HOME... : Rumah yang menyembuhkan
"Another summer day
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm
.....
Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home..."
...............
Rumah yang menarikku pulang... |
Ketika melihat barisan orang mengantri untuk mendapatkan bis, atau deretan orang bergegas menuju MTR, saya hanya memiliki satu kesimpulan: mereka bergegas untuk bisa segera pulang. Ada kerut-kerut penat di dahi mereka. Sorot mata mereka juga menunjukkan lelah akibat diperas kerja sepanjang hari.
Semuanya memiliki satu harapan, "PULANG" dan tiba di rumah untuk segera melepas penat dan lelah. rumah di mana tersaji cinta dan segala yang dibutuhkan untuk memulihkan tenaga yang hilang. Rumah dengan segala dayanya untuk mengembalikan gairah yang melemah. Rumah dengan segala dayanya untuk menjadi hidup kembali. Rumah. rumah macam apakah?
Turn from House into Home
Dalam bahasa Inggris dibedakan antara HOUSE dan HOME. Dan karena dibedakan, maka kita bisa memahami maknanya dengan sangat sederhana. House lebih kepada bangunan. Sedangkan Home merujuk kepada "sesuatu" yang tidak kelihatan. Merujuk kepada relasi dan kasih yang terjalin di dalam rumah itu. Maka ada ungkapan, uang yang banyak bisa membangun house, tetapi belum tentu bisa membangun home.
Membangun rumah yang sangat bagus dengan segala perabotan yang mewah belum menjamin akan tercipta sebuah "rumah" yang nyaman untuk ditinggali. Seperti sebuah kursi, dia bisa berlapis emas, bisa berkulitkan kulit domba yang halus, namun kalau tidak ada yang duduk di sana, dia bukanlah kursi. Sebuah rumah akan berubah menjadi "rumah", house menjadi home, kalau di sana ada cinta, ada pautan cinta dan semuanya terikat menjadi satu. Bukan lagi persoalan sofa yang empuk, bukan lagi soal makan malam romantis, bukan lagi soal televisi gede dengan suara yang menggelegar: tetapi soal ada cinta yang membuat saya harus pulang.
Ada banyak tawaran menggiurkan dari banyak teman. Ada tiket gratis untuk menikmati hiburan kelas atas. Ada jamuan makan dengan kualitas dunia. Tetapi saya memilih pulang. Karena di rumah ada orang-orang yang mencintaiku. Mereka menungguku dengan kasihnya yang tidak aku jumpai di tempat lain. Mereka mencintaiku bukan dengan makanan mewah, bukan dengan hiburan luar biasa, mereka mencintaiku dengan keberadaannya. Di sanalah aku menemukan "rumah", di sanalah house telah menjadi sebuah home.
Jangan gelisah hatimu
Selama hampir enam bulan tinggal di Hong Kong, kami belum menemukan rumah dalam arti house. Kami masih terus mencari. Terkadang ada kegelisahan. Terkadang kami juga diingatkan untuk sabar, karena yang terbaik akan datang pada saatnya. Bukankah Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya? Maka kami kembali menyandarkan harapan pada Tuhan.
Ternyata kami tidak sendiri dalam gelisah. Ada beberapa kawan yang juga memiliki kegelisahan yang kurang lebih sama. Kegelisahan ini sebenarnya mewakili sebuah masa, sebuah komunitas. Terutama kegelisahan umat jemaat perdana. Kegelisahan ini dimunculkan pada diri kawan-kawan kami yang adalah para murid Yesus sendiri. Padahal kawan-kawan kami itu, karena mereka murid, senantiasa dekat dengan Yesus yang berkata, "Janganlah gelisah hatimu..." (Yoh 14:1). Tetapi mereka tetap gelisah. Kegelisahan yang bersumber dari pemahaman yang kurang. Dari kedekatan yang kurang. Dari keacuhan dan keengganan untuk melihat lebih dekat dan lengkap.
