Kisah tiga pria
Tersebutlah tiga pria, duduk bersama 10 lelaki yang lain. Ya, ada tiga belas pria duduk melingkar membentuk huruf “U”, bersantap bersama. Tetapi saya hanya ingin bercerita tentang tiga saja, bukan 1 yang utama, atau ketigabelasnya. Tidak, saya hanya ingin bercerita mengenai tiga pria.
Kalian pasti sudah tahu siapa kira-kira yang akan saya catatkan namanya di sini. Bukan! Bukan tentang yang utama saya katakan. Karena tentang Dia, sudah banyak yang mencatatkannya, dan lebih bagus tentunya.
Iya benar, ini tentang Petrus. Dia yang sangat vocal dan penuh semangat. Lalu yang dua lagi tentang siapa? Ahhh, tebakan kalian salah. Ini tentang Yohanes dan Yudas Iskariot. Ya, tentang tiga pria ini saya ingin mencatatkan kisah mereka.
Sudah saya singgung bahwa mereka sedang makan malam bersama. Tiga belas orang, Yesus sebagai guru dan 12 orang murid-Nya. Suasana agak menegang karena di tengah suasana makan yang sacral Yesus mengatakan bahwa salah satu murid-Nya akan memngkhianati Dia.
Bayangkan saja kalau kalian hadir di sebuah jamuan makan. Tiba-tiba yang punya hajat berdiri dan berkata, “hadirin, salah satu dari kalian yang makan di sini akan mengkhianati saya!” Saya yakin seyakin-yakinnya, bahwa suasana akan menjadi tegang.
Mungkin ada bisik-bisik, kasak-kusuk, bertanya-tanya, mengapa tuan rumah berkata demikian? Siapa kira-kira yang dimaksudkan? Apakah tuan rumah memiliki musuh? Apakah musuhnya hadiri di situ? Dan banyak kasak-kusuk yang lain yang membuat hati semakin remuk.
Petrus tidak tahan untuk tidak berbicara. Sayang sekali bahwa dia duduk agal jauh dari Yesus. Maka dia tidak mungkin berteriak, “GURU, siapakah dia!” Petrus hanya bisa memeberi kode kepada murid yang dikasihi Yesus yang kebetulan duduk di samping kanan Yesus. Menurut banyak ahli, murid itu adalah Yohanes. Petrus memberi kode, “ssttt, tanyakan ke Guru, siapa yang dimaksud.”
Yohanespun bertanya kepada Yesus dengan suara lembut, “Guru, siapakah dia?”
Agak disayangkan bahwa Yesuspun menjawab dengan suara yang pelan, yang tidak mungkin didengar oleh yang lain.
Oh iya, ceritanya agak saya loncatkan agar bahasan saya tentang Petrus tidak terputus. Percaya diri bahwa dirinya tidak akan berkhianat, Petrus menegaskan bahwa dia akan menajdi murid yang setia, yang rela ikut ke manapun Sang Guru pergi. Maka ketika Yesus melanjutkan bicara bahwa dia akan menderita, Petrus dengan gagahnya berkata, “saya siapa mati demi Engkau!”
Kesombongan dan keangkuhan. Ketidak tahuanlah penyebabnya. Petrus tidak tahu situasi apa yang terjadi. Tetapi berani menyombongkan diri. Maka dipukullah dia dengan sangat telak melalui jawaban Yesus yang lugas, “bahkan sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”
Bagaimana rasanya? Uhhh, sakit! Mak-jleb! Nancep. Sakitnya di situ, ya di situ.
Karena pada saat itu, si setan juga bermain. Dia masuk dengan manisnya, memainkan peran. Yang membuat Yudas juga gagal memahami perkataan Yesus dan memahami situasi apa yang tengah terjadi.
Saat itu Yudas duduk di sebelah kiri Yesus. Dia pasti mendengar semua yang dikatakan oleh Yesus, yang murid lain mungkin tidak mendengarnya. Dia mendengar bahwa aka nada satu murid yang akanmengkhianati Yesus. Dia juga mendengar jawaban Yesus atas pertanyaan Yohanes. Dia mendengar tetapi tidak mengerti.
Yudas ditulikan telinga hatinya. Hingga tidak mampu menangkap jawaban Yesus. Dia dibutakan mata hatinya, sehingga tidak bisa membaca Bahasa tubuh Yesus. Pastilah nada suara Yesus berbeda tatkala Dia berkata aka nada satu orang yang berkhianat. Pastilah tangan Yesus juga bergetar saat memecah roti. Tetapi semua itu tidak dimengerti oleh Yudas. Hatinya telah tertutup dan mati. Bahkan ketika Yesus secara personal berkata kepadanya, “apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah segera.”
Yudas gagal memahami. Dia pergi bukan untuk bertobat, tetapi untuk menjual Yesus. Mungkin di kantongnya tersimpan banyak uang, tetapi di hatinya kosong, dia miskin. Dia gagal mengerti Yesus karena keserakahan. Tentu kita diingatkan ketika Yudas menegur perempuan yang membasuh kaki Yesus dengan minyak. “Aduhhh… minyak semahal itu bisa dijual 300 dinar!” betapa pahamnya dia akan uang. Tetapi tidak paham dengan gerak dan pembicaraan gurunya.
Pria ketiga yang ingin saya catatkan di sini adalah Yohanes. Dia duduk di sebelah kanan Yesus. Dia melihat semuanya. Dan tidak mengeluarkan pendapatnya. Dia bertanya karena Petrus menyuruhnya bertanya. Dia duduk dengan tenang, setia di samping Yesus.
Yohanes adalah murid yang sungguh belajar. Dia belajar untuk memahami dan mengerti maksud ucapan gurunya. Semuanya membutuhkan waktu dan proses yang panjang. Dia tidak mau terburu-buru mengambil kesimpulan dan tindakan meskipun dia mendengar jawaban Yesus dan melihat Yesus memberikan roti yang baru dicelupkan kepada Yudas. Yohanes melihat semuanya. Dia mencerna.
Dan nanti, ketika ada kabar dari para perempuan mengenai Yesus yang tidak ada di makam, dia segera bergegas lari untuk melihat. Dia masih muda maka larinya cepat. Tetapi dia harus memberi kesempatan kepada Petrus untuk melihat pertama. Baru dia kemudian menyusul untuk melihat. Dan dia percaya. Dia percaya karena selama ini dia berusaha setia di samping Yesus, bahkan juga setia di bawah kaki salib Yesus bersama Maria Bunda Yesus.
Itu kisah tentang tiga pria. Tentu saya pengen banget bisa seperti Yohanes. Tetapi tak jarang saya banyak bicara seperti Petrus, tidak mengerti situasi tetapi bicara sok-sokan. Bahkan tak jarang atau bahkan sering, saya juga menjual Yesus. Padahal saya melihat dan mendengar apa yang dikatakan oleh Yesus. Tetapi saya telah menulikan hati, juga membutakannya. Semoga Anda lebih baik dari saya.
Salam.
Comments