Gitu Aja Kok Dibagi!!
Beberapa waktu yang lalu, setelah tulisan saya di Berita Karmel edisi Desember terbit, saya mendapat beberapa komentar dari beberapa konfrater. Ada yang menanggapi serius, ada pula yang dengan nada sedikit bergurau. Intinya mereka berkomentar mengapa pengalaman makan-makan saja dimasukkan Berita Karmel. Bukankah masih ada banyak pengalaman lain yang lebih berbobot yang bisa masuk. Pengalaman yang lebih spiritual, lebih teologis-biblis-liturgis-akademis. Itulah kira-kira komentar beberapa konfrater terhadap tulisan saya ‘Sate Gule Cak Jumadi’.
Tulisan ini bukan bermaksud membela diri, namun hendak merenungkan berbagai kritik yang masuk dan mengapa saya bergeming dan terus menulis hal serupa. Setelah menulis pengalaman makan sate dan gulai, saya mengunggah (ini bahasa Indonesia dari mengupload) tulisan mengenai makan tahu di milist, dan berencana membagikan pengalaman serupa tatkala makan sayur lodeh. Yang terakhir ini belum saya unggah, tetapi tulisannya sudah jadi.
Semangat berbagi
Berbagi itu tidak mudah. Entah berbagi apa saja, mulai barang yang kelihatan mata hingga jasa yang tidak bisa diukur. Pengalaman bisa jadi masuk kategori barang namun yang tidak kelihatan di mata alias kasat mata. Mungkin saya tidak terlalu benar dengan mengatakan berbagi itu tidak mudah, buktinya setiap hari kita diberi berbagai informasi (entah benar entah tidak) mengenai berbagai hal. Itu merupakan satu bentuk berbagi. Saya katakan entah benar entah tidak, karena terkadang yang dibagi itu juga gossip, syak wasangka, praduga, atau lebih buruk lagi yang dibagikan adalah keburukan orang lain.
Saya tetap bergeming bahwa berbagi itu tidak mudah, teristimewa bebagi sesuatu yang baik, yang berguna. Berbagi dengan segala ketulusan hati, bukan hanya basa-basi atau sekadar mencari sensasi. Jika yang dibagikan itu berkaitan dengan keburukan orang, akan dengan cepat merebak dan meruar, tanpa dikomando pun akan menyebar bak virus. Meskipun mungkin yang dibagi itu bukan sesuatu yang buruk, bisa jadi sesuatu yang lucu, atau maaf sedikit ‘jorok/porno’. Ada banyak cara membagikannya, entah melalui sms, email (milist), nulis di blog, atau ngomong langsung kepada orang lain.
Namun ada keengganan kalau yang dibagikan itu adalah Firman Allah. Beberapa kali saya menerima email hal-hal yang bagus yang berkaitan dengan Firman Allah. Namun saya tidak lekas tergugah untuk membagikannya. Kalau email-email itu sesuatu yang lucu atau sedikit jorok tadi, kerap kali saya dengan bersuka hati akan segera membagikannya, biar teman yang lain bisa sedikit tertawa.
Ada berbagai hal yang membuat saya tidak segera membagikan cerita-cerita bagus yang bersumber dari Firman Allah itu. Pertama, kerapkali berita-berita atau cerita-cerita itu diberi keterangan ‘kalau kita membagikan kita akan mendapat berkat, kalau tidak membagikan kita akan celaka’. Tatkala membaca pesan itu hati saya langsung menolak. ‘Aneh-aneh saja!’ itu komentar saya. Kalaupun saya membagikan pengalaman itu, pasti pesan yang ada di bawah cerita akan saya hapus.
Kedua, mungkin saya malu atau khawatir dianggap sok suci, karena berbagi hal-hal berkaitan dengan Kitab Suci atau kehidupan rohani. Saya tidak tahu ketakutan dan kekhawatiran saya bersumber pada apa. Sebab saya belajar Kitab Suci, menghayati hidup rohani yang dengan sendirinya berkaitan langsung dengan spiritualitas, tetapi tetap saja saya merasa gamang untuk berbagi hal tersebut. Mungkin karena meski saya belajar Kitab Suci, tetapi saya bukan ahli Kitab Suci. Meskipun saya menghayati hidup rohani, membaca banyak karya spiritualitas, saya bukan ahli Spiritualitas. Mungkin, sekali lagi mungkin, rasa kecil-inferior-dan minder menjadi sumber mengapa saya tidak mau berbagi mengenai hal-hal rohani.
