Healing, Pengantar
Kemarin, setelah saya membuat catatan mengenai “maaf dan sembuh”,
ada seorang sahabat yang berkomentar melalui inbox, “penyakit kok ngantri,
terus sekarang bagaimana?”
Saya tergelitik dengan ungkapan “penyakit kok ngantri” lalu
“sekarang bagaimana”. Mungkin saya jawab yang kedua, bahwa sekarang saya
baik-baik saja. Telapak kaki saya memang “ceper”, otot tulang belakang memang
mengalami penjepitan, tetapi saya masih bisa hiking 4-5 jam.
Apakah jika demikian sudah tidak perlu takut lagi? Takut memang
tidak perlu, tetapi hati-hati mestilah perlu. Hal ini berkaitan dengan komentar
yang pertama, “penyakit kok ngantri”. Rasanya antrian orang menunggu bis di
Causeway Bay - Hong Kong kalah panjang dibanding antrian penyakit ini. Tetapi
semua baik dan terkendali, yang dibutuhkan adalah kehati-hatian dan terus
mengupayakan proses penyembuhan. Ada baiknya saya ceritakan proses
“penyembuhan” dari penyakit-penyakit atau cacat-cacat saya tersebut.
Mata.
Mata saya memang bisa dibilang “cacat”. Bukan hanya karena minus
yang begitu tebal, tetapi juga bentuknya cacat. Saya pernah memeriksakan
kondisi mata ini kepada dokter yang (katanya) paling terkenal di Melbourne.
Setelah melalui sekian pemeriksaan didapat beberapa kesimpulan.
Pertama, dia tidak tahu kenapa mata saya bisa begitu, antara kiri
dan kanan memiliki minus yg berbeda teramat tajam. Mata kanan minus 12 mata
kiri minus 2.5. Kedua, bentuk mata saya tidak cembung sempurna. Maka lensa
kontak tidak bisa membantu saya, bahkan akan melukai mata saya. Mata saya
sekarang relative lebih baik.
Maka, untuk menolong, ditanamlah sebentuk lensa di dalam mata kanan
saya. Persis di depan lensa mata yang diberi oleh Tuhan. Hasilnya lumayan. Mata
kanan saya bisa berfungsi lagi, bahkan minusnya hampir NOL. Hanyaaaa, mata
kanan saya tidak bisa disentuh sembarangan, tidak bisa dikucek-kucek, dll.
Persoalan belum selesai, mata itu berkaitan dengan kinerja otak.
Sudah lebih dari 30 tahun otak yang berkaitan dengan mata kanan saya tidak
bekerja. Sekarang tiba-tiba mata kanan saya bisa mengirimkan berbagai sinyal ke
otak, tentu dia gelagapan. Ini tidak mudah. Tapi biarlah terjadi, biarlah otak
saya bekerja kembali setelah sekian lama tertidur lelap. Demikianlah mata saya.
Kaki.
Sudah saya ceritakan bahwa semenjak saya menggunakan sepatu yg
dikhususkan bagi telapak kaki rata, kondisi kaki saya jauh lebih baik. Selama 3
tahun melayani di Melbourne, saya hampir tidak pernah berkeluh mengenai kondisi
kempol yang dulu kerap kali kemeng alias njarem bin sakit sekali.
Persoalan berbeda ketika saya kembali ke Indonesia di akhir tahun
2012. Sepatu yang saya beli hanya sepasang. Itu harus terus saya pakai setiap
hari. Ketika di Melbourne, memakai sepatu setiap hari adalah hal yang biasa.
Lain halnya dengan di Indonesia. Masih banyak orang yang jengah ketika melihat
orang lain memakai sepatu setiap hari pada hal dia hanya di rumah saja. saya
menangkap kejengahan itu. Maka saya mulai memakai sandal jepit. Dan problem
mulai datang lagi. Ya ini sih kegeblegan saya, wong tahu kaki sakit kok masih
mempertimbangkan kejenggahan orang lain.
Tetapi juga ada hal lain. sepatu itu cepat aus. Saya tidak tahu
kenapa. Mungkin karena daya tekan dan posisi tekan atau posisi tumpu yg
berbeda, membuat sol sepatu cepat habis. Dan ketika harus membeli sepatu kembali,
sulitlah menemukan sepatu yang sejenis, yg khusus disediakan bagi kaki-kaki
“cacat”.
Bahkan ketika saya pindah ke Hong Kong, saya kesulitan mencari
sepatu seperti yang saya ingini. Ada banyak sekali gerai sepatu, tetapi yg
memiliki spesifikasi khusus amatlah sedikit. Bahkan sepatu-sepatu yang
diproduksi oleh Dr. Kong-pun tidak pas, padahal harganya mahal. Tetapi hidup
harus terus berjalan, dengan atau tanpa sepatu yang pas di kaki. Kuncinya
adalah memberi kesempatan kepada betis untuk beristirahat.
