Yesus Saja Cukup
Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata. Ia mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribadah di dalam dunia sekarang ini dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik.
Hari-hari ini saya sedang menggumuli catatan retret Beata Elisabeth dari Tritunggal. Kebetulan tahun ini saya belum mengambil waktu retret bersama (member retret sudah, retret sendiri belum) maka di penghujung tahun ini saya mengambil waktu untuk retret 8 hari penuh. Tidak menggunakan pembimbing fisik, tetapi ada pembimbing rohaninya, Beata Elisabet dari Tritunggal.
Tokoh emosional, demikian Rm. Buyung menggambarkan sosok pembimbing saya ini, pernah saya geluti waktu membuat skripsi. Namun, sejauh permenungan saya, yang saya buat dulu sangat dangkal. Karena saya tidak berani (atau ga sanggup lebih tepatnya) untuk masuk dan bergumul dengan tulisannya-tulisannya secara mendalam.
Dalam kesempatan retret ini saya memiliki waktu yang cukup, dan mestinya cukup untuk menggeluti satu catatan retretnya. Saya mengambil retret terakhir (Last Retreat of Laudem Gloriae) untuk saya jadikan bahan retret saya sendiri. Ada 16 renungan, maka satu hari saya selesaikan dua renungan. Bukan sesuatu yang mudah, bahkan saya merasa berat sekali. Pertama bahasa Inggris saya sangat jelek sehingga kesulitan memahaminya. Kedua banyak istilah-istilah aneh, mungkin istilah spiritual ya, hehehehehe. Maka ‘mengindonesiakan’ dua renungan itu memang membutuhkan waktu sehari penuh. Maka meski retret pribadi waktunya sungguh penuh.
Membaca catatan retretnya saya berjumpa dengan sosok lain yang sangat luar biasa, Santo Paulus. Kebetulan saya Paulus, maka saya semakin girang alang kepalang. Meski kesulitan tiada henti menghadang. Maka ketika malam ini saya merenungkan peristiwa natal, saya tidak bisa tidak berpaling dari renungan Elisabet, dari ajaran Paulus (kebetulan bacaan kedua malam ini dari Paulus!).
Merayakan Natal adalah merayakan syukur atas anugerah Tuhan. Anugerah itu Putera-Nya sendiri. Keselamatan yang Ia janjikan diwujudkan dengan mengirim anak-Nya sendiri. Sungguh luar biasa, sebuah kerendah hatian dan kesetiaan yang tiada taranya.
Apa yang masih kita butuhkan lagi? Jika yang menjamin seluruh kebutuhan kita telah nyata. Apa yang kurang? Apa yang lebih indah dari bersatu dengan kasih Allah, bersatu dengan Allah. Hari ini Kasih itu telah diberikan kepada kita.
Dia adalah damai sejahtera kita, dalam Dia kita memperoleh jalan kepada Bapa. Semuanya telah genap, lengkap, karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu. Artinya, di dalam Dia yang malam ini lahir, kita memperoleh penyelesaian atas segala persoalan kita. Kegelisahan, kesusahan, kesemarawutan, hanya ada ketika kita jauh dari Tuhan, ketika kita membiarkan segala nafsu dan hasrat-hasrat yang tidak sehat menguasai.
Sudah saatnya kita sungguh-sungguh berani mengakarkan dan mendasarkan seluruh hidup kita dalam Yesus. Sekaligus di sana kita meninggalkan seluruh keakuan kita, cinta diri kita, kesenangan-kesenangan kita, agar bisa masuk dan berakar lebih dalam pada Yesus.
Inilah kiranya yang diminta Paulus tatkala berkata supaya kita meninggalkan segala kefasikan dan keinginana duniawi, sekaligus lebih meningkatkan kebijaksanaan, laku adil, dan ibadah. Sikap ini, sekali lagi menurut St. Paulus, alah berani menjadikan Yesus sebagai kepala bagi seluruh hidup kita. Sebagai kepala Ia akan menghantar kita kepada Bapa.
Hari ini kita merayakan kelahiran Yesus. Ia yang akan menghantarkan segala kebahagiaan, mengalirkan getah rohani secara melimpah, memastikan satu ‘tiket’ kita di rumah-Nya. Sungguh senang seandainya tiket sungguh telah ada di genggaman. Nyatanya tiket itu masih harus dikejar dan diperjuangkan. Lebih mengenaskan lagi, perjuangan yang ada ternyata bukan untuk mendapatkan tiket itu, tetapi tiket yang lain. Karena kerap saya masih larut dalam segala kefasikan, dalam nafsu-nafsu sesaat dan hasrat-hasrat kedagingan masih menguasai.
