Luka itu obat (juga)
Pagi ini udara begitu enak, tidak begitu panas, angin mengayun pelan, sehingga tusukannya di kulit tidak terasa. Sangat pas untuk berlari pagi di tepian pantai. Selesai menyantap roti sebagai menu makan pagi, saya memantapkan hati untuk olah raga yang sudah tidak begitu pagi. Toh saya mempersembahkan misa sore hari, kata hati kecil saya memberi dukungan.
Biasanya dari Gereja Port Melbourne saya mengambil jalur ke kiri, arah St. Kilda, namun kali ini saya ingin menyusuri tepian pantai sisi kanan. Berjalan dan berlari di tepian air di sisi kiri dengan diteduhi bayangan apartemen yang menjulang di sisi kanan membuat hati ini terasa riang.
Rupanya yang berminat berolahraga di hari ini sangat banyak. Mereka yang bersepeda, sekadar jalan-jalan atau lari pagi banyak memadati area yang sudah disiapkan untuk mereka. Di antara pemandangan yang biasa itu, artinya orang-orang yang berolahraga, saya melihat ada yang tidak biasa. Seorang suami sibuk dengan istrinya yang duduk di kursi roda. Biasanya kursi roda di sini semuanya elektrik, sehingga bisa berjalan sendiri, tapi yang ini tidak.
Rupanya si istri ingin menikmati belaian air laut. Kebetulan airnya tenang tidak ada ombak, sehingga pasangan itu berusaha mendekat ke air. Mereka lupa bahwa roda kursi roda itu bisa terjerembab ke dalam pasir dan sulit didorong. Namun hal itu tidak mengurangi kegembiraan mereka. Sang suami dengan tertawa-tawa berusaha mendorong kursi roda agar terbebas dari jebakan pasir, sedangkan istrinya menjerit-jerit senang.
Keterbatasan mereka tidak mengurangi niat dan minat untuk memperoleh kegembiraan. Derita dan luka si istri memberi kesempatan bagi sang suami untuk menunjukkan kasihnya lebih besar lagi. Keterbatasan itu menjadi jalan untuk terwujudnya cinta yang lebih besar. Bahkan, keterbatasan mereka memberi kegembiraan lebih dan kesadaran baru bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, minimal saya.
Melihat kegembiraan sepasang suami istri itu saya teringat akan Maria dan Elisabeth. Mereka adalah orang-orang yang terluka yang saling menyembuhkan. Kok bisa? Apa alasannya? Tentu Anda akan bertanya seperti itu. Mari kita lihat dari sisi yang lain kondisi mereka.
Elisabet, selama hidupnya menanggung aib, yaitu sebagai perempuan yang tidak bisa melahirkan anak. Bagi masyarakat Yahudi waktu itu, perempuan yang tidak bisa memberi keturunan kepada suaminya adalah aib. Telah cukup lama ia bisa menerima keadaan itu dan sekarang tiba-tiba ia mengandung di usia tuanya. Bukan sesuatu yang menyenangkan, bahkan lebih mengguncangkan. Nenek-nenek kok mengandung.
Maria, perempuan muda yang belum bersuami, belum pernah disentuh laki-laki, sekarang mengandung. Sebuah aib yang sangat besar, lebih buruk dari pada tidak bisa memberi keturunan bagi suami. Perempuan yang seperti itu patut dilempari batu hingga mati.
Dua orang itu sama-sama terluka. Ketika mereka bertemu, mereka seperti orang-orang yang mencari peneguhan. Peneguhan akan rencana Allah yang mereka dengar melalui malaikat. Pertemuan itu menyembuhkan. Elisabet merasa beruntung karena dikunjungi ibu Tuhan. Maria beruntung karena mengandung Penyelamat.
Buah kandungan yang selama ini menjadi aib, telah menjadi kegembiraan. Yohanes adalah pembuka jalan, sedangkan Yesus adalah Penyelamat. Derita dan luka yang diderita Elisabet mendapat penyembuhan ketika berjumpa dengan Maria yang mengalami derita yang hampir sama. Derita dan luka mereka pun sirna, yang tinggal adalah kegembiraan.
Derita dan luka mereka bukan hanya menyembuhkan, memberi kegembiraan kepada mereka saja, tetapi membawa kegembiraan kepada seluruh umat manusia. Sang penyelamat dunia yang dikandung Maria, itulah sumber kegembiraan-kesembuhan, bagi semua jiwa.
………………….
