Anakku Mau Jadi Romo?
Judul tulisan ini sengaja diberi tanda Tanya. Bayangkan yang mengucapkan kalimat di atas adalah seorang ibu yang terkejut karena diberitahu kalau anaknya mau jadi pastur. Ibu itu terkejut bukan karena tidak percaya tetapi tidak rela dan ada nada tidak boleh.
Beberapa waktu yang lalu saya melontarkan pertanyaan di situs jejaring sosial di internet mengenai kerelaan ibu jika anaknya memutuskan menjadi pastur. Ada 16 orang yang menanggapi, 12 ibu-ibu dan calon ibu 3 orang kemungkinan bapak-bapak. 13 ibu semuanya rela dan bahkan berharap anak-anak mereka menjadi pastur. Para bapak kok kebetulan kurang rela anaknya jadi pastur. Bahkan ada satu ibu mensharingkan pengharapannya tersebut. Berikut saya kutipkan apa yang beliau tulis untuk saya.
Sharing seorang ibu ini sangat menyentuh, bahkan menyadarkan saya bahwa masih banyak orangtua yang sangat rela anaknya menajdi pastur. Sharing ibu yang lain lagi menambah keyakinan saya bahwa masih Allah masih berkarya dan memanggil anak-anak untuk menjadi gembala.
Sekali lagi sungguh mengharukan. Di tengah keraguan banyak orang dan ketakutan bahwa akan makin sedikit orang yang tertarik menajdi pastur, ternyata masih ada ibu-ibu yang mempersembahkan kepada Tuhan apa yang mereka terima dari Tuhan.
Apakah harapan dan keinginan orangtua saja cukup? Tentu tidak. Satu hal yang pasti, imam/pastur itu lahir dari keluarga. Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan baik yang ada dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak, juga dalam cita-cita menjadi pastur. Hal konkrit apa yang bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga dalam mendukung panggilan?
Pertama, belajar berserah kepada Tuhan. Seluruh hidup adalah kehendak dan menjadi milik Tuhan. Maka mau menajdi apa pun anak-anak kita, asal kita serahkan kepada Tuhan adalah yang terbaik. Seperti Hana yang menyerahkan anaknya kepada Tuhan (1 Sam 1:26-28). Juga belajar seperti Maria, menyerahkan kehendak Tuhan yang terjadi (Luk 1:38).
Kedua, memberikan lingkuan yang baik dalam keluarga. Makan bersama, berdoa bersama, diberi cerita-cerita yang baik (Kitab Suci), akan berdampak besar bagi perkembangan anak. Sifat dan karakter anak terbentuk karena pertama-tama mereka melihat dan meniru. Jika yang dilihat dan ditiru adalah hal-hal yang baik, maka mereka kan tumbuh menjadi anak yang berkarakter baik.
Ketiga, mengarahkan kepada hal yang baik. Sekolah minggu, ke gereja, berdoa, beramal, dll. Jika orang tua tidak bisa memberi pengajaran mengenai agama yang baik, dan di sekolah hal tersebut tidak ditekankan, maka orangtua mesti mendorong anak-anaknya ikut sekolah minggu atau kegiatan lain yang memperkaya pengetahuan iman anak. Jika tidak memungkinkan, orangtualah yang mesti belajar dan mengajari sendiri anaknya mengenai ajaran-ajaran iman dan bagaimana mesti berlaku.
Keempat, baik kalau keluarga itu memiliki anak lebih dari satu, sehingga kalau ada yang memutuskan menajdi pastur, masih ada yang lain. Sepertinya saran yang ini ‘kayak guyonan’, tetapi hal ini serius. Berkurangnya calon yang masuk seminari pertama-tama disebabkan suksesnya KB yang digalang pemerintah. Dengan sedikit anak, rasa berat untuk ‘ditinggal’ semakin berat. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, hidup dan seluruh kehidupan manusia diatur oleh Tuhan dan diusahakan oleh manusia. Seperti saran pertama, hal itu kiranya juga berlaku dalam hal memiliki keturunan. Saran ini pasti akan disanggah, ‘waduh punya anak satus aja repot, mahal, apalagi punya dua atau tiga apalagi empat”. Mari kita sungguh percaya kepada Tuhan. Kiranya Ia selalu yang menopang kehidupan kita.
