Membuat Taman
Salah satu yang menarik dari kota Melbourne adalah adanya banyak taman. Tidak selalu berhiaskan bunga, tetapi selalu ada kesejukan.
Albert Park yang terkenal karena menjadi lokasi balapan mobil F1 tidak menyajikan hamparan bunga, namun memberikan ruang yang luas bagi pencari ketenangan. Ada danau buatan, ada area golf, ada tempat berlatih renang, dan yang pasti ada banyak tempat untuk sekadar menggelar tikar, bercengkerama dengan kerabat atau rekan sambil menyantap hidangan.
Saya belum mengunjungi satu persatu taman tersebut. Yang pasti tiap sudut kota ada taman. Unsur utama dari taman di Melbourne hanyalah pohon dan tanah lapang berselimutkan rumput. Ada taman yang berhiaskan bunga, itu pun sedikit sekali.
Berjalan-jalan di taman selalu menambah kesegaran hati saya. Udara kota Melbourne yang terkadang berubah-ubah semaunya sendiri mampu teredam saat kita berada di bawah teduhnya pepohonan sambil membaca buku. Burung-burung yang berkerumun, jinak-jinak manja minta makanan, menjadi hiburan tersendiri untuk bercengkerama.
Melihat keindahan berbagai taman, bahkan yang sederhana sekalipun di kota Melbourne saya jadi teringat akan kota asal saya, di Malang, Jawa Timur. Kota yang sebenarnya sejuk, namun sudah semakin panas karena padatnya perumahan dan kendaraan. Kota yang pernah mendapat julukan Paris van Java di tahun 30-an itu saat ini kesulitan mencari tempat yang lapang. Hamper setiap sudut perempatan jalan berdiri ruko-ruko. Sungguh sulit mencari tanah yang lapang tempat bermain bola atau laying-layang, membayangkan taman, aduh jauh sekali.
Mungkin ad ataman di perumahan-perumahan yang bagus, yang kalau masuk mesti lapor kepada satpam. Toh biasanya tidak luas. Bahkan hutan kota yang sempit saja sudah didirikan bangunan, katanya bangunan untuk kantor kecamatan. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa pemerintah merestui berbagai pembangunan gedung-gedung yang memenuhi seluruh jengkal tanah.
Rawa-rawa di belakang museum yang dulu menjadi daerah penyerapan air, telah berubah menjadi kompleks perumahan yang mewah. Area persawahan yang membentang luas di daerah Sumbersari telah berubah menajdi jajaran perumahan. Sedikit area hutan di belakang Jalan Lansep telah dibabat habis dan berubah menajdi perumahan, meskipun ada embel-embel ‘tetap mempertahankan area hijau’.
Para developer berlomba-lomba membangun kompleks perumahan atau ruko. Belum ada yang berusaha membangun taman, memberi tempat bagi banyak orang untuk mereguk ketenangan. Mungkin hal yang sama terjadi di banyak kota, di mana area kosong-area hijau makin sempit bahkan hilang berganti dengan perumahan atau pertokoan.
Saya masih merindukan taman. Mungkin saya akan memulai dengan menata taman hati saya agar nyaman jika ada yang membutuhkan tempat, untuk sekadar ‘mencari angin’.
Melbourne, 9 Januari 2010.
Albert Park yang terkenal karena menjadi lokasi balapan mobil F1 tidak menyajikan hamparan bunga, namun memberikan ruang yang luas bagi pencari ketenangan. Ada danau buatan, ada area golf, ada tempat berlatih renang, dan yang pasti ada banyak tempat untuk sekadar menggelar tikar, bercengkerama dengan kerabat atau rekan sambil menyantap hidangan.
Saya belum mengunjungi satu persatu taman tersebut. Yang pasti tiap sudut kota ada taman. Unsur utama dari taman di Melbourne hanyalah pohon dan tanah lapang berselimutkan rumput. Ada taman yang berhiaskan bunga, itu pun sedikit sekali.
Berjalan-jalan di taman selalu menambah kesegaran hati saya. Udara kota Melbourne yang terkadang berubah-ubah semaunya sendiri mampu teredam saat kita berada di bawah teduhnya pepohonan sambil membaca buku. Burung-burung yang berkerumun, jinak-jinak manja minta makanan, menjadi hiburan tersendiri untuk bercengkerama.
Melihat keindahan berbagai taman, bahkan yang sederhana sekalipun di kota Melbourne saya jadi teringat akan kota asal saya, di Malang, Jawa Timur. Kota yang sebenarnya sejuk, namun sudah semakin panas karena padatnya perumahan dan kendaraan. Kota yang pernah mendapat julukan Paris van Java di tahun 30-an itu saat ini kesulitan mencari tempat yang lapang. Hamper setiap sudut perempatan jalan berdiri ruko-ruko. Sungguh sulit mencari tanah yang lapang tempat bermain bola atau laying-layang, membayangkan taman, aduh jauh sekali.
Mungkin ad ataman di perumahan-perumahan yang bagus, yang kalau masuk mesti lapor kepada satpam. Toh biasanya tidak luas. Bahkan hutan kota yang sempit saja sudah didirikan bangunan, katanya bangunan untuk kantor kecamatan. Saya jadi bertanya-tanya, mengapa pemerintah merestui berbagai pembangunan gedung-gedung yang memenuhi seluruh jengkal tanah.
Rawa-rawa di belakang museum yang dulu menjadi daerah penyerapan air, telah berubah menjadi kompleks perumahan yang mewah. Area persawahan yang membentang luas di daerah Sumbersari telah berubah menajdi jajaran perumahan. Sedikit area hutan di belakang Jalan Lansep telah dibabat habis dan berubah menajdi perumahan, meskipun ada embel-embel ‘tetap mempertahankan area hijau’.
Para developer berlomba-lomba membangun kompleks perumahan atau ruko. Belum ada yang berusaha membangun taman, memberi tempat bagi banyak orang untuk mereguk ketenangan. Mungkin hal yang sama terjadi di banyak kota, di mana area kosong-area hijau makin sempit bahkan hilang berganti dengan perumahan atau pertokoan.
Saya masih merindukan taman. Mungkin saya akan memulai dengan menata taman hati saya agar nyaman jika ada yang membutuhkan tempat, untuk sekadar ‘mencari angin’.
Melbourne, 9 Januari 2010.
Comments