Melihat sepasang suami istri di tepi pantai tadi dan merenungkan perjumpaan Maria dan Elisabet memberi saya pemahaman baru. Derita dan luka itu memiliki kekuatan penyembuhan yang besar, artinya ketika kita mengalami duka dan luka, di sana sebenarnya ada daya penyembuhan juga.
Biasanya dari Gereja Port Melbourne saya mengambil jalur ke kiri, arah St. Kilda, namun kali ini saya ingin menyusuri tepian pantai sisi kanan. Berjalan dan berlari di tepian air di sisi kiri dengan diteduhi bayangan apartemen yang menjulang di sisi kanan membuat hati ini terasa riang.
Rupanya yang berminat berolahraga di hari ini sangat banyak. Mereka yang bersepeda, sekadar jalan-jalan atau lari pagi banyak memadati area yang sudah disiapkan untuk mereka. Di antara pemandangan yang biasa itu, artinya orang-orang yang berolahraga, saya melihat ada yang tidak biasa. Seorang suami sibuk dengan istrinya yang duduk di kursi roda. Biasanya kursi roda di sini semuanya elektrik, sehingga bisa berjalan sendiri, tapi yang ini tidak.
Rupanya si istri ingin menikmati belaian air laut. Kebetulan airnya tenang tidak ada ombak, sehingga pasangan itu berusaha mendekat ke air. Mereka lupa bahwa roda kursi roda itu bisa terjerembab ke dalam pasir dan sulit didorong. Namun hal itu tidak mengurangi kegembiraan mereka. Sang suami dengan tertawa-tawa berusaha mendorong kursi roda agar terbebas dari jebakan pasir, sedangkan istrinya menjerit-jerit senang.
Keterbatasan mereka tidak mengurangi niat dan minat untuk memperoleh kegembiraan. Derita dan luka si istri memberi kesempatan bagi sang suami untuk menunjukkan kasihnya lebih besar lagi. Keterbatasan itu menjadi jalan untuk terwujudnya cinta yang lebih besar. Bahkan, keterbatasan mereka memberi kegembiraan lebih dan kesadaran baru bagi orang-orang yang ada di sekitarnya, minimal saya.
Melihat kegembiraan sepasang suami istri itu saya teringat akan Maria dan Elisabeth. Mereka adalah orang-orang yang terluka yang saling menyembuhkan. Kok bisa? Apa alasannya? Tentu Anda akan bertanya seperti itu. Mari kita lihat dari sisi yang lain kondisi mereka.
Elisabet, selama hidupnya menanggung aib, yaitu sebagai perempuan yang tidak bisa melahirkan anak. Bagi masyarakat Yahudi waktu itu, perempuan yang tidak bisa memberi keturunan kepada suaminya adalah aib. Telah cukup lama ia bisa menerima keadaan itu dan sekarang tiba-tiba ia mengandung di usia tuanya. Bukan sesuatu yang menyenangkan, bahkan lebih mengguncangkan. Nenek-nenek kok mengandung.
Maria, perempuan muda yang belum bersuami, belum pernah disentuh laki-laki, sekarang mengandung. Sebuah aib yang sangat besar, lebih buruk dari pada tidak bisa memberi keturunan bagi suami. Perempuan yang seperti itu patut dilempari batu hingga mati.
Dua orang itu sama-sama terluka. Ketika mereka bertemu, mereka seperti orang-orang yang mencari peneguhan. Peneguhan akan rencana Allah yang mereka dengar melalui malaikat. Pertemuan itu menyembuhkan. Elisabet merasa beruntung karena dikunjungi ibu Tuhan. Maria beruntung karena mengandung Penyelamat.
Buah kandungan yang selama ini menjadi aib, telah menjadi kegembiraan. Yohanes adalah pembuka jalan, sedangkan Yesus adalah Penyelamat. Derita dan luka yang diderita Elisabet mendapat penyembuhan ketika berjumpa dengan Maria yang mengalami derita yang hampir sama. Derita dan luka mereka pun sirna, yang tinggal adalah kegembiraan.
Derita dan luka mereka bukan hanya menyembuhkan, memberi kegembiraan kepada mereka saja, tetapi membawa kegembiraan kepada seluruh umat manusia. Sang penyelamat dunia yang dikandung Maria, itulah sumber kegembiraan-kesembuhan, bagi semua jiwa.
………………….
Melihat sepasang suami istri di tepi pantai tadi dan merenungkan perjumpaan Maria dan Elisabet memberi saya pemahaman baru. Derita dan luka itu memiliki kekuatan penyembuhan yang besar, artinya ketika kita mengalami duka dan luka, di sana sebenarnya ada daya penyembuhan juga.
Comments