Adalah Thomas yang pertama-tama mengungkapkan kegelisahannya. Ketika Yesus berkata "Aku pergi..." Thomas bingung. Maka dengan polos dia bertanya, 'Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi: jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?"(Yoh 14:5) Kemudian Yesus menjawab dengan sederhana, "Akulah jalan, kebenaran dan hidup."(Yoh 14:6)
Kegelisahan kedua diungkapkan oleh Filipus saat Yesus berbicara mengenai Bapa. "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." (Yoh 14:8) Sembari mengelus dada, Yesus menjawab Filipus dengan sabar. "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu..." (Yoh 14:9). Kebersamaan sekian lama ternyata belum memberikan pemahaman dan kemampuan untuk melihat apa yang "tidak terlihat". Dan Tadeus, pada akhirnya mengungkapkan kegalauan hatinya. "Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami dan bukan kepada dunia?"
Jalan kebenaran yang hidup
Akulah jalan kebenaran dan hidup. Jalan kemana? Kebenaran tentang apa? Hidup yang bagaimana? Mungkin kita bertanya mengenai hal ini. Sejatinya semuanya berkaitan dengan "RUMAH". Rumah BAPA.
Tujuan seluruh perjalanan adalah pulang ke rumah Bapa. Bagaimana bisa ke sana dan tidak tersesat? Yesuslah jalannya. Jalan di sini memiliki dua arti. Pertama, berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Yesus. Kedua, berjalan bersama Yesus. Tanpa jalan ini kita pasti akan tersesat. Tanpa jalan kita tidak bisa ke mana-mana.
Kebenaran memungkinkan kita bisa memilih. Tanpanya kita hanya menemui sesuatu yang salah. Sedangkan tanpa kehidupan maka hanya tersisa kematian. Artinya apa? Yesus akan membawa kita kepada tujuan yang benar yaitu rumah Bapa. Dan di sana kita menikmati kehidupan, bukan kematian.
Namun di sini tersisa dua pertanyaan. Pertama, apakah kita memang menginginkan berkumpul di Rumah Bapa? Kedua, apakah kita mau berjalan di jalan yang sudah diteladankan oleh Yesus dan berjalan bersama Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini terwujud dalam hidup kita.
Rumah yang menyembuhkan
Pada awal catatan ini saya mengungkapan keinginan penyanyi untuk segera pulang ke rumah. Meskipun ada banyak tawaran untuk pergi berlibur, namun dia memilih untuk pulang. "Aku hanya ingin pulang..." Karena di rumah ada cinta yang menunggu. Rumah adalah tempat memulihkan kembali jiwa yang lelah. Tetapi sayang, tidak semua rumah adalah rumah yang menyembuhkan.
Ada banyak orang enggan pulang ke rumah, karena rumah adalah sumber masalah. Rumah hanya menimbulkan kegerahan. Semua hal yang membuat susah ada di rumah. Pasangan hanya senantiasa memberi masalah. Saat suami pulang kerja dengan jiwa yang lelah, di rumah istri menyambut dengan wajah yang kurang cerah. Tentu ada banyak sebabnya, tetapi yang pasti itu bukanlah awal yang baik.
Atau cerita yang lain. Yang satu bekerja sekuat tenaga, yang lain menghamburkan. Yang satu berusaha membangun, yang satu terus-terusan menghancurkan. Belum lagi hadirnya pihak-pihak lain yang memperkeruh keadaan. Maka pulang ke rumah bukanlah tujuan, tetapi keterpaksaan karena memang harus pulang. Maka tidak bisa dihindarkan ketika jiwa mulai mencari kesegaran di tempat lain, mulai menjalin komunikasi dengan jiwa-jiwa lain.
Atau hal yang lebih parah adalah, rumah menjadi asal muasal luka. Seluruh luka saya dapatkan di rumah. Sebagai anak, rumah adalah tempat di mana saya mendapat luka dari orangtua dan saudara-saudara. Rumah menjadi tempat saya mendapat luka dari pasangan saya. Dan seterusnya. Singkatnya, rumah menjadi rumah yang melukai, bukan yang menyembuhkan.
Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan fungsi rumah yang seperti seharusnya. Rumah yang menyembuhkan. Menyembuhkan luka-luka yang pernah kita peroleh, entah dari dalam rumah itu sendiri atau dari tempat lain. Inilah yang saya dapatkan.
