MAAF dan SEMBUH
Dulu saya merasa bahwa saya itu orang yg sehat walafiat tak kekurangan barang setetes pun. Lalu mulailah satu persatu sakit itu datang berkunjung.
Pertama-tama adalah mata. Tiba2 saja saya kesulitan membaca, huruf-huruf di buku tiba2 berloncatan naik turun. Sehingga saya selalu kecapek-an mengikuti geraknya. Bapak membawa saya ke dokter mata di RSSA di Malang. Dari pemeriksaan di ketahui kalau mata kiri saya bersih, normal, sehat, tidak ada minus apalagi plus. Mata kanan? Hmmm mata kanan saya minus 6. Sesuatu yg sangat tidak normal. Dokter juga bingung, kenapa bisa begitu. Saya hanya bengong. Saya diberi obat tetes, tetapi tidak menolong.
Setahun kemudian, ketika saya sudah bercelana pendek warna biru ketika bersekokah, mata saya pun berhias kaca dengan tangkainya.
Bertahun lamanya saya terima kondisi itu. Sampai batas yg agak maksimal. Mata kanan saya menjadi minus 12, sedangkan mata kiri saya juga "dipaksa" minus dan akhirnya ikut minus 2.5.
Praktis saya hanya memakai mata kiri untuk beraktivitas. Dan ini banyak konsekuensinya. Misalkan saya berjalan atau naik sepeda; saya akan kesulitan mengidentifikasi object di sebelah kanan.
Maka tak jarang saya dikatakan SOMBONG. Lho kok bisa? Iya, katanya saya tidak pernah menyapa mereka, padahal saya melewati mereka. Setelah saya tanya lebih lanjut, ternyata mereka berada di sisi kanan jalan. Ya maaf, saya memang tidak melihat.
Hal ini terjadi berulang kali. Dan saya sudah menerima dengan iklas hati.
Lalu muncullah yg lain lagi.
Waktu itu saya mengajar di SMA DEMPO di Malang. Terkadang dari pagi sampai siang. Maka sedari pagi sampai siang itu praktis saya selalu berdiri. Saya tidak suku duduk diam kalau mengajar. Alhasil, seusai jam sekolah saya HARUS berbaring. Kempol saya, ehmmm betis saya rasanya seperti mau meledak, kemeng tak tertahankan. Itu berlangsung terus, dan saya menerimanya sebagai bagian dari diri.
Hingga suatu hari saya bertemu seorang dokter yg memeriksa kondisi kaki saya. Beliau berkata bahwa kaki saya ini termasuk flat feet. Kaki bebek, kaki rata.
Saya belum memahami korelasinya dengan kemeng yg selalu saya derita. Ternyata pemilik telapak kaki rata itu menggunakan betis/otot betis untuk menopang beban tubuh. Maka akan mudah capek. Kalau kaki normal, beban itu tidak akan terpusat di betis.
Saya disarankan memakai sepatu khusus untuk telapak kaki rata. Hasilnya luar biasa. Saya bisa beraktivitas dari pagi samapai sore, dan betis saya tidak berteriak minta berbaring. Sepertinya beban telah hilang, sakit telah pamit. Dan saya akan hidup sehat selamat sampai akhirat. Ternyata belum.
Lalu datanglah yg ketiga. Simptomnya agak aneh. Kalau sehabis duduk agak lama, bagian tulang ekor saya sakit sekali. Terutama kalau duduk di kursi yg empuk-empuk. Semakin lama semakin sakit.
Kebetulan saya kenal dengan seorang dokter. Setelah mendengar penjelasan saya, beliau hanya bisa memberi kemungkinan-kemungkinan. Menurutnya saya perlu melakukan foto scan, bahkan mri bagian tulang belakang dan tulang ekor. Kemungkinan saya mengalami penjepitan otot tulang belakang. Maka setelah menyelesaikan tugas di Melbourne saya memeriksakan diri di RSPN Maang. Hasilnya positif. Saya mengalami penjepitan otot tulang belakang pada tahap awal. Penyebabnya banyak sekali. Mulai dari terjatuh (sewaktu kecil sering sekali terjatuh dari pohon), mengangkat beban berat dengan posisi yg salah, dll.
Dokter menyarankan untuk terapi. 10 kali sesi terapi saya jalani, membebat pinggang dengan stagen saya lakukan setiap hari, pijit saya ikuti. Hasilnya? Saya harus lebih berhati-hati.
Itu sakit fisik atau cacat fisik yg harus saya terima sebagai bagian dari diri.
Apakah ada yg lain?
ADA!
Sakit hati.
Ada banyak jejak luka yg tak terlihat oleh mata namun melelehkan duka yg cukup lama. Terkadang saya tersenyum, untuk sedikit mengurangi rasa sakit.
Atau dalam kasus lain, saya yg menorehkan luka di hati orang lain. Mereka menangis karwna luka, berdarah dan infeksi. Ternyata luka itu juga mengena pada diri saya sendiri. Sekian lama harus membawa luka itu, terkadang mengering dan lupa. Meskipun belum sembuh sempurna.