Waktunya berbagi
Apakah harus menunggu menjadi seorang ahli untuk bisa berbagi? Ada berbagai ragam jawab yang pernah saya dengar. Seorang teman mengatakan bahwa tidak perlu menjadi ahli untuk berbagi. Tidak perlu menunggu menjadi seorang doctor spiritualitas untuk bisa berbagi pengalaman hidup rohani. Tidak perlu menunggu menjadi doctor moral untuk bisa menanggapi masalah-masalah etika dan moral. Teman yang lain menasehati saya agar jangan asal ngomong kalau tidak ahli. Kalau pengetahuan hanya cetek, hanya sejengkal, jika diukur dengan nilai angkanya tidak lebih dari 60, tidak usah berkoar-koar. Belajarlah yang banyak, secara mendalam lebih dahulu, baru berkomentar.
Menurut saya, dua teman saya itu sama benarnya. Kemudian saya bertanya, bagaimana jika seorang doctor spiritualitas tidak pernah mau berbagi pengalaman atau pengetahuannya? Jika seorang doctor-doktor yang lain tidak mau membagikan kebisaannya. Yah mungkin mereka sibuk, yah masalah itu terlalu sepele untuk dikomentari seorang doctor, etc, etc, dan komentar yang lain masih banyak. Lantas bagaimana?
Memang seseorang harus mempelajari sesuatu secara mendalam untuk bisa berkomentar atau membuat analisa, namun tetap benar bahwa tidak perlu menunggu menjadi ahli untuk bisa berbagi. Bukankah tidak perlu menjadi kaya untuk bisa memberi sedekah? Sama halnya dengan pengetahuan dan pengalaman. Terlebih pengalaman, sekecil apapun jika dibagikan akan memberi arti besar bagi orang lain.
Mungkin, sekali lagi mungkin, yang mendapat manfaat dari sharing kita tidak banyak, mungkin hanya satu orang, tetapi bukankah sudah luar biasa jika ada satu orang yang bertobat dan menjadi pengikut Yesus yang baik karena satu sharing kecil tadi. Menyadari hal ini, saya bertekad untuk membagikan pengalaman, yah karena pengetahuan saya cetek, maka yang saya bagi adalah pengalaman, kepada orang lain.
Hal ini akan menghindarkan saya dari salah teori, atau hanya berteori. Jika saya membagikan pengetahuan mengenai hidup rohani, mungkin itu salah secara teori, atau lebih parah, saya hanya berteori. Maka membagikan pengalaman pasti tidak akan disebut hanya berteori, mungkin hanya akan dikomenatri ‘secara teori itu salah!’
Belajar berbagi
Tulisan saya mengenai pengalaman makan sate gule itu adalah usaha saya untuk belajar berbagi. Tentu saya tidak bisa berbagi tulisan yang bagus dan mendalam seperti Romo Budiono, atau sangat profetis, atau sangat teologis. Saya hanya membagikan pengalaman, entah itu tidak ada unsur biblis-teologis-profetis saya tidak peduli, lha saya hanya mau berbagi. Mungkin cara saya berbagi salah. Misalnya dalam tulsian makan sate itu yang keluar bukan berbagi pengalaman cinta dan persaudaraan, tetapi sungguh-sungguh tulisan kuliner, yang bernada mengiming-imingi mereka yang sedang tidak bisa makan sate dan gule. Jelas itu salah, dan saya mohon maaf atas hal itu. Berangkat dari kesalahan itu saya hendak membagikan penghalaman yang lain, yang yah siapa tahu bisa lebih mendalam.
