. Di tengah segala kesedihan itu, anak sulungnya yang rajin ke gereja, dan terus mengajak ke gereja sungguh alat yang dipakai Tuhan untuk membawanya ke gereja.
Baru dua tahun mereka tinggal di Banjarmasin. Beruntung mereka bertemua dengan keluarga-keluarga yang mampu membawa mereka kepada Yesus. Keluarga Pak Agus menjadi bukan hanya sekadar teman tetapi menjadi saudara untuk berbagi dan saling menguatkan. Selama dua tahun ini pula imannya makin dikuatkan dan diteguhkan. Meski demikian tidak berarti semuanya menjadi lebih mudah. Anak keduanya masih belum mau ke gereja. Selalu ada alasan untuk menolak pergi ke gereja. Belum lagi teguran-teguran dari sekolah mengenai prilaku anak keduanya. Sangat mengherankan bahwa perilaku anak pertama dan keduanya sangat bertolak belakang.
Ketika suasana hati sudah mulai mereda dan air mata sudah berhenti mengalir, tuan rumah menghidangkan makanan ringan khas Banjar, sunduk lawang dan putri kaca. Sunduk lawang itu sejenis lemet kalau di Jawa, hanya saja ukurannya kecil memanjang seperti sengkala pada pintu-pintu kayu di rumah kuno. Maka namanya sunduk lawang memang seperti sengkala pintu. Sedangkan putrid kaca berarti putri yang dibungkus kaca. Makanan ini sebenarnya mirip nagasari di Jawa, hanya bedanya pisang di tengah itu bisa diganti apa saja dna ukurannya tidak besar, sedangkan tepung yang membungkus itu dari bahan membuat jelly, berwarna bening transparan, sehingga isi kue itu terlihat. Maka disebut putri kaca karena mirip putrid dibungkus kaca. Dua makanan ini rasanya manis, berhubung saya tidak begitu menyukai makanan yang berasa manis, saya kurang bisa menikmatinya.
Setelah menyantap jajanan khas Banjar tadi aku bersiap-siap untuk pergi ke SMP Santa Maria guna melakukan promosi sekolah. Dalam kontak semalam suster memberitahu bahwa mereka bisa menerima kami agak siang, sebab pagi hari mereka masih melakukan upacara bendera. Hari ini adalah hari pertama masuk setelah libur natal dan tahun baru. Tidak semua sekolah memulai pelajaran hari ini. SMP St. Angela memulai pelajaran tanggal 7 atau hari Rabu.
Sop Buntut
Jam setengah sebelas kami sampai di SMP Santa Maria. Setelah berbicara sebentar dengan suster kepala sekolah, saya menuju aula sekolah untuk mempersiapkan diri. Apresiasi anak-anak cukup baik, sayang saya tidak membawa banyak brosur hingga kekurangan brosur. Menghadapi anak-anak SMP yang sedang memulai ‘perjalanan panjang’ dalam dunia akademi sungguh membuat hati ini terasa ‘mongkok’.
“Romo saya bukan orang kaya, sekarang saja saya bekerja paruh waktu agar saya bisa sekolah, apakah saya bisa sekolah di tempat Romo?” Tanya seorang anak setelah sesi promosi selesai. Pertanyaan itu sungguh sulit dijawab. Saya memiliki idealisme bahwa sekolah itu untuk semua, kaya miskin, bodoh pandai berhak mendapatkan sekolah yang sama. Waktu itu saya menjawab bisa. Karena saya memiliki pengalaman menolong anak-anak yang secara ekonomi kurang mampu untuk mendapatkan sekolah yang baik. Toh dalam hati saya masih tersimpan satu pertanyaan, siapa yang akan membiayai hidupnya di Malang. Mengenai biaya sekolah mungkin sekolah bisa membantu, tetapi bagaimana dengan tempat tinggal, makan, dllnya. Saat itu saya merasa bahwa masih ada banyak hal yang bisa dibuat untuk perkembangan sekolah, pekembangan anak bangsa, sebagai suatu sumbangan nyata bagi masyarakat. Masih banyak anak yang memiliki niat besar untuk mendapatkan sekolah yang baik tetapi terhalang oleh situasi ekonomi yang sulit.