Demikian berulang dan terjadi dengan cara dan pribadi yg lain. Luka dan melukai terjadi seolah menjadi hal yg normal. Sampai suatu hari saya merasa lumpuh hati. Luka ini sudah menjadi infeksi. Harus disembuhkan!!!
Maka saya mengikuti sebuah program di Sala Tiga Jawa Tengah selama setengah tahun lamanya. Sebenarnya program itu ditujukan untuk para pendamping rohani, para pendamping calon-calon imam atau biarawan biarawati. Saya mengikuti program itu, siapa tahu bisa menyembuhkan diri sendiri dan di kemudian hari bisa menolong orang lain.
Hal menarik yg saya temukan, proses penyembuhan berkaitan erat dengan proses pengampunan. Entahlah mana yg harus ada terlebih dahulu. Pengampunan atau penyembuhan; penyembuhan atau pengampunan; atau keduanya berjalan bersama. Dan saya percaya keduanya berjalan bersama.
Dalam proses penyembuhan, harus ada pengampunan; dalam proses pengampunan harus ada proses rekonstruksi kejadian; membongkar kembali tumpukan peristiwa yg sekian lama terlupakan atau sengaja dilupakan karena terlalu pahit untuk dikenangkan.
Dalam proses rekonstruksi itu ada berbagai rasa yg akan bergejolak. Yg dominan adalah MARAH. Rasa ini harus diungkapkan. Namun harus disiapkan dengan baik dan aman. Misalnya menyiapkan bantal yg akan kita pukuli ketika kita mengungkapkan rasa marah tersebut. Hindari benda-benda tajam dan yg mudah pecah.
Setelah kemarahan diungkapkan, lanjutkan dengan proses pengampunan. Kalau tidak bisa bertemu langsung dengan pribadi yg berangkutan karena barangkali sudah "pergi" atau memang sulit dijangkaui, hadirkan sosok lain sebagai pengganti. Lakukan ritual sederhana, misalnya membasuh kaki mereka, memeluknya, mohon ampun.
Proses ini akan memakan waktu yg lama. Bahkan bisa terjadi terus menerus. Saya biasanya membawa pribadi-pribadi tersebut dalam doa, saya memohonkan rahmat Tuhan bagi mereka.
Membayangkan pribadi-pribadi yg lumpuh karena luka hati selama bertahun-tahun, seperti perempuan dalam Kitab Suci yg 18 tahun lumpuh karena kuasa gelap; akhirnya sembuh dan sehat kembali adalah sebuah kebahagiaan.
Wihhh panjang sekali cerita pagi ini. Saya sudahi di sini dulu. Mari melanjutkan hari dan mengisinya dengan sesuatu yg bergizi. Agar sehat jiwa raga.
Salam.
Pertama-tama adalah mata. Tiba2 saja saya kesulitan membaca, huruf-huruf di buku tiba2 berloncatan naik turun. Sehingga saya selalu kecapek-an mengikuti geraknya. Bapak membawa saya ke dokter mata di RSSA di Malang. Dari pemeriksaan di ketahui kalau mata kiri saya bersih, normal, sehat, tidak ada minus apalagi plus. Mata kanan? Hmmm mata kanan saya minus 6. Sesuatu yg sangat tidak normal. Dokter juga bingung, kenapa bisa begitu. Saya hanya bengong. Saya diberi obat tetes, tetapi tidak menolong.
Setahun kemudian, ketika saya sudah bercelana pendek warna biru ketika bersekokah, mata saya pun berhias kaca dengan tangkainya.
Bertahun lamanya saya terima kondisi itu. Sampai batas yg agak maksimal. Mata kanan saya menjadi minus 12, sedangkan mata kiri saya juga "dipaksa" minus dan akhirnya ikut minus 2.5.
Praktis saya hanya memakai mata kiri untuk beraktivitas. Dan ini banyak konsekuensinya. Misalkan saya berjalan atau naik sepeda; saya akan kesulitan mengidentifikasi object di sebelah kanan.
Maka tak jarang saya dikatakan SOMBONG. Lho kok bisa? Iya, katanya saya tidak pernah menyapa mereka, padahal saya melewati mereka. Setelah saya tanya lebih lanjut, ternyata mereka berada di sisi kanan jalan. Ya maaf, saya memang tidak melihat.
Hal ini terjadi berulang kali. Dan saya sudah menerima dengan iklas hati.
Lalu muncullah yg lain lagi.
Waktu itu saya mengajar di SMA DEMPO di Malang. Terkadang dari pagi sampai siang. Maka sedari pagi sampai siang itu praktis saya selalu berdiri. Saya tidak suku duduk diam kalau mengajar. Alhasil, seusai jam sekolah saya HARUS berbaring. Kempol saya, ehmmm betis saya rasanya seperti mau meledak, kemeng tak tertahankan. Itu berlangsung terus, dan saya menerimanya sebagai bagian dari diri.
Hingga suatu hari saya bertemu seorang dokter yg memeriksa kondisi kaki saya. Beliau berkata bahwa kaki saya ini termasuk flat feet. Kaki bebek, kaki rata.
