Lodeh
Benar kata para ahli kuliner, bahwa suasana sangat memengaruhi kenikmatan sebuah menu makanan. Jenis dan macamnya bisa sangat sederhana, tetapi tatkala disantap pada saat yang tepat, suasana yang memikat, rasanya tak akan pernah meninggalkan ilat.
Seperti malam itu, jangan bayangkan makan di sebuah warung apalagi resto, ini adalah makan di refter ‘padang gurun’ Ngadireso, pas saya berpadang gurun. Minggu sore setelah ibadat sore dan adorasi, meski sendirian saya melakukan adorasi mengikuti gaya adorasi dari Puji Syukur. Sekitar jam setengah tujuh saya selesai. Lokasi kapel bersebelahan dengan refter, maka saya langsung menuju refter. Di atas meja sudah tersaji satu nampan yang tertutup taplak dengan rapi. Spontan saya buka dan melihat isinya, ouw, lodeh Labu Jepang, dan telur dadar, hanya itu! Tambah nasi putih ding!
Mau langsung makan rasanya kok belum afdol. Baru jam setengah tujuh, maka aku kembali ke bilik. Di sana saya melanjutkan aktivitas membaca renungan/catatan Beata Elisabet dari Tritunggal, bagian retret terakhir. Karena kemampuan Inggris saya nilainya C minus panjang, maka untuk memahami satu renungan dibutuhkan waktu kurang lebih dua jam, terkadang lebih, tidak pernah lebih cepat dari itu.
Tengah asyik membolak-balik kamus untuk mencari arti kata hujan turun dengan derasnya. Waduh, belum makan sudah hujan. Tetapi tidak masalah masih jam tujuh, palingan sebentar lagi juga reda. Maka aktivitas membolak-balik kamus dilanjutkan, hanya membolak-balik, karena ga ngerti-ngerti, hehehehehe. Tiba-tiba perutku melakukan interupsi (belum demonstrasi), krucuk-krucuk-krucuk-krucuk, wah minta diisi ini, komentarku spontan. Tapi hujan masih dueras, kulirik jam, wuih sudah jam delapan, pantes cacing-cacing ini sudah teriak-teriak minta jatah. Akhirnya dengan sedikit berlari aku terjang hujan, …. Dan hupp, nyampek juga di refter.
Tapi…….. semuanya dingin. Udara dingin, nasi dingin, sayur dingin, dan telor juga dingin. Wah, ga nendang nih, harus cari akal biar bisa nendang. Aku buka lemari yang selama 3 hari ini aku biarkan teronggok angkuh di sudut ruangan. Di sana kutemukan baskom kecil dan teko. Ini nih sumber kebahagiaan, sayur lodeh aku tuang ke baskom alumunium kecil, aku tambah air sedikit dannnn aku taruh di atas kompor yang telah kunyalakan, tunggu sebentar sayur telah menjadi panas. Sementara makan aku juga tak lupa menjerang air, persiapan buat sekoteng. Hehehehe di padang gurun juga ada sekoteng, nyaman tenan.
Ternyata, sayur lodeh yang aku tambahi air sebagai kuah, dan yang telah aku panaskan, telah mengubah segalanya. Lodeh yang tadi dingin membeku sekarang bergolak mengepulkan uap yang merangsang lidah. Pokoke kemecer tenan(sorry aku gunakan kata kemecer, kata yang lain tidak senendang kemecer artinya). Beberapa potong cabe nampak melambai-lambai menatang untuk segera aku cedok. Diiringi dendang pete yang diiris tipis menambah semarak baskom kecil itu. Hmmm, mak nyusss tenan.
Entah karena perut yang sudah lapar atau karena memang lodehnya uenak tenan, jatah yang mestinya bisa untuk berdua itu ludes-des tak santap sendiri. Seluruh kuah aku tuang ke piring, dan slurp-slurp-slurp, wah kuah lodeh kok sueeeger tenan kayak es sirsat campur degan diberi susu, nyahok, dan yang pasti nendang habis.
Habis makan aku melirik sana-sini, membuka apa yang bisa dibuka. Dan kutemukan lima butir jeruk (kecil) jangan bayangkan jeruk bali, hehehe, ini jeruk yang ga ada isinya itu, yang orange-orange itu. Wah komplit deh, lodehnya nueeendang, telornya yah lumayan, sekarang pencuci mulutnya jeruk. Sapa bilang padang gurun tidak ada kenikmatan, kalau begini terus keluar dari pdang gurun perut makin tambun, hehehehe.