Saya membagi pengalaman-pengalaman saya dalam sebuah blog. Wahana yang sudah tidak asing bagi penggemar internet. Rumah maya saya itu beralamat di www.romowaris.blogspot.com. Di sana saya membagikan berbagai pengalaman, atau juga gagasan-gagasan yang terlintas. Ada yang berbuah lebat dan ada pula yang tidak berbuah. Semuanya normal, karena saya hanya mau belajar berbagi.
Ngadireso, 26 Desember 2008
Tulisan ini bukan bermaksud membela diri, namun hendak merenungkan berbagai kritik yang masuk dan mengapa saya bergeming dan terus menulis hal serupa. Setelah menulis pengalaman makan sate dan gulai, saya mengunggah (ini bahasa Indonesia dari mengupload) tulisan mengenai makan tahu di milist, dan berencana membagikan pengalaman serupa tatkala makan sayur lodeh. Yang terakhir ini belum saya unggah, tetapi tulisannya sudah jadi.
Semangat berbagi
Berbagi itu tidak mudah. Entah berbagi apa saja, mulai barang yang kelihatan mata hingga jasa yang tidak bisa diukur. Pengalaman bisa jadi masuk kategori barang namun yang tidak kelihatan di mata alias kasat mata. Mungkin saya tidak terlalu benar dengan mengatakan berbagi itu tidak mudah, buktinya setiap hari kita diberi berbagai informasi (entah benar entah tidak) mengenai berbagai hal. Itu merupakan satu bentuk berbagi. Saya katakan entah benar entah tidak, karena terkadang yang dibagi itu juga gossip, syak wasangka, praduga, atau lebih buruk lagi yang dibagikan adalah keburukan orang lain.
Saya tetap bergeming bahwa berbagi itu tidak mudah, teristimewa bebagi sesuatu yang baik, yang berguna. Berbagi dengan segala ketulusan hati, bukan hanya basa-basi atau sekadar mencari sensasi. Jika yang dibagikan itu berkaitan dengan keburukan orang, akan dengan cepat merebak dan meruar, tanpa dikomando pun akan menyebar bak virus. Meskipun mungkin yang dibagi itu bukan sesuatu yang buruk, bisa jadi sesuatu yang lucu, atau maaf sedikit ‘jorok/porno’. Ada banyak cara membagikannya, entah melalui sms, email (milist), nulis di blog, atau ngomong langsung kepada orang lain.
Namun ada keengganan kalau yang dibagikan itu adalah Firman Allah. Beberapa kali saya menerima email hal-hal yang bagus yang berkaitan dengan Firman Allah. Namun saya tidak lekas tergugah untuk membagikannya. Kalau email-email itu sesuatu yang lucu atau sedikit jorok tadi, kerap kali saya dengan bersuka hati akan segera membagikannya, biar teman yang lain bisa sedikit tertawa.
Ada berbagai hal yang membuat saya tidak segera membagikan cerita-cerita bagus yang bersumber dari Firman Allah itu. Pertama, kerapkali berita-berita atau cerita-cerita itu diberi keterangan ‘kalau kita membagikan kita akan mendapat berkat, kalau tidak membagikan kita akan celaka’. Tatkala membaca pesan itu hati saya langsung menolak. ‘Aneh-aneh saja!’ itu komentar saya. Kalaupun saya membagikan pengalaman itu, pasti pesan yang ada di bawah cerita akan saya hapus.
Kedua, mungkin saya malu atau khawatir dianggap sok suci, karena berbagi hal-hal berkaitan dengan Kitab Suci atau kehidupan rohani. Saya tidak tahu ketakutan dan kekhawatiran saya bersumber pada apa. Sebab saya belajar Kitab Suci, menghayati hidup rohani yang dengan sendirinya berkaitan langsung dengan spiritualitas, tetapi tetap saja saya merasa gamang untuk berbagi hal tersebut. Mungkin karena meski saya belajar Kitab Suci, tetapi saya bukan ahli Kitab Suci. Meskipun saya menghayati hidup rohani, membaca banyak karya spiritualitas, saya bukan ahli Spiritualitas. Mungkin, sekali lagi mungkin, rasa kecil-inferior-dan minder menjadi sumber mengapa saya tidak mau berbagi mengenai hal-hal rohani.