Sekali lagi, Imam/pastur itu berasal dari keluarga. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang dalam keluarga. Setiap keluarga Katolik memiliki tanggungjawab yang sama. Setiap keluraga memiliki tugas yang sama, menjamin kelangsungan Gereja dengan ‘menyediakan’ imam sebagai pelayannya. Pengalaman keluarga-keluarga yang anaknya menjadi imam sangat mendebarkan hati dan membahagiakan. Tidakkah ibu bapak ingin memiliki pengalaman yang sama?
Melbourne, 09-01-10 (10.00 pm)
Romo Waris, O.Carm
Beberapa waktu yang lalu saya melontarkan pertanyaan di situs jejaring sosial di internet mengenai kerelaan ibu jika anaknya memutuskan menjadi pastur. Ada 16 orang yang menanggapi, 12 ibu-ibu dan calon ibu 3 orang kemungkinan bapak-bapak. 13 ibu semuanya rela dan bahkan berharap anak-anak mereka menjadi pastur. Para bapak kok kebetulan kurang rela anaknya jadi pastur. Bahkan ada satu ibu mensharingkan pengharapannya tersebut. Berikut saya kutipkan apa yang beliau tulis untuk saya.
Selamat pagi Romo...maaf saya comment statusnya di sini saja ya Romo.
2 orang anak di profil picture adalah anak-anak kami. Yang cewek terlahir downsyndrome berusia 15 th, yang cowok 9,5 th bernama Nicholas sejak kecil kalo ditanya apa cita-citanya...dia akan menjawab, mau jadi Pastor. Dan dia sangat tertarik dengan kehidupan seorang Romo...setiap Minggu minta diantarkan ke sekolah minggu, meski dalam kondisi tidak sehat sekalipun dia tetap ngotot...kalau saya absen berdoa sekali saja Mo, dia akan ngingetin lho...temen-temen saya yang pernah dengar keinginan Nicholas sudah banyak yang menyarankan saya untuk menekan Cita-citanya itu dari sekarang...mereka bilang, cuma Nicholas satu-satunya yang bisa kami andalkan untuk hidup kami di masa datang, bahkan orang tua pun sudah mulai mencegah saya membawa Nicholas mengenal kehidupan seminari. Kebetulan waktu itu dari sekolah minggu diadakan acara mengunjungi seminari St. Petrus untuk memperkenalkan pada anak tetang panggilan...kami sebagai orang tua sangat mendukung dan justru bangga ya Mo...seandainya cita-cita anak kami bisa terwujud...saya teramat yakin, rencana Tuhan selamanya adalah rencana yang terindah bagi kita umat-Nya...masa depan kita sudah pula diatur oleh-Nya...jadi kenapa mesti takut ya Romo...thanks ya sudah mau membaca curhat saya Romo...selamat beraktifitas ya...salam dari kami sekeluarga.
Sharing seorang ibu ini sangat menyentuh, bahkan menyadarkan saya bahwa masih banyak orangtua yang sangat rela anaknya menajdi pastur. Sharing ibu yang lain lagi menambah keyakinan saya bahwa masih Allah masih berkarya dan memanggil anak-anak untuk menjadi gembala.