Lebih dari itu saya sungguh merasa bahwa mereka yang mengalami kesulitan ekonomi tetap lebih sulit memperoleh pendidikan. Sulit untuk memilih tenpat pendidikan yang sesuai, yang menjanjikan banyak fasilitas untuk pengembangan diri, yang menjanjikan akan memberikan pendidikan yang terbaik. Mereka yang terlahir dari keluarga kaya selalu memiliki banyak pilihan. Kemudian pertanyaan lama yang tersimpan dalam hati muncul lagi, apakah memang pendidikan hanya untuk merek ayang memiliki banyak uang? Apakah anak miskin hanya berhak mendapatkan pendidikan di sekolah gratis yang sarana dan pelayannya kurang maksimal, karena gratis? Tentu saja tidak. Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak, yang terbaik.
Jam dua belas kami meninggalkan SMP St. Maria dan kembali ke rumah. Rencananya kami hendak ke terminal untuk membeli tiket, karena rencanaku sore ini langsung meninggalkan Banjarmasin menuju Samarinda. Tetapi kami memilih untuk langsung pulang. Sesampai di rumah kami diberitahu oleh Bu Agus bahwa kami ditunggu untuk makan siang di rumah ibu yang tadi pagi datang. Saya menyesal alang kepalang karena lupa nama ibu itu. Maka dalam cerita ini saya hanya bisa mengatakan ibu yang tadi pagi datang dalam misa harian dan datang ke rumah keluarga Agus dan banyak melelehkan air mata. Maafkan saya ibu telah melupakan nama ibu, atau mungkin kemarin saya tidak menanyakan nama ibu. Yang pasti saya selalu berharap rahmat Tuhan senantiasa melimpah dalam keluarga ibu.
Rupanya rumah ibu tadi begitu dekatnya. Kami hanya berjalan kaki ke sana. Jalan kaki ini banyak maknanya, setelah cukup lama berada dalam kendaraan berjalan kaki sungguh melancarkan aliran darah. Lebih dari itu berjalan kaki membuat badan lelah, perut lapar, dan nafsu makan meningkat. Hehehehe. Khan kami ke rumah ibu tersebut untuk makan siang, jadi akan sangat menyenangkan tuan rumah jika kami bisa makan dengan lahap.
Rumah dengan banyak ornament kayu itu begitu menarik. Mungkin yang membuatnya dulu begitu menyukai unsur kayu, meski kebanyakan rumah asli Kalimantan terbuat dari kayu, namun gaya rumah ini cukup beda. Perpaduan gaya modern dan tradisional menjadikan rumah ini cukup eksotis di antara bangunan megah di sisi kiri dan kanannya. Pintu pagar, lantai dan beberapa unsur lain yang terbuat dari kayu membuat suasana hangat.
Mereka menghuni rumah ini baru dua tahun. Sebelumnya mereka tinggal di Pontianak dan Sampit. Perpindahan tempat tinggal mengikuti perpindahan pekerjaan. Ketika kayu menjadi primadona Kalimantan mereka tinggal di Sampit. Ketika kayu habis mereka mengalihkan usaha batu bara. Tentu usaha pertambangan di lakukan jauh dari pemukiman, maka kerapkali rumah ini hanya berisi para wanita dan anak-anak. Suami ibu ini lebih banyak menghabiskan waktunya di pertambangan.
Kami langsung dipersilahkan menuju ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Saat itu di rumah hanya ada Ibu dan anak bungsunya serta dua pembantu perempuan. Dua anaknya yang lain masih di sekolah, tadi waktu presentasi saya sempat bertemu. Saya dan pak Agus langsung mengambil tempat duduk. Setelah menunggu sebantar anak bungsunya langsung bergabung bersama kami. Usianya masih 3 tahun lebih. Sikapnya sangat terbuka dan cenderung apa adanya. Tipe anak cerdas yang akan memusingkan guru jika tidak siap menghadapi keterbukaan dan segala pertanyaan.
