Sendirian, enjoy saja….
Minggu Palma tadi sedikit menegangkan. Karena
ini pertama kali bagi saya merayakannya secara utuh dalam Bahasa kantonis.
Huffttt, membayangkan pembacaan kisah sengsara yang begitu panjang saja perut
saya sudah tegang. Apalagi harus bertugas tiga kali. Bisa jadi akan kram.
Puji Tuhan, rupanya Tuhan mendengarkan rintihan
perut saya. Eh maksud saya rintihan hati. Pas sarapan saya ngobrol dengan
pastor paroki. Beliau rupanya kurang perhatian dengan perubahan jadwal. Maka,
begitu mengetahui bahwa saya mendapat jadwal yang cukup banyak, beliau
memberikan diri untuk mengambil alih satu bagian dari saya. Tentu saya
menyambut dengan lega hati.
Sore hari menjelang malam, setelah mendengarkan
pengakuan dosa, saya mengganti baju kolar dengan baju kaos dan juga mengganti
sepatu. Kemudian mengambil tas dan bersiap keluar. Malam ini saya tidak pulang
ke komunitas di rumah retret, tetapi tetap tinggal di paroki karena Senin pagi
harus melayani pengakuan dosa di sekolahan Maryknoll.
Saya ingin sekadar melepaskan penat dan stress
dengan berjalan-jalan dan makan. Ini penting banget. Makan dengan tenang dan
menikmati malam dengan senang. Saya akhirnya memilih makan di kedai Perancis,
memesan menu Itali. Agak lucu sih. Trus minumnya teh lemon panas. Makannya
pelan-pelan sambil main hape.
Selesai makan saya belum pengen pulang. Rasanya
masih belum lega, maka saya teruskan berjalan-jalan. Tetapi berhubung baterei
hape tinggal beberapa persen, maka saya cari pojokkan yang menyediakan layanan
mengisi daya hape gratis. Sambil mengisi daya, saya membaca buku yang saya bawa
dari rumah.
Setelah baterei hape cukup memiliki daya untuk
hidup beberapa jam, saya melangkah ke toko furniture. Melihat-lihat aneka
lemari, rak buku, sofa, ranjang, perlengkapan dapur, dan kawan-kawannya.
Sebenarnya ada satu barang yang hendak saya cari, yaitu papan panggang. Papan
panggang ini hendak saya pakai memanggang sate. Hahahha ternyata tak jauh dari
urusan makan, masak, dan makan.
Ternyata papan panggang yang saya cari tidak
ada. Sayapun melanjutkan melepas penat dengan berjalan ke gerai yang menjual
aneka aksesoris untuk hp. Bungkus hape saya sudah bocel-bocel, kalau ketemu yg
bagus saya berniat menggantinya. Ternyata setelah melihat-lihat, tak ada
satupun yang menarik hati.
Dari sana saya melanjutkan perjalanan dan
singgah di toko olah raga. Bagian sepatu olah raga adalah tempat yang saya
tuju. Melihat-lihat, memegang-megang, menimang-nimang; akhirnya saya tinggalkan
gerai olah raga. Jam di hape sudah menunjukkan angka 8 lewat 50 menit malam. Sayapun
meninggalkan tempat itu untuk mengantri bis.
Bis yang saya tunggu cukup lama tidak datang. Mungkin
dia baru saja lewat. Sebenarnya saya bisa berjalan ke station kereta. Tetapi
kalau naik kereta, saya masih harus berjalan cukup jauh. Beda dengan bis yang
bisa turun di depan gereja.
Akhirnya bis yang saya tunggu datang juga. Masih
agak kosong. Saya memilih duduk di atas dekat tiang yang tombolnya. Biar enak
kalau mau turun tinggal menekan tombol saja. Selang beberapa stop ana keluarga
muda yang naik bis. Anaknya masih kecil, dua. Satu cewek satu cowok.
Yang cewek cerewet sekali. Tetapi dari nada
suaranya, dia cenderung riang. Saya tidak melihat ekspresi muka mereka, juga
muka orangtuanya. Saya hanya mendear celoteh mereka. Oh iya jangan segera
menuduh, “salah sendiri njomblo, maka ndak ada nyang nyereweti”. Mendenghar celotehan
mereka saja saya sudah terhibur. Mungkin karena hanya sekali. Coba setiap saat
dicereweti, mungkin juga membosankan.
Setelah kurang lebih 15 menit, saya sampai di
gereja. Saya lihat masih ada beberapa orang di aula. Mereka baru saja
mengadakan kegiatan “makan paskah ala Yahudi”. Saya tidak ikut karena sudah
ikut pada hari Sabtu malam. Yang kedua, saya kurang suka dengan cara memasak
daging kambingnya. Baunya aduhai banget, membuat perut terasa tergelitik. Maka saya
segera naik ke kamar.
Tidak setiap minggu malam saya memiliki ritme
seperti ini. Biasanya setiap Minggu malam, saya pulang ke komunitas di Shek O.
Di sana, aktivitas rutin saya adalah ngobrol sambil nonton sinetron dengan dua
saudara saya di sana. Kemudian acara utama saya adalah tidur sampai bangun. Ya iyalah
sampai bangun, masak nggak bangun? Khan jadi nggak bisa bercerita. Hanyaa,
bangun jam berapa itu yang sulit di tebak.
Mengapa sulit ditebak? Karena tidur di sana itu
nyaman sekali, tenang sekali, tidak ada suara-suara yang menggangu. Berbeda dengan
kamar saya di pastoran, di Santa Teresa. Selalu bising. Bahkan tengah malampun
bising. Karena berada di samping jalan bebas hambatan yang menuju arah daratan
China.
Oh iya, ini kok malah bercerita soal Shek O,
saya kembali lagi. Sampai di kamar saya segera berganti pakaian dengan celana
pendek dan kaos oblong. Udara terasa lembab dan panas. Mestinya saya harus
memasang kipas angina. Tetapi sudah terlalu malam untuk membongkar gudang. Maka
saya biarkan diri saya dibalut lembab dan panas yang melelehkan keringat.
Kepengen segera tidur, tetapi ada hasrat untuk
membuat catatan. Maka saya nyalakan laptop dan mulai menarikan jemari di
tuts-tutsnya. Dan inilah yang saya tertera. Curhat kesepian di Minggu malam. Hmmm,
mestinya bukan kesepian sih ya. Tetapi menikmati kesendirian di Minggu malam. Sendiri
tapi tidak kesepian, begitu lebih pas. Tarik selimut dulu…
Bye bye.
Comments