Pertama, janganlah gelisah. Tetaplah pulang ke rumah, karena kalau tidak pernah pulang maka luka itu tidak akan pernah terselesaikan. Pulang, harus menjadi pilihan pertama. Pulang untuk melihat kembali luka-luka yang ada.
Kedua, mulai menganalisa luka. Melihat luka lebih dekat. Istilahnya mendekap luka dan melihatnya lebih dalam untuk menemukan sumber luka. Jika sumber luka sudah diketahui maka akan lebih mudah menemukan obatnya.
Ketiga adalah membubuhkan obat pada luka yang ada. Bentuk obatnya tentu tergantung jenis luka. Bisa obat bebat, bisa obat cari, bisa obat cair dan minum atau bisa berupa salap dan kapsul. Semuanya tergantung
Keempat adalah pemulihan kembali. Ini berkaitan dengan pemulihan trauma-trauma. Karena biasanya luka itu selalu membekaskan trauma. Di sinilah pemulihan dibutuhkan.
Apakah artinya ini semua?
Pulang ke rumah adalah kembali ke sumber masalah. Sumber luka. Melihatnya lebih detail, lebih jelas. Juga kalau luka itu sudah lama terkubur masa, lama terlupakan dan dianggap sudah tidak ada. Dia masih ada, masih di sana.
Seperti seorang dokter yang bertanya kepada pasiennya, maka jiwa bertanya kepada diri sendiri untuk mengetahui luka itu lebih jelas. Mengetahui simptom yang ada, gejalanya, dan bagaimana mulainya. Itu tentu penting untuk menentukan proses pengobatannya.
Proses melihat kembali itu biasanya menyakitkan. Maka, terkadang rasa sakit itu terasa kembali. Kita tidak tahan dan ingin menjerit. Air mata tak ayal akan kembali mengalir. Maka biarkan mengalir. Kalau misalnya ingin melakukan aktivitas fisik, pastikan smeuanya aman. Misalnya memukul benda yang lunak. Jangan memukul tembok, tetapi bantal saja. Karena bahaya kalau nanti melukai badan sendiri. Maka sebelum memulai, siapkan barang-barang yang lunak daripada yang keras.
Langkah berikutnya adalah pemulihan. Ini tahap terakhir setelah menganalisa dan mengungkapkan. Tahap pemulihan ini adalah tahap rekonsiliasi dan hidup baru. Tahap rekonsiliasi berarti saling memaafkan. Memaafkan peristiwa yang membekaskan luka, dan memulihkannya. Memaafkan peristiwanya dan pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya.
Jangan lupa mengandalkan Tuhan. Proses rekonsiliasi ini adalah yang paling berat, padahal ini sangat penting. Maka jangan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi andalkanlah Tuhan. Bersama Tuhan melakukan rekonsiliasi. Doa dan pengampunan sangatlah penting. mendoakan peristiwa yang melukai, mendoakan pribadi yang melukai. Karena di sana akan lahir pemulihan yang sejati. Tanpa itu semuanya akan tetap sama.
Maka, rumah di mana ada pemulihan hanyalah Rumah Bapa. Maka janganlah gelisah hatimu. Jadikan rumahmu menjadi rumah Bapa, rumah di mana Bapa bersemayam. Maka kembalilah, kembalilah pulang. Dan mulailah menyembuhkan lukamu.
Sebagai penutup saya ingin mengutip satu bait puisi dari Madah Rohani.
Kembalilah, merpatiku,
rusa yang terluka
telah tampak di perbukitan,
disejukkan oleh hembusan lembut terbangmu.
(Yohanes Salib, Madah Rohani bait 13)
Hong Kong, 18 Mei 2014
Ternyata kami tidak sendiri dalam gelisah. Ada beberapa kawan yang juga memiliki kegelisahan yang kurang lebih sama. Kegelisahan ini sebenarnya mewakili sebuah masa, sebuah komunitas. Terutama kegelisahan umat jemaat perdana. Kegelisahan ini dimunculkan pada diri kawan-kawan kami yang adalah para murid Yesus sendiri. Padahal kawan-kawan kami itu, karena mereka murid, senantiasa dekat dengan Yesus yang berkata, "Janganlah gelisah hatimu..." (Yoh 14:1). Tetapi mereka tetap gelisah. Kegelisahan yang bersumber dari pemahaman yang kurang. Dari kedekatan yang kurang. Dari keacuhan dan keengganan untuk melihat lebih dekat dan lengkap.