Malam ini, saya sendirian merayakan Natal, dalam keheningan padang gurun. Tidak ada nyanyian, tidak music meriah, tidak ada lampu kerlap-kerlip. Menurut Elisabet, dalam kehingan terletak keuatan kita. Keheningan membantu mata hati menjadi jernih (menurut Sr. Merry hati hening mata bening), akan membantu kita lebih jelas memandang Tuhan kita.
Memandang Dia dalam keheningan. Memandang Dia yang lahir dalam keheningan dan kehinaan di kandang. Di sanalah kekuatanku. Sumber tenaga untuk mengalahkan segala kefasikan dan kelemahan daging. Sumber kekuatan untuk bisa hidup selaras dengan kehendak Bapa. Sumber pengharaan untuk mendapatkan kebahagiaan bersama Bapa. Sumber cinta untuk hidup bijak dan berlaku adil.
Yesus saja sudah cukup, bahkan berlimpah. Aku akan meneguhkan pandangan dan takkan memalingkan tatapanku pada-Nya. Ia yang akan memberi kekuatan tatkala aku jatuh, Ia yang tidak akan melupakan aku ketika kembali dan berlari kepada-Nya. Elisabet sangat yakin akan hal ini. Bagi dia Yesus saja cukup. Aku pun akan belajar mencukupkan diri hanya dengan Yesus.
Ngadireso, 24 Desember 2008
Hari-hari ini saya sedang menggumuli catatan retret Beata Elisabeth dari Tritunggal. Kebetulan tahun ini saya belum mengambil waktu retret bersama (member retret sudah, retret sendiri belum) maka di penghujung tahun ini saya mengambil waktu untuk retret 8 hari penuh. Tidak menggunakan pembimbing fisik, tetapi ada pembimbing rohaninya, Beata Elisabet dari Tritunggal.
Tokoh emosional, demikian Rm. Buyung menggambarkan sosok pembimbing saya ini, pernah saya geluti waktu membuat skripsi. Namun, sejauh permenungan saya, yang saya buat dulu sangat dangkal. Karena saya tidak berani (atau ga sanggup lebih tepatnya) untuk masuk dan bergumul dengan tulisannya-tulisannya secara mendalam.
Dalam kesempatan retret ini saya memiliki waktu yang cukup, dan mestinya cukup untuk menggeluti satu catatan retretnya. Saya mengambil retret terakhir (Last Retreat of Laudem Gloriae) untuk saya jadikan bahan retret saya sendiri. Ada 16 renungan, maka satu hari saya selesaikan dua renungan. Bukan sesuatu yang mudah, bahkan saya merasa berat sekali. Pertama bahasa Inggris saya sangat jelek sehingga kesulitan memahaminya. Kedua banyak istilah-istilah aneh, mungkin istilah spiritual ya, hehehehehe. Maka ‘mengindonesiakan’ dua renungan itu memang membutuhkan waktu sehari penuh. Maka meski retret pribadi waktunya sungguh penuh.
Membaca catatan retretnya saya berjumpa dengan sosok lain yang sangat luar biasa, Santo Paulus. Kebetulan saya Paulus, maka saya semakin girang alang kepalang. Meski kesulitan tiada henti menghadang. Maka ketika malam ini saya merenungkan peristiwa natal, saya tidak bisa tidak berpaling dari renungan Elisabet, dari ajaran Paulus (kebetulan bacaan kedua malam ini dari Paulus!).
Merayakan Natal adalah merayakan syukur atas anugerah Tuhan. Anugerah itu Putera-Nya sendiri. Keselamatan yang Ia janjikan diwujudkan dengan mengirim anak-Nya sendiri. Sungguh luar biasa, sebuah kerendah hatian dan kesetiaan yang tiada taranya.
Apa yang masih kita butuhkan lagi? Jika yang menjamin seluruh kebutuhan kita telah nyata. Apa yang kurang? Apa yang lebih indah dari bersatu dengan kasih Allah, bersatu dengan Allah. Hari ini Kasih itu telah diberikan kepada kita.
