The Real Kuliner from Samarinda (From Samarinda with Love part 2 - Journey of Kuliner in Borneo part 6)
Kali ini saya hendak bercerita secara khusus mengenai petualangan kuliner. Yach sesuai dengan judulnya ‘journey of kuliner’. Tiga hari di Samarinda telah memberikan beberapa kesan mendalam mengenai acara makan yang hemmm dasyat. Bukan hanya menunya yang dasyat tetapi juga bahan dan bentuknya.
Soto Banjar
Keluarga Ibu Linda yang menjemput saya di terminal langsung membawa saya ke sebuah depot untuk sarapan. Depot yang mereka tuju menyajikan menu-menu khas Banjar. Agak aneh sebenarnya, karena ini Samarinda dan kami menuju depot Banjar. Namun saya tidak bisa banyak berkomentar karena saya hanya diajak dan lagi belum tahu daerah Samarinda dan tidak tahu juga mau makan apa. Untunglah saya ini jenis omnivore, jadi tidak pernah merepotkan orang lain. Apa pun masuk dan bisa saya nikmati.
Jadilah sarapan hampir jam sepuluh atau hampir jam sebelas menurut waktu orang Samarinda. Saya memesan soto banjar, karena ini menu istimewanya. Dan lagi saya belum makan soto di Banjarmasin. Meski salah tempat, toh tetap asyik makan soto. Minumnya juga special, Jeruk special Banjar. Awalnya saya berpikir menu ini super special, nyatanya biasa saja. Maksudnya jeruk banjarnya. Mungkin yang meracik orang banjar, atau jeruknya dari banjar. Lepas dari itu, sotonya lumayan enak.
Dulu saya mengira bahwa kekhasan soto banjar itu karena kuahnya diberi susu, karena warnanya agak putih. Ternyata bukan. Memang ada sebagian koki yang menggunakan susu, tetapi kebanyakn menggunakan kentang tumbuk. Laiknya soto pada umumnya, unsur utamanya adalah daging ayam, telor diiris, kubis, dan kuah. Entah mau diapain aja, divariasi dengan apa saja (kecuali soto daging) unsur tersebut pasti ada.
Ikan patin ini
Habis makan kami langsung menuju jalan Belatuk di mana keluarga Ibu Linda tinggal. Waduh jalan Belatuk itu luar biasa banget. Rusak parah, lobang besar-besar. Katanya daerah itu sering banjir. Bahkan sekolah Fransiskus Asisi yang terletak di jalan Belatuk pernah meliburkan muridnya selama seminggu karena banjir semester. Jalan Belatuk merupakan satu-satunya akses, maka sewaktu banjir datang semua meradang.
Keluarga Ibu Linda juga pernah mengungsi ketika banjir datang. Ketika banjir pergi, jalan rusak bukan alang kepalang. Banjir di Samarinda ini ternyata bukan disebabkan oleh curah hujan yang begitu tinggi, namun sebagian besar oleh luapan suangai Mahakam yang mahadasyat. Sungai Mahakam telah memberi pemahaman baru mengenai sungai pada kepala saya. Selama ini saya mengira sungai itu ya kecil-kecil, kayak di Jawa. Ternyata setelah ke Kalimantan aku baru tahu the real rivers. Alamak sungai kok ombo banget. Bahkan ada pelabuhan sungai saja bisa untuk kapal-kapal besar yang membawa peti kemas. Weh-weh-weh.
Setiba di rumah saya langsung meminta ember untuk mencuci pakaian kotor. Maklum, dalam petualangan ini saya tidak membawa banyak pakaian. Maka di setiap persinggahan saya selalu mencuci dan setrika, agar bisa dipakai lagi. Syukur kepada Allah, saya tidak perlu mencuci sendiri. Ada mesin cuci yang sungguh menggantikan fungsi tangan untuk mengucek pakaian. Kemudian ada ibu yang membantu di rumah itu berkenan mensetrikakan. Waduh saya diladeni banget.
Saya sebenarnya diminta istirahat, tetapi tidak bisa. Tidak tahu kenapa, padahal baru menempuh perjalanan darat dari jam 4 sore hingga jam 9 pagi. Saya rasa hati yang senang sungguh memberi kekuatan yang besar. Nyatanya badan ini tidak lelah sama sekali. Apalagi perut kenyang setelah semalam puasa, hehehehe, hemat uang saku.
Jam 2 siang mereka mengajak makan siang. Alamak, makanan di perut belum dicerna sama usus sudah diajak makan lagi. Saya tidak bisa menolak, apalagi diajak makan, siapa yang bisa menolak. Namun saya katakana dengan jujur bahwa sebenarnya saya belum begitu lapar, tetapi saya bersedia makan. Dan untungnya lagi saya suka makan.