Pesan:
1. Kebahagiaan itu bisa lahir dari yang sederhana, bukan hanya sepotong tahu atau setusuk sate, atau semangkuk gulai, tapi juga karena semangkuk lodeh. (yang panas tentunya)
2. Keadaan bisa menyusahkan, tetapi dengan sedikit kreativitas penderitaan bisa berubah menjadi kebahagiaan.
3. Slogan mengubah kelemahan menjadi kekuatan dan tantangan menjadi harapan memang bukan slogan kosong, namun itu membutuhkan sedikit kerja keras untuk mewujudkannya.
4. Kalau ingin bahagia harus sedikit kreatif dan terampil (yang positif lo ya, hehehehe).
5. Sikap menerima apa adanya itu sangat luhur, tidak suka menuntut, tidak nganeh-nganehi itu sangat baik, toh tidak dilarang kreatif dengan apa yang ada, asal tidak mengada-ada. (ungkapan syukur atas anugerah bumi dan kreasi kerja manusia, ini juga ungkapan syukur yang besar kepada Tuhan.)
6. Kalau ingin menikmati lodeh, tunggulah suasana dingin, dan panaskan lodehnya, dijamin, wahhh ga akan terlupa.
O iya, hampir lupa. Lima biji jeruk tadi aku habiskan semua, rasanya luar biasa, manis, kalau ga manis ga habislah. Namun pada biji yang kelima, entah karena sudah kenyang atau apa, jeruk itu terasa sangat asam, kecut banget. Bah, sebutir jeruk ini telah menggangu kenikmatan makan malamku yang nyaris sempurna. Maka pesan kelima adalah ….
7. Jangan serakah, jangan rakus, tahu bataslah. Seandainya hanya tiga butir jeruk yang aku makan, pasti kesannya akan sangat mendalam.
8. Menurut Romo Heri putranya Pak Sawolo, sayur lodeh itu menjadi enak karena menimbulkan rasa tambah.
9. Sedangkan menurut Romo Kwek, sayur lodeh itu menjadi lezat karena rasah mbayar.
10. Sedangkan menurut Bruder Nungky, lodeh itu menjadi enak karena. Rasa kakean cangkem, kari mangan ae kakean cangkem, wah mak jleb.!!!!
Ngadireso, 21 Desember 2008
Waris.
Seperti malam itu, jangan bayangkan makan di sebuah warung apalagi resto, ini adalah makan di refter ‘padang gurun’ Ngadireso, pas saya berpadang gurun. Minggu sore setelah ibadat sore dan adorasi, meski sendirian saya melakukan adorasi mengikuti gaya adorasi dari Puji Syukur. Sekitar jam setengah tujuh saya selesai. Lokasi kapel bersebelahan dengan refter, maka saya langsung menuju refter. Di atas meja sudah tersaji satu nampan yang tertutup taplak dengan rapi. Spontan saya buka dan melihat isinya, ouw, lodeh Labu Jepang, dan telur dadar, hanya itu! Tambah nasi putih ding!
Mau langsung makan rasanya kok belum afdol. Baru jam setengah tujuh, maka aku kembali ke bilik. Di sana saya melanjutkan aktivitas membaca renungan/catatan Beata Elisabet dari Tritunggal, bagian retret terakhir. Karena kemampuan Inggris saya nilainya C minus panjang, maka untuk memahami satu renungan dibutuhkan waktu kurang lebih dua jam, terkadang lebih, tidak pernah lebih cepat dari itu.
Tengah asyik membolak-balik kamus untuk mencari arti kata hujan turun dengan derasnya. Waduh, belum makan sudah hujan. Tetapi tidak masalah masih jam tujuh, palingan sebentar lagi juga reda. Maka aktivitas membolak-balik kamus dilanjutkan, hanya membolak-balik, karena ga ngerti-ngerti, hehehehehe. Tiba-tiba perutku melakukan interupsi (belum demonstrasi), krucuk-krucuk-krucuk-krucuk, wah minta diisi ini, komentarku spontan. Tapi hujan masih dueras, kulirik jam, wuih sudah jam delapan, pantes cacing-cacing ini sudah teriak-teriak minta jatah. Akhirnya dengan sedikit berlari aku terjang hujan, …. Dan hupp, nyampek juga di refter.