Adalah Thomas yang pertama-tama mengungkapkan kegelisahannya. Ketika Yesus berkata "Aku pergi..." Thomas bingung. Maka dengan polos dia bertanya, 'Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi: jadi bagaimana kami tahu jalan ke situ?"(Yoh 14:5) Kemudian Yesus menjawab dengan sederhana, "Akulah jalan, kebenaran dan hidup."(Yoh 14:6)
Kegelisahan kedua diungkapkan oleh Filipus saat Yesus berbicara mengenai Bapa. "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." (Yoh 14:8) Sembari mengelus dada, Yesus menjawab Filipus dengan sabar. "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu..." (Yoh 14:9). Kebersamaan sekian lama ternyata belum memberikan pemahaman dan kemampuan untuk melihat apa yang "tidak terlihat". Dan Tadeus, pada akhirnya mengungkapkan kegalauan hatinya. "Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami dan bukan kepada dunia?"
Jalan kebenaran yang hidup
Akulah jalan kebenaran dan hidup. Jalan kemana? Kebenaran tentang apa? Hidup yang bagaimana? Mungkin kita bertanya mengenai hal ini. Sejatinya semuanya berkaitan dengan "RUMAH". Rumah BAPA.
Tujuan seluruh perjalanan adalah pulang ke rumah Bapa. Bagaimana bisa ke sana dan tidak tersesat? Yesuslah jalannya. Jalan di sini memiliki dua arti. Pertama, berjalan di jalan yang sudah ditunjukkan oleh Yesus. Kedua, berjalan bersama Yesus. Tanpa jalan ini kita pasti akan tersesat. Tanpa jalan kita tidak bisa ke mana-mana.
Kebenaran memungkinkan kita bisa memilih. Tanpanya kita hanya menemui sesuatu yang salah. Sedangkan tanpa kehidupan maka hanya tersisa kematian. Artinya apa? Yesus akan membawa kita kepada tujuan yang benar yaitu rumah Bapa. Dan di sana kita menikmati kehidupan, bukan kematian.
Namun di sini tersisa dua pertanyaan. Pertama, apakah kita memang menginginkan berkumpul di Rumah Bapa? Kedua, apakah kita mau berjalan di jalan yang sudah diteladankan oleh Yesus dan berjalan bersama Yesus? Jawaban atas pertanyaan ini terwujud dalam hidup kita.
Rumah yang menyembuhkan
Pada awal catatan ini saya mengungkapan keinginan penyanyi untuk segera pulang ke rumah. Meskipun ada banyak tawaran untuk pergi berlibur, namun dia memilih untuk pulang. "Aku hanya ingin pulang..." Karena di rumah ada cinta yang menunggu. Rumah adalah tempat memulihkan kembali jiwa yang lelah. Tetapi sayang, tidak semua rumah adalah rumah yang menyembuhkan.
Ada banyak orang enggan pulang ke rumah, karena rumah adalah sumber masalah. Rumah hanya menimbulkan kegerahan. Semua hal yang membuat susah ada di rumah. Pasangan hanya senantiasa memberi masalah. Saat suami pulang kerja dengan jiwa yang lelah, di rumah istri menyambut dengan wajah yang kurang cerah. Tentu ada banyak sebabnya, tetapi yang pasti itu bukanlah awal yang baik.
Atau cerita yang lain. Yang satu bekerja sekuat tenaga, yang lain menghamburkan. Yang satu berusaha membangun, yang satu terus-terusan menghancurkan. Belum lagi hadirnya pihak-pihak lain yang memperkeruh keadaan. Maka pulang ke rumah bukanlah tujuan, tetapi keterpaksaan karena memang harus pulang. Maka tidak bisa dihindarkan ketika jiwa mulai mencari kesegaran di tempat lain, mulai menjalin komunikasi dengan jiwa-jiwa lain.