Kami tidak makan aneh-aneh, yang standart saja. Karena ternyata mereka juga belum terlalu lapar. Hanya karena mereka mesti menjamu saya maka mereka mengajak makan siang. Setelah makan siang Om (aduh maafkan saya karena tidak tahu namanya, selama di sana hanya menyapa, selamat pagi pak, ngobrol, dll, tanpa menanyakan namanya, huhh kesalahan fatal!) langsung istirahat karena sore hendak kulaih, sedangkan Bu Linda ke took untuk menutup took. Mereka berjualan pintu dan aneka tempat penganan lock and lock.
Mereka meminta saya sungguh istirahat karena sore hendak dijemput ibu-ibu yang lain untuk makan-makan . hemmm makan-makan lagi. Yah akhirnya meski tidak berniat tidur saya rebahan juga. AC kamar saya matikan, dingin banget… padahal menurut tuan rumah panas banget. Mungkin emang aku lebih kuat panas daripada dingin. Alasan lainnya, aku ga kuat AC, bisa masuk angin dan semua kegiatan akan berantakan. Maka lebih baik berkeringat karena panas daripada dingin tapi masuk angin.
Jam 5 saya sudah bangun dan mandi. Habis mandi saya duduk di ruang keluarga sambil membaca Koran. Mereka membeli Koran special untuk saya. Samarinda Post dan Kaltim Post. 90 persen beritanya ya mengenai Samarinda dan Kalimantan Timur. Saya mencoba mencari berita mengenai Jawatimur dan Malang ndak ketemu. Beritanya juga ga begitu menarik, banyak berisi ulasan mengenai ulang tahun Kaltim Post. Juga rencana gerak jalan missal di 7 kota serempak.
Lagi enak membaca ada seorang ibu datang. Rupanya mamanya Suharyono. Beliau datang ntuk membicarakan masalah anak dan suaminya. Cerita ini selengkapnya sudah saya tulis di edisi sebelumnya. Jam 6 lewat beberapa ibu datang. Mereka adalah orangtuanya Aris dan Jessika Njes. Setelah ngobrol sebentar kami meluncur pergi. Satu mobil diisi 6 orang, tidak mungkin tambah lagi. Tujuan kami adlaah rumah makan special ikan.
Dari beberapa menu yang tersaji, saya takjub dengan ikan Patin. Di Malang saya sering makan ikan Patin bersama Rm. Joko. Dan biasanya satu orang pasti makan satu ekor. Tapi di sini satu porsi hanya satu iris saja. Saya masih keheranan karena satu iris ini begitu besar. Lantas seberapa besar satu ekornya ya? Wuih-wuih-wuih. Jan ndeso saya ini. Meski keheranan toh saya santap juga. Mereka memesan 5 macam menu, semuanya ikan, semuanya hasil dari sungai Mahakam. Saya bayangkan hasil dari sungai Brantas (di Karangkates) adalah ikan Mujahir, dan itu kecil-kecil.
Sambil makan kami ngobrol panjang lebar. Saling menggoda dan melucu. Mereka meminta saya untuk mencicipi seluruh menu. Waduh, sebenarnya sangat senang, hanya saja perut ini masih terisi setengah, sebab makan pagi dan siangnya dalam jarak waktu yang sangat dekat. Meski demikian saya lahap semua, hehehehehe. Jangan mengira saya rakus alias ngragas. Sebab memang sisanya tinggal sedikit, dari pada dibuang khan mubazir. Sebab banyak orang yang ga bisa makan, maka saya makan benar-benar dengan rasa syukur. Semua akan menjadi berkat dan obat, tidak ada yang menjadi penyakit.
Lebih dari satu jam kami bersantap di rumah makan itu, yangsayang saya lupakan namanya, tetapi tidak lupa rasa ikan patinnya yang mak nyus. Di dinding rumah makan terpampang beberpa foto Bondan Winarno. Rupanya wisata kuliner pernah singgah di warung ini. Meski saya disambut sebagai tamu agung, toh tidak ada yang mengabadikan mment itu dalam gambar. Namun jangan berkecil hati, saya tetap mengabadikan kenangan makan di sana dalam hati, dalam lembaran ini, dalam tulisan ini, hehehehehehe.
Kepiting oh Kepiting
Kami meninggalkan rumah makan sudah sekitar jam 9. Terlalu malam untuk keluyuran lagi. Saya pun, setelah perut dijejali berbagai ikan mata menjadi berat. Penyakit yang sulit dihilangkan, begitu perut kenyang inginnya tidur. Sampai di rumah Belatuk, orangtua Aris dan Jesika langsung pamit. Sebelum pamit, ibu Njes ngasih krupuk kuku macan. Katanya oleh-oleh khas Samarinda.