Waktunya berbagi
Apakah harus menunggu menjadi seorang ahli untuk bisa berbagi? Ada berbagai ragam jawab yang pernah saya dengar. Seorang teman mengatakan bahwa tidak perlu menjadi ahli untuk berbagi. Tidak perlu menunggu menjadi seorang doctor spiritualitas untuk bisa berbagi pengalaman hidup rohani. Tidak perlu menunggu menjadi doctor moral untuk bisa menanggapi masalah-masalah etika dan moral. Teman yang lain menasehati saya agar jangan asal ngomong kalau tidak ahli. Kalau pengetahuan hanya cetek, hanya sejengkal, jika diukur dengan nilai angkanya tidak lebih dari 60, tidak usah berkoar-koar. Belajarlah yang banyak, secara mendalam lebih dahulu, baru berkomentar.
Menurut saya, dua teman saya itu sama benarnya. Kemudian saya bertanya, bagaimana jika seorang doctor spiritualitas tidak pernah mau berbagi pengalaman atau pengetahuannya? Jika seorang doctor-doktor yang lain tidak mau membagikan kebisaannya. Yah mungkin mereka sibuk, yah masalah itu terlalu sepele untuk dikomentari seorang doctor, etc, etc, dan komentar yang lain masih banyak. Lantas bagaimana?
Memang seseorang harus mempelajari sesuatu secara mendalam untuk bisa berkomentar atau membuat analisa, namun tetap benar bahwa tidak perlu menunggu menjadi ahli untuk bisa berbagi. Bukankah tidak perlu menjadi kaya untuk bisa memberi sedekah? Sama halnya dengan pengetahuan dan pengalaman. Terlebih pengalaman, sekecil apapun jika dibagikan akan memberi arti besar bagi orang lain.
Mungkin, sekali lagi mungkin, yang mendapat manfaat dari sharing kita tidak banyak, mungkin hanya satu orang, tetapi bukankah sudah luar biasa jika ada satu orang yang bertobat dan menjadi pengikut Yesus yang baik karena satu sharing kecil tadi. Menyadari hal ini, saya bertekad untuk membagikan pengalaman, yah karena pengetahuan saya cetek, maka yang saya bagi adalah pengalaman, kepada orang lain.
Hal ini akan menghindarkan saya dari salah teori, atau hanya berteori. Jika saya membagikan pengetahuan mengenai hidup rohani, mungkin itu salah secara teori, atau lebih parah, saya hanya berteori. Maka membagikan pengalaman pasti tidak akan disebut hanya berteori, mungkin hanya akan dikomenatri ‘secara teori itu salah!’
Belajar berbagi
Tulisan saya mengenai pengalaman makan sate gule itu adalah usaha saya untuk belajar berbagi. Tentu saya tidak bisa berbagi tulisan yang bagus dan mendalam seperti Romo Budiono, atau sangat profetis, atau sangat teologis. Saya hanya membagikan pengalaman, entah itu tidak ada unsur biblis-teologis-profetis saya tidak peduli, lha saya hanya mau berbagi. Mungkin cara saya berbagi salah. Misalnya dalam tulsian makan sate itu yang keluar bukan berbagi pengalaman cinta dan persaudaraan, tetapi sungguh-sungguh tulisan kuliner, yang bernada mengiming-imingi mereka yang sedang tidak bisa makan sate dan gule. Jelas itu salah, dan saya mohon maaf atas hal itu. Berangkat dari kesalahan itu saya hendak membagikan penghalaman yang lain, yang yah siapa tahu bisa lebih mendalam.
Saya membagi pengalaman-pengalaman saya dalam sebuah blog. Wahana yang sudah tidak asing bagi penggemar internet. Rumah maya saya itu beralamat di www.romowaris.blogspot.com. Di sana saya membagikan berbagai pengalaman, atau juga gagasan-gagasan yang terlintas. Ada yang berbuah lebat dan ada pula yang tidak berbuah. Semuanya normal, karena saya hanya mau belajar berbagi.
Ngadireso, 26 Desember 2008
Comments