Di meja makan terhidang empat amcam masakan. Ada sayur asem, sop buntut, ayam kecap, dan ‘huiwan’ (saya tidak tahu menulisnya tapi kedengarannya seperti itu hahahahaha, terbuat dari udang yang dihaluskan dan dicampur sedikit tepung dan di goreng). Saya cukup heran mengapa si ibu mesti memasak beberapa jenis masakan padahal penghuni rumah ini hanya sedikit. Saya mengambil sop buntut tanpa nasi, rasanya segar di tengah panasnya kota Banjarmasin. Daging sapinya dimasak lunak sehingga di mulut tidak mengadakan perlawanan sama sekali. Sesi kedua saya mengambil sedikit nasi dan ayam kecap. Setelah itu saya ambil huiwan beberapa potong tanpa nasi, yah seperti camilan saja, rasanya memang udang banget hahahahaha.
Saat kami makan dua anaknya datang dari sekolah. Mereka langsung duduk di meja makan dan dilayani oleh pembantu rumah. Si sulung makan dengan sangat santun, hanya makan nasi dan sayur asem. Sedang adiknya begitu lahap dengan sop buntut dan ayam bergantian. Si adik menambah piringnya dengan nasi lagi hingga tiga kali untuk mengimbangi daging yang terus ia cedok. Sementara itu si kakak masih berjuang menghabiskan nasi pertamanya, ia bahkan tidak mengambil daging sama sekali. Menurut si ibu, anak sulungnya itu tidak begitu suka daging dan suka sayuran, ia juga tipe tidak pilih-pilih makanan. Sementara adiknya mesti ada daging baru lahap. Efeknya jelas terlihat. Si adik lebih gemuk dan gempal sedang kakaknya lebih langsing.
Bye Banjar
Selesai makan saya langsung meminta tolong untuk dipesankan tiket bis menuju Samarinda. Rencananya sore hari saya ingin meluncur ke Samarinda. Sore hari yang saya maksudkan ya sekitar jam 6 atau jam 7. Betapa terkejutnya kami ketika jadwal bis itu adalah jam 3 sore. Padahal saat itu sudah jam 2.30. kontan kami segera mohon pamit untuk menyiapkan barang-barang. Pak Agus mencoba menghubungi pangkalan bis lagi untuk mencari bis lain yang mungkin berangkat lebih sore. Syukurlah ada bis lain yang berangkat jam 4 sore, maka saya masih memiliki kesempatan untuk mandi dan packing lebih longgar.
Setelah mandi dan menata barang, yahh barangku jadi bertambah karena ada beberapa titipan. Waktu datang saya hanya membawa satu tas ransel, sekarang mesti ditambahi satu tas tenteng. Setelah berpamitan saya diantar menuju terminal. Waktu itu jam masih menunjukkan angka 15.20 waktu Banjar, masih ada cukup waktu untuk ngobrol-ngobrol. Saya bersama Pak Agus ngobrol banyak hal mengenai situasi umat di Banjar, mengenai situasi masyarakat dlsb. Jam 15.50 saya menuju bis yang akan membawaku ke Samarinda. Rupanya tidak banyak penumpang yang mengisi bis ini. Karcis saya bernomor18 dan di belakang saya tidak ada penumpang lagi. Betapa mengenaskannya, bis sebear ini hanya diisi oleh 19 penumpang, padahal biaya yang dikeluarkan oleh bis ini tetap sama meski ia memuat 40 penumpang atau 20 penumpang. Berhubung bangku di belakangku kosong, maka saya pilih pindah agar lebih leluasa. Jam 16.05 bis berngkat meninggalkan terminal Banjarmasin menuju kota Samarinda.
Selamat tinggal Banjar, hanya sehari semalam aku menyinggahimu dan belum banyak yang aku kenal darimu. Mungkin suatu saat jika Tuhan memberi kesempatan, saya akan datang lagi. Menikmati Soto Banjar yang begitu terkenal. Mungkin ini memang sudah diatur agar aku bisa datang lagi untuk menikmatinya. 5 Januari 2009 diiringi mentari yang berpacu menuju ke arah barat seakan berlomba dengan bis yang melaju ke arah utara.
Pesan: tulisan ini udah panjang banget, masa perlu pesan lagi, hehehehehe
Mbatu, 24 Januari 2009
Comments