Sampai di dalam Ibunya Suha kebingungan karena kunci motornya hilang. Kami juga bingung mencari. Ada yang curiga kunci itu masih nempel di motor, tetapi setalh dicek tidak ada. Dan tidak mungkin dicuri orang lain, karena kenapa mesti mencuri hanya kuncinya bukan sekalian dengan motornya. Saya sendiri yakin bahwa kunci itu ada di dalam rumah, karena sempat saya lihat tadi dipegang. Maka saya lihat di lipatan-lipatan kursi, dan karena kursi itu sambungan saja maka saya pisah dan benar. Kunci itu ada di sana.
Setelah itu saya masuk ke kamar berganti pakaian dan menyalakan Laptop. Maksud hati ingin menulis pengalaman hari ini, namun baru saja membuka mata ini malah ingin menutup. Maka ya sudah, habis membuka laptop saya langsung mematikan. Dan berangkat tidur. Masih seperti tadi sore, setelah mematikan pendingain ruangan.
Jam 5 saya bangun, saat itu tuan rumah belum bangun. Saya segera mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih rapi meski agak santai. Acara hari ini promosi dan mengunjungi keluarga. Semuanya sudah saya ceritakan di bagian Silaturahim. Maka saya langsung bercerita pada sore hari saja.
Sore ini saya akan diajak orangtuanya Yudith untuk makan malam. Kemaren mereka tidak bisa ikut karena masih ada acara yang lain. Bersama kami turut pula ibunya Suha. Tujuan kami adalah rumah makan special kepiting. Mereka bertanya pada saya apakah suka kepiting. Lalu saya jawab sangat.
Warung kepiting ini memiliki menu andalan baru yaitu kepiting bakar. Tetapi kami memesan menu pertama adalah kepiting goring satu porsi, lalu tambah kepiting bakar juga satu porsi. Saya piker seperti di malang satu porsi itu dua ekor, ternyata di sini satu porsi itu empat ekor. Wuihh, sungguh pesta kepiting.
Ayahnya Yudith rupanya penggemar berat kepiting. Kami berdua seperti berlomba. Selain suka, saya memang ingin menyukakan hati mereka yang mengajak saya makan. Sebagai menu sampingan dipesan ikan patin dan udang windu kecil goreng tepung. Sebagai sayur dipesan cah brokoli. Saya meminta es jeruk yang ternyata sangat manis, bahkanketika tambah lagi dengan meminta gula dikurangi toh tetap manis. Karena menurutnya sudah menjadi satu paket, wuih tambah manislah saya yang sudah manis ini.
Perlahan namun pasti sajian kepiting di Loyang melamin itu beralih menjadi gunungan cangkang di piring remah-remah. Menurut pemilik warung, bulan ini kepitingnya bagus-bagus, dagingnya penuh, tidak ada yang kosong. Lebih dari yang lain, makan kepiting kali ini saya sungguh makan kepiting. Artinya, tidak dikelabuhi oleh bumbu. Biasanya saya selalu memesan kepiting saos padang. Pedas saosnya menutupi rasa manis daging kepiting. Sekarang kami makan kepiting goring dan bakar yang bumbunya sangat minim, hanya mengandalkan bawang putih saja. Malah dengan demikian, rasa kepitingnya sangat terasa, sungguh nendang.
Meski berjuang dengan gagah berani, saya mesti mengakui kehebatan ayah Yudith. Saya menyerah sebelum kepiting benar-benar tuntas. Orang bijak mengatakan bahwa kita harus bisa berkata cukup. Dan saya harus mengatakan cukup, meski mulut masih ingin, namun perut sudah mengatakan cukup. Mereka bisa mengerti, dan ayah Yudith membereskan semua yang harus dibereskan.
Bubur ayam
Selepas dari warung kami mampir ke rumah Yudith. Rumah itu hanya ditunggu oleh anjing yang sangat gemuk. Benar-benar obesitas. Padahal menurut pemiliknya, anjing itu hanya makan sehari sekali 10 kepala ayam. Aning golden itu menjadi tidak menarik karena badannya sungguh tambun.
Kami ngobrol ngalor ngidu di ruang keluarga. Pikiran saya masih terheran-heran, biasalah orang katro’ selalu terheran-heran kalau melihat hal baru. Rumah sebesar ini hanya berpenghuni dua orang, suepi banget. Padahal banyak ruangan dan besar-besar. Inilah jika keluarga berencana berhasil, keluarga menjadi kecil-kecil sehingga rumah menajdi sepi. Apalagi kalau anak-anaknya pergi merantau ke luar pulau.
Sekita sejam kami pergi lagi untuk pulang. Saya mesti tidur di rumah Ibu Linda dan lagi ibunya Suha mesti beli nasi goreng untuk anaknya. Sampai di rumah Bu Linda juga baru datang dari kebaktian atau PD saya kurang yakin atau gabungan dari kebaktian dan PD. Kami tidak ngobrol banyak karena saya mesti packing barang-barang untuk pergi besok pagi. Karena para ibu memberi oleh-oleh, jadinya tas ini mengembang, perlu tambahan satu ats lagi bahkan. Namun akan merepotkan kalau saya mesti membawa tiga tas. Maka beberapa barang pemberian itu saya bongkar. Hanya isinya saya bawa, sedangkan bukusnya saya tinggal. Dengan begitu saya menghemat banyak tempat, dan semua barang bisa saya bawa dalam 2 tas. Jam 11 saya selesai packing dan bernagkat tidur.