Anak kembarku laki-laki masih 6 th lahir 11.8.2003 Mikael Lukas Gloria Deo + Mikael Lukas Agnus Dei. (semasa) masih dikandungan aku wis nyiapkan nama itu. Mikaeal nama babtis Lukas nama krisma. Bila mereka jadi romo, aku ingin mereka dipanggil Romo Gloria Deo + Romo Agnus Dei. Bila Tuhan menghendaki mereka jadi romo, silakan, aku justru terharu+ bangga. Wis (sudah. Red) aku siapkan sejak mereka dikandungan. Trims
Sekali lagi sungguh mengharukan. Di tengah keraguan banyak orang dan ketakutan bahwa akan makin sedikit orang yang tertarik menajdi pastur, ternyata masih ada ibu-ibu yang mempersembahkan kepada Tuhan apa yang mereka terima dari Tuhan.
Apakah harapan dan keinginan orangtua saja cukup? Tentu tidak. Satu hal yang pasti, imam/pastur itu lahir dari keluarga. Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Kebiasaan-kebiasaan baik yang ada dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan anak, juga dalam cita-cita menjadi pastur. Hal konkrit apa yang bisa dilakukan oleh keluarga-keluarga dalam mendukung panggilan?
Pertama, belajar berserah kepada Tuhan. Seluruh hidup adalah kehendak dan menjadi milik Tuhan. Maka mau menajdi apa pun anak-anak kita, asal kita serahkan kepada Tuhan adalah yang terbaik. Seperti Hana yang menyerahkan anaknya kepada Tuhan (1 Sam 1:26-28). Juga belajar seperti Maria, menyerahkan kehendak Tuhan yang terjadi (Luk 1:38).
Kedua, memberikan lingkuan yang baik dalam keluarga. Makan bersama, berdoa bersama, diberi cerita-cerita yang baik (Kitab Suci), akan berdampak besar bagi perkembangan anak. Sifat dan karakter anak terbentuk karena pertama-tama mereka melihat dan meniru. Jika yang dilihat dan ditiru adalah hal-hal yang baik, maka mereka kan tumbuh menjadi anak yang berkarakter baik.
Ketiga, mengarahkan kepada hal yang baik. Sekolah minggu, ke gereja, berdoa, beramal, dll. Jika orang tua tidak bisa memberi pengajaran mengenai agama yang baik, dan di sekolah hal tersebut tidak ditekankan, maka orangtua mesti mendorong anak-anaknya ikut sekolah minggu atau kegiatan lain yang memperkaya pengetahuan iman anak. Jika tidak memungkinkan, orangtualah yang mesti belajar dan mengajari sendiri anaknya mengenai ajaran-ajaran iman dan bagaimana mesti berlaku.
Keempat, baik kalau keluarga itu memiliki anak lebih dari satu, sehingga kalau ada yang memutuskan menajdi pastur, masih ada yang lain. Sepertinya saran yang ini ‘kayak guyonan’, tetapi hal ini serius. Berkurangnya calon yang masuk seminari pertama-tama disebabkan suksesnya KB yang digalang pemerintah. Dengan sedikit anak, rasa berat untuk ‘ditinggal’ semakin berat. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, hidup dan seluruh kehidupan manusia diatur oleh Tuhan dan diusahakan oleh manusia. Seperti saran pertama, hal itu kiranya juga berlaku dalam hal memiliki keturunan. Saran ini pasti akan disanggah, ‘waduh punya anak satus aja repot, mahal, apalagi punya dua atau tiga apalagi empat”. Mari kita sungguh percaya kepada Tuhan. Kiranya Ia selalu yang menopang kehidupan kita.
Sekali lagi, Imam/pastur itu berasal dari keluarga. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang dalam keluarga. Setiap keluarga Katolik memiliki tanggungjawab yang sama. Setiap keluraga memiliki tugas yang sama, menjamin kelangsungan Gereja dengan ‘menyediakan’ imam sebagai pelayannya. Pengalaman keluarga-keluarga yang anaknya menjadi imam sangat mendebarkan hati dan membahagiakan. Tidakkah ibu bapak ingin memiliki pengalaman yang sama?
Melbourne, 09-01-10 (10.00 pm)
Romo Waris, O.Carm
Comments