Menikmati sepiring rujak
Sebagai seorang Jawa Timur asli, arek
Malang pisan, rujak menjadi salah satu makanan kegemaranku. Ketika di rantau,
menemukan warung yang menjual rujak adalah sebuah kegembiraan.
Menikmati rujak semata-mata hanya
karena rujak belumlah meninggalkan jejak kenikmatan yang nyata. Karena rujak
harus dinikmati dengan sepenggal kisah dalam kilasan waktu. Menikmati rujak
sebagai bagian memorabilia masa kanak-kanak. Ya, bagi saya menikmati rujak
selalu membawa kepada kenangan masa kecil, ketika menemani ibu yang berjualan
rujak uleg tanpa cingur. Dan setiap kali saya minta sepiring rujak, ibu selalu
menyuruhs aya membuat sendiri.
Rujak adalah seperti kehidupan. Dia
menelentang panjang dengan isi berbagai macam ragam jejak peristiwa yang sempat
direkam.
Bumbu-bumbu yang membuat rujak
menjadi nikmat antara lain kacang tanah yang sudah digoreng, petis, air asam
jawa, gula merah atau gula jawa, garam, gula pasir agar lebih sedap, dan tentu
saja cabai keriting yang merah. Kemudian isinya ada tauge atau kecambah, ada
sayur kangkung, bisa juga kacang panjang atau gubis, mentimun, tahu goreng,
bisa juga diberi tempe goreng, lontong, dan kalau suka diberi cingur.
Dari aneka bumbu yang ada tergambar
jelas bagaimana rasanya. Kacang tanah goreng rasanya gurih. Hampir sulit
menjumpai orang yang tidak suka kacang goreng, entah yang berkulit atau tidak.
Ada yang menolak karena akan membuat jerawat, dll. Toh pada dasarnya mengakui
bahwa kacang itu gurih.
Garam pastilah asin. Cabai niscaya
pedas. Asam nyatalah asam. Gula jelas manis. Petis? Hmmm ini agak sulit
diuraikan. Ada asinnya, ada aroma ikan atau udang tergantung bahan dasarnya.
Aneka bumbu dengan rasa yang begitu
berlawanan, dipadu dengan aneka sayur-mayur yang segar, lontong yang lembut
empuk, atau cingur yang kenyil-kenyil gurih, jadilah rujak yang maknyus, enak!
Terkadang sajian rujak itu tak
seperti yang kita inginkan. Terkadang pedasnya cabe bisa menipu, sama-sama
pesan 3 cabe bisa mendapat pedas yang berbeda. Atau karena mbak yang mengulek
rujak sedang melamun, sehingga dia menjumput garam terlalu banyak jadilah uasin
setengah begidik. Itulah kalau pas apes, sepiring rujak akan membawa
malapetaka. Namun kita tidak bisa memesan rujak tanpa asam yang asem, tanpa
garam yang asin, hanya gula saja; karena hasilnya bukanlah rujak. Saya ndak
tahu hasilnya apa, yang apsti bukan rujak, itu saja!
Demikianlah hidup. Dia dibalutkan
aneka peristiwa dan pengalaman yang membuat hidup menjadi lebih berwarna, lebih
berarti. Apakah kita hendak memesan sejengkal pengalaman tanpa kepahitan, hanya
manis belaka? maka kita akan lupa cara bersyukur. Pedasnya kehidupan mengajari
kita bersyukur dikala mengecap manisnya pengalaman. Asam-asam yang membalur
setiap jengkal langkah ditopang gurih dan renyahnya persahabatan, akan
membentuk sebuah pribadi yang kuat kokoh. Bayangkan sepiring rujak hanya berisi
lontong, dia bukan rujak, karena hanya berupa kehambaran dan kelembekan.
Kalau pedas kau rasakan hidupmu
sekarang, anggap saja cabainya terlalu matang. Kalau manis hidupmu sekarang,
jangan pula kau terlalu lebar tertawa, siapa tahu setelah ini asin. Namun
belajarlah meramu bumbu; agar pas antara garam dan gula, antara asam dan
kacang, antara petis dan air agar pas nikmat rujaknya.
oh iya, hari saya menikmati sepiring
rujak di MeiFoo. Harganya 28 dollar sepiring. Rasanya lumayan, hanya tempatnya
kurang bagus, kurang nyaman.
Hmmm itulah saya, sudah mendapat
sepiring rujak yang enak dan murah masih komplen dengan tempat yang kurang
nyaman. Kapan mulai bersyukur?
salam.
Hong Kong, 6 September 2016
* catatan ini pertama kali saya unggah di akun Facebook pada tanggal 6 September 2016
* catatan ini pertama kali saya unggah di akun Facebook pada tanggal 6 September 2016
Comments