Pagi-pagi saya sudah bangun dan segera mandi. Hari hari ketiga saya di Samarinda dan akan melanjutkan perjalanan menuju kota Sangata. Pagi itu saya masih sempat ketemu dengan Om dan menyampaikan salam terimakasih. Bersama Bu Linda saya diajak mencari sarapan sebelum menuju terminal. Kami akan sarapan bubur. Rupanya di sana telah menunggu beberapa ibu. Katanya ini perpisahan maka mereka rela ngumpul pagi-pagi. Wuih, jadi terharu.
Menurut mereka bubur di sini enak, dan cocok untuk sarapan. Saya memilih bubur ayam, namun sembari menunggu saya dipesankan Bakpao isi daging. Wadooh, makan bakpao saja sudah kenyang masih harus makan bubur lagi. Namun, sebagai prinsip jangan mengecewakan tuan rumah, saya menikmati buburnya juga. Hanya saja saya tidak ambil banyak-banyak. Pertimbangan saya sederhana, nanti akan terguncang-guncang di bus maka saya usahakan agar perut tidak terlalu penuh. Diisi ¾ tangki saja, hehehehehe.
Seandainya ini bukan hari terakhir saya masih ingin nambah buburnya. Benar-benar enak dan mak nyus. Bubur-bubur yang pernah saya santap tidak selezat ini. Juga hidangan sampingannya, ayam goreng dan bakpaonya. Masih tersisa satu potong ayam di piring saya berikan ibunya Suha, karena saya lihat beliau masih ingin nambah hanya sungkan. Saya katakan dengan tambahan satu potong ayam tidak akan menambah gemuk. Namun saya tidak mengambil karena akan berada dalam perjalanan. Tidak baik kalau terlalu kenyang. Mereka memahami alasan saya.
Selesai makan kami masih ngobrol-ngobrol ringan. Saya pun masih emmberikan nasihat singkat kepada ibunya Suha, juga ungkapan terimakasih kepada beberapa ibu di sana. Terimakasih karena menerima saya, menitipkan anaknya untuk sekolah di tempat saya bekerja, dan atas persaudaraan yang begitu hangat. Lalu saya meluncur bersama ibu Linda sedangkan yang lain menuju rumahnya masing-masing.
Sebelum benar-benar berpisah mereka mengatakan bahwa saya pasti akan kembali. Menurut kepercayaan warga Samarinda, kalau saya sudah minum air sungai Mahakam, maka saya akan kembali lagi. Itu menyenangkan sekali, apalagi kalau kembali untuk makan-makan lagi. Semuanya tidak menajdi masalah. Samarinda sungguh memberikan kenangan kuliner yang luar biasa.
Pesan:
1. Bumbu utama setiap makanan adalah rasa lapar. Meski masakan itu sederhana jika disantap di kala lapar, akan terasa sangat dasyat. Sebaliknya seenak apapun makanan itu jika perut kita masih penuh tidak akan terasa keenakannya, dan hati kita tidak tergerak untuk menyantapnya.
2. Kalau kamu tidak memiliki banyak waktu jangan makan kepiting, karena kamu akan dipiting sungguh. Kepiting sungguh-sungguh gambaran kebahagiaan. Untuk mendapatkan rasanya yang luar biasa kita harus sabar, hati-hati dan telaten menyingkirkan cangkangnya. Kalau kita terburu-buru dan tidak telaten salah-salah tangan kita akan tertusuk atau japitnya akan mengenai diri kita. Demikianpun untuk mendapatkan kebahagiaan, kita mesti sabar dan telaten menghadapi berbagai rintangan dan kerasnya hidup, terkdang harus terjepit dan tertusuk duri hidup baru bisa merasakan indahnya kebahagiaan.
3. Berani berkata cukup adalah kunci setiap hidup. Terlalu kenyang itu tidak nikmat. Dalam segala hal, terlalu itu jelek. Maka yang sedang-sedang saja memang sungguh pas. Jangan terlalu lebar tertawa jika gembira dan jangan terlalu tersuruk kalau menangis sedih, yang biasa-biasa saja, karena semuanya akan mengalir dan datang bergantian. Nasihat yang lain, jangan terlalu kalau membenci seseorang, agar tidak terlalu malu jika harus mencintainya.
4. Berani berkata cukup juga akan memberi harapan. Harapan untuk kembali lagi dan menemui hal-hal yang menyenangkan kembali. Ketika masih ada banyak hal yang belum kita nikmati tetap bergembiralah, karena dengan itu kita masih punya harapan untuk datang lagi dan menikmatinya.