Atau hal yang lebih parah adalah, rumah menjadi asal muasal luka. Seluruh luka saya dapatkan di rumah. Sebagai anak, rumah adalah tempat di mana saya mendapat luka dari orangtua dan saudara-saudara. Rumah menjadi tempat saya mendapat luka dari pasangan saya. Dan seterusnya. Singkatnya, rumah menjadi rumah yang melukai, bukan yang menyembuhkan.
Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan fungsi rumah yang seperti seharusnya. Rumah yang menyembuhkan. Menyembuhkan luka-luka yang pernah kita peroleh, entah dari dalam rumah itu sendiri atau dari tempat lain. Inilah yang saya dapatkan.
Pertama, janganlah gelisah. Tetaplah pulang ke rumah, karena kalau tidak pernah pulang maka luka itu tidak akan pernah terselesaikan. Pulang, harus menjadi pilihan pertama. Pulang untuk melihat kembali luka-luka yang ada.
Kedua, mulai menganalisa luka. Melihat luka lebih dekat. Istilahnya mendekap luka dan melihatnya lebih dalam untuk menemukan sumber luka. Jika sumber luka sudah diketahui maka akan lebih mudah menemukan obatnya.
Ketiga adalah membubuhkan obat pada luka yang ada. Bentuk obatnya tentu tergantung jenis luka. Bisa obat bebat, bisa obat cari, bisa obat cair dan minum atau bisa berupa salap dan kapsul. Semuanya tergantung
Keempat adalah pemulihan kembali. Ini berkaitan dengan pemulihan trauma-trauma. Karena biasanya luka itu selalu membekaskan trauma. Di sinilah pemulihan dibutuhkan.
Apakah artinya ini semua?
Pulang ke rumah adalah kembali ke sumber masalah. Sumber luka. Melihatnya lebih detail, lebih jelas. Juga kalau luka itu sudah lama terkubur masa, lama terlupakan dan dianggap sudah tidak ada. Dia masih ada, masih di sana.
Seperti seorang dokter yang bertanya kepada pasiennya, maka jiwa bertanya kepada diri sendiri untuk mengetahui luka itu lebih jelas. Mengetahui simptom yang ada, gejalanya, dan bagaimana mulainya. Itu tentu penting untuk menentukan proses pengobatannya.
Proses melihat kembali itu biasanya menyakitkan. Maka, terkadang rasa sakit itu terasa kembali. Kita tidak tahan dan ingin menjerit. Air mata tak ayal akan kembali mengalir. Maka biarkan mengalir. Kalau misalnya ingin melakukan aktivitas fisik, pastikan smeuanya aman. Misalnya memukul benda yang lunak. Jangan memukul tembok, tetapi bantal saja. Karena bahaya kalau nanti melukai badan sendiri. Maka sebelum memulai, siapkan barang-barang yang lunak daripada yang keras.
Langkah berikutnya adalah pemulihan. Ini tahap terakhir setelah menganalisa dan mengungkapkan. Tahap pemulihan ini adalah tahap rekonsiliasi dan hidup baru. Tahap rekonsiliasi berarti saling memaafkan. Memaafkan peristiwa yang membekaskan luka, dan memulihkannya. Memaafkan peristiwanya dan pribadi-pribadi yang terlibat di dalamnya.
Jangan lupa mengandalkan Tuhan. Proses rekonsiliasi ini adalah yang paling berat, padahal ini sangat penting. Maka jangan mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi andalkanlah Tuhan. Bersama Tuhan melakukan rekonsiliasi. Doa dan pengampunan sangatlah penting. mendoakan peristiwa yang melukai, mendoakan pribadi yang melukai. Karena di sana akan lahir pemulihan yang sejati. Tanpa itu semuanya akan tetap sama.
Maka, rumah di mana ada pemulihan hanyalah Rumah Bapa. Maka janganlah gelisah hatimu. Jadikan rumahmu menjadi rumah Bapa, rumah di mana Bapa bersemayam. Maka kembalilah, kembalilah pulang. Dan mulailah menyembuhkan lukamu.
Sebagai penutup saya ingin mengutip satu bait puisi dari Madah Rohani.
Kembalilah, merpatiku,
rusa yang terluka
telah tampak di perbukitan,
disejukkan oleh hembusan lembut terbangmu.
(Yohanes Salib, Madah Rohani bait 13)
Hong Kong, 18 Mei 2014
Comments