Menjadi Tua
Siang tadi saya ikut pertemuan lansia. Berhubung ini pertemuan perdana, maka saya sekalian mempersembahkan misa. Saya selalu senang jika bertemu dengan orang-orang senior ini. Apalagi mereka mau bersama-sama menyempatkan diri di siang hari untuk berdoa bersama.
Para seniores ini adalah orang-orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Melbourne. Sekarang mereka tidak lagi diikat oleh pekerjaan tetap. Di antara mereka yang paling senior berusia 91 tahun dan istrinya yang tadi berulang tahun berusia 85 tahun. Cukup mengharukan, karena membuat hati ini ngiri, “bisa nggak ya mencapai usia segitu?” (Ah, itu khan urusan Tuhan).
Di tangah suasana itu saya teringat cerita teman saya yang baru saja berkunjung ke sebuah panti jompo. Ini yang hendak saya bagikan kepada Anda.
Teman saya ini memiliki kebiasaan berkunjung ke rumah jompo bersama kelompoknya. Hari itu ia sekali lagi melakukan hal yang sama. Seperti biasa mereka ngobrol, bersenda gurau dengan orang-orang tua itu, sedikit berbagi kegembiraan di tengah rutinitas hidup. Namun kali itu ia melihat seorang bapak duduk sendiri. Teman saya mendekat dan mengajaknya berbicara.
Pada mulanya bapak itu tidak banyak berbicara, tatapan matanya kosong tidak memiliki semangat hidup lagi. Namun kemudian keluarlah sebuah cerita yang sangat menyesakkan dada.
Dulu ia adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Ia bekerja sangat keras agar bisa memenuhi segala kebutuhan rumah tangga. Pagi hari sebelum orang berangkat bekerja ia telah mulai bekerja, malam ketika yang lain telah beristirahat, ia baru tiba di rumah. Ia tidak ingin anak-anak yang sangat ia kasihi menderita. Apa pun yang diminta oleh anaknya, ia bisa mewujudkannya. Semua anaknya ia sekolahkan di luar negri, hingga akhirnya juga menjadi orang-orang yang sukses.
Tibalah ketika bapak itu mulai pensiun. Ia dengan penuh kegembiraan menyerahkan semua pekerjaan dan perusahaan kepada anak-anaknya. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba saja istrinya meninggal tanpa didahului sakit sebelumnya. Lelaki itu sangat sedih, perempuan yang selama ini menjadi tempat berbagi dan menjadi kekuatannya telah pergi.
Setelah kematian istrinya ia menjadi pemurung dan terus dirundung kesepian. Akhirnya anaknya yang sulung datang. Ia hendak menjual rumah besar itu dan mengajak ayahnya tinggal bersama. Toh rumahnya juga besar, dari pada berat diongkos lebih baik dijual. Ia setuju, karena akan lebih dekat dengan anak dan cucunya.
Belum ada seminggu ia tinggal bersama anaknya ia merasakan lebih kesepian lagi. Anaknya sibuk bekerja, bahkan kalau di rumah, dan cucu-cucunya tidak ada yang mau mendekat. Palingan hanya menyapa ala kadarnya. Mereka juga sibuk dengan belajar, les, bermain, dll. Ia sungguh kesepian.
Lalu ia pindah ikut anaknya yang nomor dua, dan kemudian pindah lagi kepada anaknya yang bungsu, yang dulu sangat ia sayangi. Di sana ia hanya tinggal hampir sebulan. Dengan berbagai pertimbangan, anaknya mengirim dia ke rumah jompo ini.
“Di sana papa akan memiliki banyak teman, kami juga akan sering menengok, “ alasan anaknya mengirim dia ke panti wreda ini. Mulanya ia senang, karena memang bisa bertemu dengan teman-teman yang sama-sama tua. Namun janji anaknya yang ingin berkunjung tak juga datang.
Telah dua tahun ia dipanti jompo ini dan tak sekalipun dijenguk oleh anaknya. Ia sedih, kecewa dan sakit hati. Kesalahan apa yang telah diperbuat hingga anak-anaknya tidak ada yang memerhatikan keadaannya di waktu tua. Ia tidak mengharapkan banyak, ia hanya meminta perhatian.
……………………
Cerita teman saya tadi kembali bergemuruh di dalam hati, saat saya berdiri di hadapan orang-orang yang telah menjadi tua ini. Aku mencoba melihat kembali sosok-sosok ceria di depanku siang tadi. Mereka begitu gembira, bernyanyi bersama, berdoa, saling goda, semoga itu mengalir dari hati.
Namun masih tersisa satu pertanyaan, mengapa ada anak-anak yang tidak memerhatikan orangtuanya? Adakah kesalahan yang tak termaafkan dari orangtuanya? Mengapa mereka tidak menyadari bahwa suatu saat mereka juga tua?
Mungkin Anda pernah mendengar cerita seperti ini. Semoga membuat Anda semakin bijaksana dalam mencintai orangtua dan anak-anak yang dititipkan ‘Tuhan’ pada Anda. Semoga dalam perjalanan kita menjadi tua, ada kegembiraan dan cinta menunggu di ujung senja.