Talang 3-Malang, 10 Februari 2009, 12.24 wib.
Soto Banjar
Keluarga Ibu Linda yang menjemput saya di terminal langsung membawa saya ke sebuah depot untuk sarapan. Depot yang mereka tuju menyajikan menu-menu khas Banjar. Agak aneh sebenarnya, karena ini Samarinda dan kami menuju depot Banjar. Namun saya tidak bisa banyak berkomentar karena saya hanya diajak dan lagi belum tahu daerah Samarinda dan tidak tahu juga mau makan apa. Untunglah saya ini jenis omnivore, jadi tidak pernah merepotkan orang lain. Apa pun masuk dan bisa saya nikmati.
Jadilah sarapan hampir jam sepuluh atau hampir jam sebelas menurut waktu orang Samarinda. Saya memesan soto banjar, karena ini menu istimewanya. Dan lagi saya belum makan soto di Banjarmasin. Meski salah tempat, toh tetap asyik makan soto. Minumnya juga special, Jeruk special Banjar. Awalnya saya berpikir menu ini super special, nyatanya biasa saja. Maksudnya jeruk banjarnya. Mungkin yang meracik orang banjar, atau jeruknya dari banjar. Lepas dari itu, sotonya lumayan enak.
Dulu saya mengira bahwa kekhasan soto banjar itu karena kuahnya diberi susu, karena warnanya agak putih. Ternyata bukan. Memang ada sebagian koki yang menggunakan susu, tetapi kebanyakn menggunakan kentang tumbuk. Laiknya soto pada umumnya, unsur utamanya adalah daging ayam, telor diiris, kubis, dan kuah. Entah mau diapain aja, divariasi dengan apa saja (kecuali soto daging) unsur tersebut pasti ada.
Ikan patin ini
Habis makan kami langsung menuju jalan Belatuk di mana keluarga Ibu Linda tinggal. Waduh jalan Belatuk itu luar biasa banget. Rusak parah, lobang besar-besar. Katanya daerah itu sering banjir. Bahkan sekolah Fransiskus Asisi yang terletak di jalan Belatuk pernah meliburkan muridnya selama seminggu karena banjir semester. Jalan Belatuk merupakan satu-satunya akses, maka sewaktu banjir datang semua meradang.
Keluarga Ibu Linda juga pernah mengungsi ketika banjir datang. Ketika banjir pergi, jalan rusak bukan alang kepalang. Banjir di Samarinda ini ternyata bukan disebabkan oleh curah hujan yang begitu tinggi, namun sebagian besar oleh luapan suangai Mahakam yang mahadasyat. Sungai Mahakam telah memberi pemahaman baru mengenai sungai pada kepala saya. Selama ini saya mengira sungai itu ya kecil-kecil, kayak di Jawa. Ternyata setelah ke Kalimantan aku baru tahu the real rivers. Alamak sungai kok ombo banget. Bahkan ada pelabuhan sungai saja bisa untuk kapal-kapal besar yang membawa peti kemas. Weh-weh-weh.
Setiba di rumah saya langsung meminta ember untuk mencuci pakaian kotor. Maklum, dalam petualangan ini saya tidak membawa banyak pakaian. Maka di setiap persinggahan saya selalu mencuci dan setrika, agar bisa dipakai lagi. Syukur kepada Allah, saya tidak perlu mencuci sendiri. Ada mesin cuci yang sungguh menggantikan fungsi tangan untuk mengucek pakaian. Kemudian ada ibu yang membantu di rumah itu berkenan mensetrikakan. Waduh saya diladeni banget.
Saya sebenarnya diminta istirahat, tetapi tidak bisa. Tidak tahu kenapa, padahal baru menempuh perjalanan darat dari jam 4 sore hingga jam 9 pagi. Saya rasa hati yang senang sungguh memberi kekuatan yang besar. Nyatanya badan ini tidak lelah sama sekali. Apalagi perut kenyang setelah semalam puasa, hehehehe, hemat uang saku.
Jam 2 siang mereka mengajak makan siang. Alamak, makanan di perut belum dicerna sama usus sudah diajak makan lagi. Saya tidak bisa menolak, apalagi diajak makan, siapa yang bisa menolak. Namun saya katakana dengan jujur bahwa sebenarnya saya belum begitu lapar, tetapi saya bersedia makan. Dan untungnya lagi saya suka makan.
Kami tidak makan aneh-aneh, yang standart saja. Karena ternyata mereka juga belum terlalu lapar. Hanya karena mereka mesti menjamu saya maka mereka mengajak makan siang. Setelah makan siang Om (aduh maafkan saya karena tidak tahu namanya, selama di sana hanya menyapa, selamat pagi pak, ngobrol, dll, tanpa menanyakan namanya, huhh kesalahan fatal!) langsung istirahat karena sore hendak kulaih, sedangkan Bu Linda ke took untuk menutup took. Mereka berjualan pintu dan aneka tempat penganan lock and lock.
Mereka meminta saya sungguh istirahat karena sore hendak dijemput ibu-ibu yang lain untuk makan-makan . hemmm makan-makan lagi. Yah akhirnya meski tidak berniat tidur saya rebahan juga. AC kamar saya matikan, dingin banget… padahal menurut tuan rumah panas banget. Mungkin emang aku lebih kuat panas daripada dingin. Alasan lainnya, aku ga kuat AC, bisa masuk angin dan semua kegiatan akan berantakan. Maka lebih baik berkeringat karena panas daripada dingin tapi masuk angin.
Jam 5 saya sudah bangun dan mandi. Habis mandi saya duduk di ruang keluarga sambil membaca Koran. Mereka membeli Koran special untuk saya. Samarinda Post dan Kaltim Post. 90 persen beritanya ya mengenai Samarinda dan Kalimantan Timur. Saya mencoba mencari berita mengenai Jawatimur dan Malang ndak ketemu. Beritanya juga ga begitu menarik, banyak berisi ulasan mengenai ulang tahun Kaltim Post. Juga rencana gerak jalan missal di 7 kota serempak.
Lagi enak membaca ada seorang ibu datang. Rupanya mamanya Suharyono. Beliau datang ntuk membicarakan masalah anak dan suaminya. Cerita ini selengkapnya sudah saya tulis di edisi sebelumnya. Jam 6 lewat beberapa ibu datang. Mereka adalah orangtuanya Aris dan Jessika Njes. Setelah ngobrol sebentar kami meluncur pergi. Satu mobil diisi 6 orang, tidak mungkin tambah lagi. Tujuan kami adlaah rumah makan special ikan.
Dari beberapa menu yang tersaji, saya takjub dengan ikan Patin. Di Malang saya sering makan ikan Patin bersama Rm. Joko. Dan biasanya satu orang pasti makan satu ekor. Tapi di sini satu porsi hanya satu iris saja. Saya masih keheranan karena satu iris ini begitu besar. Lantas seberapa besar satu ekornya ya? Wuih-wuih-wuih. Jan ndeso saya ini. Meski keheranan toh saya santap juga. Mereka memesan 5 macam menu, semuanya ikan, semuanya hasil dari sungai Mahakam. Saya bayangkan hasil dari sungai Brantas (di Karangkates) adalah ikan Mujahir, dan itu kecil-kecil.
Sambil makan kami ngobrol panjang lebar. Saling menggoda dan melucu. Mereka meminta saya untuk mencicipi seluruh menu. Waduh, sebenarnya sangat senang, hanya saja perut ini masih terisi setengah, sebab makan pagi dan siangnya dalam jarak waktu yang sangat dekat. Meski demikian saya lahap semua, hehehehehe. Jangan mengira saya rakus alias ngragas. Sebab memang sisanya tinggal sedikit, dari pada dibuang khan mubazir. Sebab banyak orang yang ga bisa makan, maka saya makan benar-benar dengan rasa syukur. Semua akan menjadi berkat dan obat, tidak ada yang menjadi penyakit.
Lebih dari satu jam kami bersantap di rumah makan itu, yangsayang saya lupakan namanya, tetapi tidak lupa rasa ikan patinnya yang mak nyus. Di dinding rumah makan terpampang beberpa foto Bondan Winarno. Rupanya wisata kuliner pernah singgah di warung ini. Meski saya disambut sebagai tamu agung, toh tidak ada yang mengabadikan mment itu dalam gambar. Namun jangan berkecil hati, saya tetap mengabadikan kenangan makan di sana dalam hati, dalam lembaran ini, dalam tulisan ini, hehehehehehe.
Kepiting oh Kepiting
Kami meninggalkan rumah makan sudah sekitar jam 9. Terlalu malam untuk keluyuran lagi. Saya pun, setelah perut dijejali berbagai ikan mata menjadi berat. Penyakit yang sulit dihilangkan, begitu perut kenyang inginnya tidur. Sampai di rumah Belatuk, orangtua Aris dan Jesika langsung pamit. Sebelum pamit, ibu Njes ngasih krupuk kuku macan. Katanya oleh-oleh khas Samarinda.
Sampai di dalam Ibunya Suha kebingungan karena kunci motornya hilang. Kami juga bingung mencari. Ada yang curiga kunci itu masih nempel di motor, tetapi setalh dicek tidak ada. Dan tidak mungkin dicuri orang lain, karena kenapa mesti mencuri hanya kuncinya bukan sekalian dengan motornya. Saya sendiri yakin bahwa kunci itu ada di dalam rumah, karena sempat saya lihat tadi dipegang. Maka saya lihat di lipatan-lipatan kursi, dan karena kursi itu sambungan saja maka saya pisah dan benar. Kunci itu ada di sana.