Dia adalah damai sejahtera kita, dalam Dia kita memperoleh jalan kepada Bapa. Semuanya telah genap, lengkap, karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu. Artinya, di dalam Dia yang malam ini lahir, kita memperoleh penyelesaian atas segala persoalan kita. Kegelisahan, kesusahan, kesemarawutan, hanya ada ketika kita jauh dari Tuhan, ketika kita membiarkan segala nafsu dan hasrat-hasrat yang tidak sehat menguasai.
Sudah saatnya kita sungguh-sungguh berani mengakarkan dan mendasarkan seluruh hidup kita dalam Yesus. Sekaligus di sana kita meninggalkan seluruh keakuan kita, cinta diri kita, kesenangan-kesenangan kita, agar bisa masuk dan berakar lebih dalam pada Yesus.
Inilah kiranya yang diminta Paulus tatkala berkata supaya kita meninggalkan segala kefasikan dan keinginana duniawi, sekaligus lebih meningkatkan kebijaksanaan, laku adil, dan ibadah. Sikap ini, sekali lagi menurut St. Paulus, alah berani menjadikan Yesus sebagai kepala bagi seluruh hidup kita. Sebagai kepala Ia akan menghantar kita kepada Bapa.
Hari ini kita merayakan kelahiran Yesus. Ia yang akan menghantarkan segala kebahagiaan, mengalirkan getah rohani secara melimpah, memastikan satu ‘tiket’ kita di rumah-Nya. Sungguh senang seandainya tiket sungguh telah ada di genggaman. Nyatanya tiket itu masih harus dikejar dan diperjuangkan. Lebih mengenaskan lagi, perjuangan yang ada ternyata bukan untuk mendapatkan tiket itu, tetapi tiket yang lain. Karena kerap saya masih larut dalam segala kefasikan, dalam nafsu-nafsu sesaat dan hasrat-hasrat kedagingan masih menguasai.
Malam ini, saya sendirian merayakan Natal, dalam keheningan padang gurun. Tidak ada nyanyian, tidak music meriah, tidak ada lampu kerlap-kerlip. Menurut Elisabet, dalam kehingan terletak keuatan kita. Keheningan membantu mata hati menjadi jernih (menurut Sr. Merry hati hening mata bening), akan membantu kita lebih jelas memandang Tuhan kita.
Memandang Dia dalam keheningan. Memandang Dia yang lahir dalam keheningan dan kehinaan di kandang. Di sanalah kekuatanku. Sumber tenaga untuk mengalahkan segala kefasikan dan kelemahan daging. Sumber kekuatan untuk bisa hidup selaras dengan kehendak Bapa. Sumber pengharaan untuk mendapatkan kebahagiaan bersama Bapa. Sumber cinta untuk hidup bijak dan berlaku adil.
Yesus saja sudah cukup, bahkan berlimpah. Aku akan meneguhkan pandangan dan takkan memalingkan tatapanku pada-Nya. Ia yang akan memberi kekuatan tatkala aku jatuh, Ia yang tidak akan melupakan aku ketika kembali dan berlari kepada-Nya. Elisabet sangat yakin akan hal ini. Bagi dia Yesus saja cukup. Aku pun akan belajar mencukupkan diri hanya dengan Yesus.
Ngadireso, 24 Desember 2008
Comments
Tanpa bermaksud untuk menyangkali keberadaan Bapa, Anak dan Roh Kudus yang juga telah berulangkali diungkapkan dalam Perjanjian Baru, berikut ini Shema Yisrael dengan huruf Ibrani dan cara membacanya dengan mengikuti aturan tata bahasa yang ada
Huruf Ibrani, " שמע ישראל יהוה אלהינו יהוה אחד "
Cara membacanya, " Shema Yisrael YHWH ( Adonai ) Eloheinu YHWH ( Adonai ) ekhad "
Dilanjutkan dengan mengucap berkat
Huruf Ibrani, " ברוך שם כבוד מלכותו לעולם ועד "
Cara membacanya, " Barukh Shem kevod, malkuto le'olam va'ed "
( Diberkatilah Nama mulia, KerajaanNya untuk selama-lamanya )
🕎✡️🐟🤚🏻👁️📜🕯️🕍🤴🏻👑🇮🇱🗝️🛡️🗡️🏹⚖️⚓✝️🗺️🌫️☀️🌒⚡🌈🌌🔥💧🌊🌬️❄️🌱🌾🍇🍎🍏🌹🍷🥛🍯🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐍₪