BAHAGIA
Apakah kamu merasa bahagia? Itu pertanyaan seorang teman kepadaku beberapa saat yang lalu. Teman yang lain bertanya, dengan lebih religius, mengapa Tuhan menciptakan air mata (baca: kesedihan) di samping kebahagiaan. Di samping itu beberapa teman memberi sebuah pernyataan bahwa setiap orang itu mengejar kebahagiaan. Terus seperti apakah kebahagiaan itu?
Karena banyak pertanyaan yang muncul, maka saya juga bertanya kepada beberapa teman. Kapankah kamu sungguh-sungguh merasa bahagia? Ada yang menjawab kalau bisa membahagiakan orang lain. Terus saya bertanya lagi, kapan kamu tahu bahwa orang lain sudah berbahagia? Apakah ketika mereka mampu tertawa, atau kalau mereka mengatakan hatinya senang, atau apa? Sulit ukurannya.
Inilah beberapa jawaban saya atas beberapa pertanyaan teman tadi.
Ketika seorang teman menanyakan mengapa ada air mata alias kesedihan di samping kebahagiaan, saya menjawab dengan mencari teman yang lain. Kebetulan kulit saya gelap, maka saya mencari teman yang berkulit putih. Kemudian saya duduk di sampingnya. Setelah itu saya bertanya kepada teman yang mengajukan pertanyaan tadi. Apakah yang kamu lihat?
Teman saya tadi menjawab bahwa saya kelihatan semakin hitam dan teman di sebelah saya menjadi kelihatan semakin putih. Yang hitam menjadi kelihatan lebih hitam karena berada di samping yang putih. Demikian juga sebaliknya.
Penderitaan berada di samping kebahagiaan, agar kita sungguh-sungguh bisa merasakan nikmat kebahagiaan setelah merasakan pedih penderitaan. Orang yang tidak pernah merasakan kesedihan, ia tidak akan bisa merasakan dengan sungguh sebuah kebahagiaan.
Nikamt sebuah makan adalah tatkala perut lapar.
Seorang teman lain lagi mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu seperti sebuah bandul pendulum. Bandul itu selalu bergerak simetris. ke kiri dan ke kanan senantiasa simetris. Demikian juga kebahagiaan dan penderitaan itu senantiasa simetris. Kebahagiaan bergerak ke arah kanan sejauh kepedihan bergerak ke arah kiri, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun banyak orang tetap mengatakan bahwa kepedihan dan kebahagiaan itu berjalan tidak seimbang. Hidup ini terlalu banyak penderitaan, bahkan ruang untuk hadirnya kebahagiaan seolah-olah tidak ada lagi. Apakah memang seperti itu?
Ternyata tidak. Teman yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kepedihan itu bergerak seperti bandul memang benar. Hanya saya mata dan hati kita kerap terpaku kepada gerak bandul kepedihan dan kita tidak pernah mau menengok bandul ketika bergoyang ke arah kebahagiaan.
Karena kepedihan dan kebahagiaan itu seperti bandul, maka mestinya seseorang tidak terlalu gembira ketika berbahagia dan tidak terlalu sedih ketika menderita. Masing-masing akan datang pada saat yang sama. Hati yang tenang akan mampu menanggungkannya.
Maka ketika saya ditanya kapan saya sungguh merasa bahagia, jawaban saya adalah ketika bisa merasakan penderitaan dan kebahagiaan dengan seimbang. Ketika tidak terlalu tertawa lebar di saat bahagia dan tidak jatuh tersuruk tatkala menderita.
Karena banyak pertanyaan yang muncul, maka saya juga bertanya kepada beberapa teman. Kapankah kamu sungguh-sungguh merasa bahagia? Ada yang menjawab kalau bisa membahagiakan orang lain. Terus saya bertanya lagi, kapan kamu tahu bahwa orang lain sudah berbahagia? Apakah ketika mereka mampu tertawa, atau kalau mereka mengatakan hatinya senang, atau apa? Sulit ukurannya.
Inilah beberapa jawaban saya atas beberapa pertanyaan teman tadi.
Ketika seorang teman menanyakan mengapa ada air mata alias kesedihan di samping kebahagiaan, saya menjawab dengan mencari teman yang lain. Kebetulan kulit saya gelap, maka saya mencari teman yang berkulit putih. Kemudian saya duduk di sampingnya. Setelah itu saya bertanya kepada teman yang mengajukan pertanyaan tadi. Apakah yang kamu lihat?
Teman saya tadi menjawab bahwa saya kelihatan semakin hitam dan teman di sebelah saya menjadi kelihatan semakin putih. Yang hitam menjadi kelihatan lebih hitam karena berada di samping yang putih. Demikian juga sebaliknya.
Penderitaan berada di samping kebahagiaan, agar kita sungguh-sungguh bisa merasakan nikmat kebahagiaan setelah merasakan pedih penderitaan. Orang yang tidak pernah merasakan kesedihan, ia tidak akan bisa merasakan dengan sungguh sebuah kebahagiaan.
Nikamt sebuah makan adalah tatkala perut lapar.
Seorang teman lain lagi mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan itu seperti sebuah bandul pendulum. Bandul itu selalu bergerak simetris. ke kiri dan ke kanan senantiasa simetris. Demikian juga kebahagiaan dan penderitaan itu senantiasa simetris. Kebahagiaan bergerak ke arah kanan sejauh kepedihan bergerak ke arah kiri, tidak lebih dan tidak kurang.
Namun banyak orang tetap mengatakan bahwa kepedihan dan kebahagiaan itu berjalan tidak seimbang. Hidup ini terlalu banyak penderitaan, bahkan ruang untuk hadirnya kebahagiaan seolah-olah tidak ada lagi. Apakah memang seperti itu?
Ternyata tidak. Teman yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kepedihan itu bergerak seperti bandul memang benar. Hanya saya mata dan hati kita kerap terpaku kepada gerak bandul kepedihan dan kita tidak pernah mau menengok bandul ketika bergoyang ke arah kebahagiaan.
Karena kepedihan dan kebahagiaan itu seperti bandul, maka mestinya seseorang tidak terlalu gembira ketika berbahagia dan tidak terlalu sedih ketika menderita. Masing-masing akan datang pada saat yang sama. Hati yang tenang akan mampu menanggungkannya.
Maka ketika saya ditanya kapan saya sungguh merasa bahagia, jawaban saya adalah ketika bisa merasakan penderitaan dan kebahagiaan dengan seimbang. Ketika tidak terlalu tertawa lebar di saat bahagia dan tidak jatuh tersuruk tatkala menderita.
Comments