Setelah itu saya masuk ke kamar berganti pakaian dan menyalakan Laptop. Maksud hati ingin menulis pengalaman hari ini, namun baru saja membuka mata ini malah ingin menutup. Maka ya sudah, habis membuka laptop saya langsung mematikan. Dan berangkat tidur. Masih seperti tadi sore, setelah mematikan pendingain ruangan.
Jam 5 saya bangun, saat itu tuan rumah belum bangun. Saya segera mandi dan berganti pakaian dengan yang lebih rapi meski agak santai. Acara hari ini promosi dan mengunjungi keluarga. Semuanya sudah saya ceritakan di bagian Silaturahim. Maka saya langsung bercerita pada sore hari saja.
Sore ini saya akan diajak orangtuanya Yudith untuk makan malam. Kemaren mereka tidak bisa ikut karena masih ada acara yang lain. Bersama kami turut pula ibunya Suha. Tujuan kami adalah rumah makan special kepiting. Mereka bertanya pada saya apakah suka kepiting. Lalu saya jawab sangat.
Warung kepiting ini memiliki menu andalan baru yaitu kepiting bakar. Tetapi kami memesan menu pertama adalah kepiting goring satu porsi, lalu tambah kepiting bakar juga satu porsi. Saya piker seperti di malang satu porsi itu dua ekor, ternyata di sini satu porsi itu empat ekor. Wuihh, sungguh pesta kepiting.
Ayahnya Yudith rupanya penggemar berat kepiting. Kami berdua seperti berlomba. Selain suka, saya memang ingin menyukakan hati mereka yang mengajak saya makan. Sebagai menu sampingan dipesan ikan patin dan udang windu kecil goreng tepung. Sebagai sayur dipesan cah brokoli. Saya meminta es jeruk yang ternyata sangat manis, bahkanketika tambah lagi dengan meminta gula dikurangi toh tetap manis. Karena menurutnya sudah menjadi satu paket, wuih tambah manislah saya yang sudah manis ini.
Perlahan namun pasti sajian kepiting di Loyang melamin itu beralih menjadi gunungan cangkang di piring remah-remah. Menurut pemilik warung, bulan ini kepitingnya bagus-bagus, dagingnya penuh, tidak ada yang kosong. Lebih dari yang lain, makan kepiting kali ini saya sungguh makan kepiting. Artinya, tidak dikelabuhi oleh bumbu. Biasanya saya selalu memesan kepiting saos padang. Pedas saosnya menutupi rasa manis daging kepiting. Sekarang kami makan kepiting goring dan bakar yang bumbunya sangat minim, hanya mengandalkan bawang putih saja. Malah dengan demikian, rasa kepitingnya sangat terasa, sungguh nendang.
Meski berjuang dengan gagah berani, saya mesti mengakui kehebatan ayah Yudith. Saya menyerah sebelum kepiting benar-benar tuntas. Orang bijak mengatakan bahwa kita harus bisa berkata cukup. Dan saya harus mengatakan cukup, meski mulut masih ingin, namun perut sudah mengatakan cukup. Mereka bisa mengerti, dan ayah Yudith membereskan semua yang harus dibereskan.
Bubur ayam
Selepas dari warung kami mampir ke rumah Yudith. Rumah itu hanya ditunggu oleh anjing yang sangat gemuk. Benar-benar obesitas. Padahal menurut pemiliknya, anjing itu hanya makan sehari sekali 10 kepala ayam. Aning golden itu menjadi tidak menarik karena badannya sungguh tambun.
Kami ngobrol ngalor ngidu di ruang keluarga. Pikiran saya masih terheran-heran, biasalah orang katro’ selalu terheran-heran kalau melihat hal baru. Rumah sebesar ini hanya berpenghuni dua orang, suepi banget. Padahal banyak ruangan dan besar-besar. Inilah jika keluarga berencana berhasil, keluarga menjadi kecil-kecil sehingga rumah menajdi sepi. Apalagi kalau anak-anaknya pergi merantau ke luar pulau.
Sekita sejam kami pergi lagi untuk pulang. Saya mesti tidur di rumah Ibu Linda dan lagi ibunya Suha mesti beli nasi goreng untuk anaknya. Sampai di rumah Bu Linda juga baru datang dari kebaktian atau PD saya kurang yakin atau gabungan dari kebaktian dan PD. Kami tidak ngobrol banyak karena saya mesti packing barang-barang untuk pergi besok pagi. Karena para ibu memberi oleh-oleh, jadinya tas ini mengembang, perlu tambahan satu ats lagi bahkan. Namun akan merepotkan kalau saya mesti membawa tiga tas. Maka beberapa barang pemberian itu saya bongkar. Hanya isinya saya bawa, sedangkan bukusnya saya tinggal. Dengan begitu saya menghemat banyak tempat, dan semua barang bisa saya bawa dalam 2 tas. Jam 11 saya selesai packing dan bernagkat tidur.
Pagi-pagi saya sudah bangun dan segera mandi. Hari hari ketiga saya di Samarinda dan akan melanjutkan perjalanan menuju kota Sangata. Pagi itu saya masih sempat ketemu dengan Om dan menyampaikan salam terimakasih. Bersama Bu Linda saya diajak mencari sarapan sebelum menuju terminal. Kami akan sarapan bubur. Rupanya di sana telah menunggu beberapa ibu. Katanya ini perpisahan maka mereka rela ngumpul pagi-pagi. Wuih, jadi terharu.
Menurut mereka bubur di sini enak, dan cocok untuk sarapan. Saya memilih bubur ayam, namun sembari menunggu saya dipesankan Bakpao isi daging. Wadooh, makan bakpao saja sudah kenyang masih harus makan bubur lagi. Namun, sebagai prinsip jangan mengecewakan tuan rumah, saya menikmati buburnya juga. Hanya saja saya tidak ambil banyak-banyak. Pertimbangan saya sederhana, nanti akan terguncang-guncang di bus maka saya usahakan agar perut tidak terlalu penuh. Diisi ¾ tangki saja, hehehehehe.
Seandainya ini bukan hari terakhir saya masih ingin nambah buburnya. Benar-benar enak dan mak nyus. Bubur-bubur yang pernah saya santap tidak selezat ini. Juga hidangan sampingannya, ayam goreng dan bakpaonya. Masih tersisa satu potong ayam di piring saya berikan ibunya Suha, karena saya lihat beliau masih ingin nambah hanya sungkan. Saya katakan dengan tambahan satu potong ayam tidak akan menambah gemuk. Namun saya tidak mengambil karena akan berada dalam perjalanan. Tidak baik kalau terlalu kenyang. Mereka memahami alasan saya.
Selesai makan kami masih ngobrol-ngobrol ringan. Saya pun masih emmberikan nasihat singkat kepada ibunya Suha, juga ungkapan terimakasih kepada beberapa ibu di sana. Terimakasih karena menerima saya, menitipkan anaknya untuk sekolah di tempat saya bekerja, dan atas persaudaraan yang begitu hangat. Lalu saya meluncur bersama ibu Linda sedangkan yang lain menuju rumahnya masing-masing.
Sebelum benar-benar berpisah mereka mengatakan bahwa saya pasti akan kembali. Menurut kepercayaan warga Samarinda, kalau saya sudah minum air sungai Mahakam, maka saya akan kembali lagi. Itu menyenangkan sekali, apalagi kalau kembali untuk makan-makan lagi. Semuanya tidak menajdi masalah. Samarinda sungguh memberikan kenangan kuliner yang luar biasa.
Pesan:
1. Bumbu utama setiap makanan adalah rasa lapar. Meski masakan itu sederhana jika disantap di kala lapar, akan terasa sangat dasyat. Sebaliknya seenak apapun makanan itu jika perut kita masih penuh tidak akan terasa keenakannya, dan hati kita tidak tergerak untuk menyantapnya.
2. Kalau kamu tidak memiliki banyak waktu jangan makan kepiting, karena kamu akan dipiting sungguh. Kepiting sungguh-sungguh gambaran kebahagiaan. Untuk mendapatkan rasanya yang luar biasa kita harus sabar, hati-hati dan telaten menyingkirkan cangkangnya. Kalau kita terburu-buru dan tidak telaten salah-salah tangan kita akan tertusuk atau japitnya akan mengenai diri kita. Demikianpun untuk mendapatkan kebahagiaan, kita mesti sabar dan telaten menghadapi berbagai rintangan dan kerasnya hidup, terkdang harus terjepit dan tertusuk duri hidup baru bisa merasakan indahnya kebahagiaan.
3. Berani berkata cukup adalah kunci setiap hidup. Terlalu kenyang itu tidak nikmat. Dalam segala hal, terlalu itu jelek. Maka yang sedang-sedang saja memang sungguh pas. Jangan terlalu lebar tertawa jika gembira dan jangan terlalu tersuruk kalau menangis sedih, yang biasa-biasa saja, karena semuanya akan mengalir dan datang bergantian. Nasihat yang lain, jangan terlalu kalau membenci seseorang, agar tidak terlalu malu jika harus mencintainya.
4. Berani berkata cukup juga akan memberi harapan. Harapan untuk kembali lagi dan menemui hal-hal yang menyenangkan kembali. Ketika masih ada banyak hal yang belum kita nikmati tetap bergembiralah, karena dengan itu kita masih punya harapan untuk datang lagi dan menikmatinya.
Talang 3-Malang, 10 Februari 2009, 12.24 wib.
Comments