Pinggang?
Bagaimana dengan kondisi pinggang saya? Karena penjepitan otot
tulang belakang lebih berpengaruh kepada pinggang dan pantat. Setelah melakukan
terapi dan pijat beberapa kali, kondisinya sudah lumayan. Terkadang masih
sakit. Namun pilihan-pilihan harus dibuat. Misalnya, tidak memilih kasur yang
empuk, tidak memilih kursi yg empuk, menghindari duduk di sofa yang nyaman,
memakai stagen kalau akan mengangkat sesuatu, dll.
Apakah jika demikian kegiatan saya menajdi sangat terbatas? Tidak
juga. Semua yang harus dilakukan masih bisa dilakukan. Yang tidak harus
dilakukan tidak perlu diperbuat. Sedapat mungkin menjaga diri, menjaga posisi
duduk dan tempat duduk, itu akan membantu.
Apakah tidak mungkin dioperasi? Mungkin saja. tetapi dari banyak
pihak yang mengalami, bahkan para dokterpun mengatakan, operasi adalah pilihan
terakhir dan hasilnya tidaklah 100% menyelesaikan masalah. Maka sekarang saya
mulai menanamkan dalam diri untuk menerima kondisi tulang belakang yang cacat.
Masih ada sakit yg sekarang saya terima sebagai salib yang harus
saya panggul setiap hari. GATAL. Iya, saya memiliki sakit gatal pada leher.
Sakit yang agak aneh. Gatal hanya di bagian leher dan tidak ke mana-mana. Gatal
sudah saya tanggung selama satu putaran shio.
Awalnya tahun 2004, waktu itu saya masih frater persiapan tahbisan
dan setiap akhir pekan selalu melayani umat di Paroki Santa Maria Blitar.
Mungkin karena kamar yang saya tinggali sangat lembab. Maka berkeringatlah
saya. Anehnya, keringat itu seperti mengucur dan sebagian besar berasal dari
bagian leher belaka. Lama kelamaan, setiap kali kerajaan lembab menyerang,
leher saya menjadi gatal. Kemudina muncullah seperti bola air-bola air kalau
saya tekan akan pecah dan berdarah.
Kemudian saya menemui dokter spesialis kulit dan kelamin. Saya juga
heran, mengapa dokter kulit selalu disambungkan dengan kelamin. Maka ketika
mengantri di ruang tunggu, para pasien biasnya akan saling lirik. Untuk sedikit
memberi kepastian bahwa “saya sakit kulit” bukan “sakit kelamin”.
Kemudian dari satu dokter ke dokter yang lain saya temui. Dari
dokter biasa hingga yang berpredikat Proffesor saya kunjungi. Hasinya NOL. Ada
yang mengatakan jamuran, virus, entahlah, sudahlah, taktahulah…. Saya pasrah.
Setelah sekian tahun lamanya berkutat dengan gatal, saya paham,
bahwa sakit ini akan merajalela ketika kerajaan lembab menyerang. Maka sedapat
mungkin saya mesti menyiapkan sarana dan prasarana untuk menahan gempuran
pasukan lembab. Mulai dari menyiapkan arang atau kemudian lebih modern dengan
humidifier. Sekarang relative aman.
Itu semua adalah sebagian sakit fisik yang saya alami. Kemarin saya
juga berkisah mengenai sakit hati. Luka-luka yang tergores di hati. Yang
sayatannya tak Nampak oleh mata, tetapi sakitnya terbawa hingga tua. Tentu lebih mudah mencari dokter specialist kuit dan kelamin dibandingkan mencari dokter yang mampu membantu menyembuhkan luka hati. Dan karena sulit, ada baiknya kalau kita berproses sendiri, menyembuhkan diri sendiri.
Nah, maksud hati saya dengan membuat catatan ini adalah ingin
berbagi bagaimana saya berproses menyembuhkan luka-luka hati itu. Tetapi ketika
jari jemari mulai menari di atas tuts-tuts laptop, yang tertuang adalah jejeran
panjang curahan hati. Yahhh, keburu tulisan sudah panjang tak karuan, sebaiknya saya sudahi.
Tetapi baik juga kalau saya katakan; seperti halnya luka-luka fisik,
cacat-cacat fisik membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa sembuh; demikian
jugalah luka-luka hati. dia butuh waktu untuk kembali pulih. Doakan saya, semoga di catatan berikutnya, saya bisa
lebih runtut mencatatkan proses penyembuhan luka-luka itu.
Sekarang saya akhiri dulu, karena sudah terlalu panjang dan eneg
untuk diteruskan.
Salam kecewa bagi yang sudah tak sabar menunggu kabar penyembuhan luka hati. Sabar sebentar,
entar saya tuliskan.
Cheerrrsssss…..
Comments