Para seniores ini adalah orang-orang Indonesia yang telah cukup lama tinggal di Melbourne. Sekarang mereka tidak lagi diikat oleh pekerjaan tetap. Di antara mereka yang paling senior berusia 91 tahun dan istrinya yang tadi berulang tahun berusia 85 tahun. Cukup mengharukan, karena membuat hati ini ngiri, “bisa nggak ya mencapai usia segitu?” (Ah, itu khan urusan Tuhan).
Di tangah suasana itu saya teringat cerita teman saya yang baru saja berkunjung ke sebuah panti jompo. Ini yang hendak saya bagikan kepada Anda.
Teman saya ini memiliki kebiasaan berkunjung ke rumah jompo bersama kelompoknya. Hari itu ia sekali lagi melakukan hal yang sama. Seperti biasa mereka ngobrol, bersenda gurau dengan orang-orang tua itu, sedikit berbagi kegembiraan di tengah rutinitas hidup. Namun kali itu ia melihat seorang bapak duduk sendiri. Teman saya mendekat dan mengajaknya berbicara.
Pada mulanya bapak itu tidak banyak berbicara, tatapan matanya kosong tidak memiliki semangat hidup lagi. Namun kemudian keluarlah sebuah cerita yang sangat menyesakkan dada.
Dulu ia adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Ia bekerja sangat keras agar bisa memenuhi segala kebutuhan rumah tangga. Pagi hari sebelum orang berangkat bekerja ia telah mulai bekerja, malam ketika yang lain telah beristirahat, ia baru tiba di rumah. Ia tidak ingin anak-anak yang sangat ia kasihi menderita. Apa pun yang diminta oleh anaknya, ia bisa mewujudkannya. Semua anaknya ia sekolahkan di luar negri, hingga akhirnya juga menjadi orang-orang yang sukses.
Tibalah ketika bapak itu mulai pensiun. Ia dengan penuh kegembiraan menyerahkan semua pekerjaan dan perusahaan kepada anak-anaknya. Namun untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Tiba-tiba saja istrinya meninggal tanpa didahului sakit sebelumnya. Lelaki itu sangat sedih, perempuan yang selama ini menjadi tempat berbagi dan menjadi kekuatannya telah pergi.
Setelah kematian istrinya ia menjadi pemurung dan terus dirundung kesepian. Akhirnya anaknya yang sulung datang. Ia hendak menjual rumah besar itu dan mengajak ayahnya tinggal bersama. Toh rumahnya juga besar, dari pada berat diongkos lebih baik dijual. Ia setuju, karena akan lebih dekat dengan anak dan cucunya.
Belum ada seminggu ia tinggal bersama anaknya ia merasakan lebih kesepian lagi. Anaknya sibuk bekerja, bahkan kalau di rumah, dan cucu-cucunya tidak ada yang mau mendekat. Palingan hanya menyapa ala kadarnya. Mereka juga sibuk dengan belajar, les, bermain, dll. Ia sungguh kesepian.
Lalu ia pindah ikut anaknya yang nomor dua, dan kemudian pindah lagi kepada anaknya yang bungsu, yang dulu sangat ia sayangi. Di sana ia hanya tinggal hampir sebulan. Dengan berbagai pertimbangan, anaknya mengirim dia ke rumah jompo ini.
“Di sana papa akan memiliki banyak teman, kami juga akan sering menengok, “ alasan anaknya mengirim dia ke panti wreda ini. Mulanya ia senang, karena memang bisa bertemu dengan teman-teman yang sama-sama tua. Namun janji anaknya yang ingin berkunjung tak juga datang.
Telah dua tahun ia dipanti jompo ini dan tak sekalipun dijenguk oleh anaknya. Ia sedih, kecewa dan sakit hati. Kesalahan apa yang telah diperbuat hingga anak-anaknya tidak ada yang memerhatikan keadaannya di waktu tua. Ia tidak mengharapkan banyak, ia hanya meminta perhatian.
……………………
Cerita teman saya tadi kembali bergemuruh di dalam hati, saat saya berdiri di hadapan orang-orang yang telah menjadi tua ini. Aku mencoba melihat kembali sosok-sosok ceria di depanku siang tadi. Mereka begitu gembira, bernyanyi bersama, berdoa, saling goda, semoga itu mengalir dari hati.
Namun masih tersisa satu pertanyaan, mengapa ada anak-anak yang tidak memerhatikan orangtuanya? Adakah kesalahan yang tak termaafkan dari orangtuanya? Mengapa mereka tidak menyadari bahwa suatu saat mereka juga tua?
Mungkin Anda pernah mendengar cerita seperti ini. Semoga membuat Anda semakin bijaksana dalam mencintai orangtua dan anak-anak yang dititipkan ‘Tuhan’ pada Anda. Semoga dalam perjalanan kita menjadi tua, ada kegembiraan dan cinta menunggu di ujung senja.
Comments