Saya belum memahami korelasinya dengan kemeng yg selalu saya derita. Ternyata pemilik telapak kaki rata itu menggunakan betis/otot betis untuk menopang beban tubuh. Maka akan mudah capek. Kalau kaki normal, beban itu tidak akan terpusat di betis.
Saya disarankan memakai sepatu khusus untuk telapak kaki rata. Hasilnya luar biasa. Saya bisa beraktivitas dari pagi samapai sore, dan betis saya tidak berteriak minta berbaring. Sepertinya beban telah hilang, sakit telah pamit. Dan saya akan hidup sehat selamat sampai akhirat. Ternyata belum.
Lalu datanglah yg ketiga. Simptomnya agak aneh. Kalau sehabis duduk agak lama, bagian tulang ekor saya sakit sekali. Terutama kalau duduk di kursi yg empuk-empuk. Semakin lama semakin sakit.
Kebetulan saya kenal dengan seorang dokter. Setelah mendengar penjelasan saya, beliau hanya bisa memberi kemungkinan-kemungkinan. Menurutnya saya perlu melakukan foto scan, bahkan mri bagian tulang belakang dan tulang ekor. Kemungkinan saya mengalami penjepitan otot tulang belakang. Maka setelah menyelesaikan tugas di Melbourne saya memeriksakan diri di RSPN Maang. Hasilnya positif. Saya mengalami penjepitan otot tulang belakang pada tahap awal. Penyebabnya banyak sekali. Mulai dari terjatuh (sewaktu kecil sering sekali terjatuh dari pohon), mengangkat beban berat dengan posisi yg salah, dll.
Dokter menyarankan untuk terapi. 10 kali sesi terapi saya jalani, membebat pinggang dengan stagen saya lakukan setiap hari, pijit saya ikuti. Hasilnya? Saya harus lebih berhati-hati.
Itu sakit fisik atau cacat fisik yg harus saya terima sebagai bagian dari diri.
Apakah ada yg lain?
ADA!
Sakit hati.
Ada banyak jejak luka yg tak terlihat oleh mata namun melelehkan duka yg cukup lama. Terkadang saya tersenyum, untuk sedikit mengurangi rasa sakit.
Atau dalam kasus lain, saya yg menorehkan luka di hati orang lain. Mereka menangis karwna luka, berdarah dan infeksi. Ternyata luka itu juga mengena pada diri saya sendiri. Sekian lama harus membawa luka itu, terkadang mengering dan lupa. Meskipun belum sembuh sempurna.
Demikian berulang dan terjadi dengan cara dan pribadi yg lain. Luka dan melukai terjadi seolah menjadi hal yg normal. Sampai suatu hari saya merasa lumpuh hati. Luka ini sudah menjadi infeksi. Harus disembuhkan!!!
Maka saya mengikuti sebuah program di Sala Tiga Jawa Tengah selama setengah tahun lamanya. Sebenarnya program itu ditujukan untuk para pendamping rohani, para pendamping calon-calon imam atau biarawan biarawati. Saya mengikuti program itu, siapa tahu bisa menyembuhkan diri sendiri dan di kemudian hari bisa menolong orang lain.
Hal menarik yg saya temukan, proses penyembuhan berkaitan erat dengan proses pengampunan. Entahlah mana yg harus ada terlebih dahulu. Pengampunan atau penyembuhan; penyembuhan atau pengampunan; atau keduanya berjalan bersama. Dan saya percaya keduanya berjalan bersama.
Dalam proses penyembuhan, harus ada pengampunan; dalam proses pengampunan harus ada proses rekonstruksi kejadian; membongkar kembali tumpukan peristiwa yg sekian lama terlupakan atau sengaja dilupakan karena terlalu pahit untuk dikenangkan.
Dalam proses rekonstruksi itu ada berbagai rasa yg akan bergejolak. Yg dominan adalah MARAH. Rasa ini harus diungkapkan. Namun harus disiapkan dengan baik dan aman. Misalnya menyiapkan bantal yg akan kita pukuli ketika kita mengungkapkan rasa marah tersebut. Hindari benda-benda tajam dan yg mudah pecah.
Setelah kemarahan diungkapkan, lanjutkan dengan proses pengampunan. Kalau tidak bisa bertemu langsung dengan pribadi yg berangkutan karena barangkali sudah "pergi" atau memang sulit dijangkaui, hadirkan sosok lain sebagai pengganti. Lakukan ritual sederhana, misalnya membasuh kaki mereka, memeluknya, mohon ampun.
Proses ini akan memakan waktu yg lama. Bahkan bisa terjadi terus menerus. Saya biasanya membawa pribadi-pribadi tersebut dalam doa, saya memohonkan rahmat Tuhan bagi mereka.
Membayangkan pribadi-pribadi yg lumpuh karena luka hati selama bertahun-tahun, seperti perempuan dalam Kitab Suci yg 18 tahun lumpuh karena kuasa gelap; akhirnya sembuh dan sehat kembali adalah sebuah kebahagiaan.
Wihhh panjang sekali cerita pagi ini. Saya sudahi di sini dulu. Mari melanjutkan hari dan mengisinya dengan sesuatu yg bergizi. Agar sehat jiwa raga.
Salam.
Comments