Tapi…….. semuanya dingin. Udara dingin, nasi dingin, sayur dingin, dan telor juga dingin. Wah, ga nendang nih, harus cari akal biar bisa nendang. Aku buka lemari yang selama 3 hari ini aku biarkan teronggok angkuh di sudut ruangan. Di sana kutemukan baskom kecil dan teko. Ini nih sumber kebahagiaan, sayur lodeh aku tuang ke baskom alumunium kecil, aku tambah air sedikit dannnn aku taruh di atas kompor yang telah kunyalakan, tunggu sebentar sayur telah menjadi panas. Sementara makan aku juga tak lupa menjerang air, persiapan buat sekoteng. Hehehehe di padang gurun juga ada sekoteng, nyaman tenan.
Ternyata, sayur lodeh yang aku tambahi air sebagai kuah, dan yang telah aku panaskan, telah mengubah segalanya. Lodeh yang tadi dingin membeku sekarang bergolak mengepulkan uap yang merangsang lidah. Pokoke kemecer tenan(sorry aku gunakan kata kemecer, kata yang lain tidak senendang kemecer artinya). Beberapa potong cabe nampak melambai-lambai menatang untuk segera aku cedok. Diiringi dendang pete yang diiris tipis menambah semarak baskom kecil itu. Hmmm, mak nyusss tenan.
Entah karena perut yang sudah lapar atau karena memang lodehnya uenak tenan, jatah yang mestinya bisa untuk berdua itu ludes-des tak santap sendiri. Seluruh kuah aku tuang ke piring, dan slurp-slurp-slurp, wah kuah lodeh kok sueeeger tenan kayak es sirsat campur degan diberi susu, nyahok, dan yang pasti nendang habis.
Habis makan aku melirik sana-sini, membuka apa yang bisa dibuka. Dan kutemukan lima butir jeruk (kecil) jangan bayangkan jeruk bali, hehehe, ini jeruk yang ga ada isinya itu, yang orange-orange itu. Wah komplit deh, lodehnya nueeendang, telornya yah lumayan, sekarang pencuci mulutnya jeruk. Sapa bilang padang gurun tidak ada kenikmatan, kalau begini terus keluar dari pdang gurun perut makin tambun, hehehehe.
Pesan:
1. Kebahagiaan itu bisa lahir dari yang sederhana, bukan hanya sepotong tahu atau setusuk sate, atau semangkuk gulai, tapi juga karena semangkuk lodeh. (yang panas tentunya)
2. Keadaan bisa menyusahkan, tetapi dengan sedikit kreativitas penderitaan bisa berubah menjadi kebahagiaan.
3. Slogan mengubah kelemahan menjadi kekuatan dan tantangan menjadi harapan memang bukan slogan kosong, namun itu membutuhkan sedikit kerja keras untuk mewujudkannya.
4. Kalau ingin bahagia harus sedikit kreatif dan terampil (yang positif lo ya, hehehehe).
5. Sikap menerima apa adanya itu sangat luhur, tidak suka menuntut, tidak nganeh-nganehi itu sangat baik, toh tidak dilarang kreatif dengan apa yang ada, asal tidak mengada-ada. (ungkapan syukur atas anugerah bumi dan kreasi kerja manusia, ini juga ungkapan syukur yang besar kepada Tuhan.)
6. Kalau ingin menikmati lodeh, tunggulah suasana dingin, dan panaskan lodehnya, dijamin, wahhh ga akan terlupa.
O iya, hampir lupa. Lima biji jeruk tadi aku habiskan semua, rasanya luar biasa, manis, kalau ga manis ga habislah. Namun pada biji yang kelima, entah karena sudah kenyang atau apa, jeruk itu terasa sangat asam, kecut banget. Bah, sebutir jeruk ini telah menggangu kenikmatan makan malamku yang nyaris sempurna. Maka pesan kelima adalah ….
7. Jangan serakah, jangan rakus, tahu bataslah. Seandainya hanya tiga butir jeruk yang aku makan, pasti kesannya akan sangat mendalam.
8. Menurut Romo Heri putranya Pak Sawolo, sayur lodeh itu menjadi enak karena menimbulkan rasa tambah.
9. Sedangkan menurut Romo Kwek, sayur lodeh itu menjadi lezat karena rasah mbayar.
10. Sedangkan menurut Bruder Nungky, lodeh itu menjadi enak karena. Rasa kakean cangkem, kari mangan ae kakean cangkem, wah mak jleb.!!!!
Ngadireso, 21 Desember 2008
Waris.
Comments