Yang terluka...
Beberapa tahun yang lalu, mungkin tahun 2011, saya lupa persisnya, untuk pertama kali saya menyadari bahwa luka itu bisa menyembuhkan mereka yang terluka. Kesadaran itu didukung oleh ingatan akan sebuah judul buku, "Yang terluka, yang menyembuhkan". Kalau tidak salah, buku itu ditulis oleh Henri JM Nouwen. Saya hanya ingat judulnya, dan tidak tahu isinya.
Kesadaran itu mengajak saya berefleksi. Kisah yang saya refleksikan adalah "Maria mengunjungi Elisabeth." Saya tidak tahu mengapa, tetapi kesadaran saya langsung dibawa kepada ungkapan, yang terluka, yang menyembuhkan. Pertemuan dua orang terluka adalah pertemuan yang menyembuhkan. Tentu, kalau pertemuan itu disemangati oleh kehendak untuk sembuh.
Yang terluka
Maria dan Elisabeth adalah gambaran dua orang terluka. Di mana letak lukanya? Mari kita lihat satu persatu.
Maria baru saja mendapat kabar bahwa ia akan mengandung. Kabar ini kita sebut kabar gembira, tetapi menajdi sebuah kabar bencana bagi Maria. Apa jadinya kalau dia mengandung tanpa suami? Apa yang akan dia hadapi? Kematian! Bukan sekadar kematian biasa, tetapi sebuah hukuman rajam, dilempari batu sampai mati karena dianggap telah berbuat dosa.
Maria tidak bisa menjelaskan kepada orang lain asal muasalnya bagaimana dia mengandung. Orang akan mengira bahwa dia mengandung dari hasil berhubungan dengan seorang lelaki. Orang akan mengira bahwa Yusuflah ayah dari janin yang ada di rahimnya. Tetapi, kalau Yusuf tidak mau menerima, kalau Yusuf menceraikan Maria karena sudah mendapati dia mengandung, apakah yang akan terjadi? Sebuah hukum rajam! Kenyataan ini menyakitkan. Ini sebuah luka.
Elisabeth juga menyimpan luka yang sangat lama. Dia sudah berusia lanjut. Selama hidup dia membawa luka dengan menyandang gelar, "perempuan mandul". Tidak ada perempuan yang mau membawa gelar ini. Bahkan disebut perawan tua saja tidak mau, apalagi menyandang sebutan perempaun mandul. Sebuah gelar yang menyakitkan. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kenyataannya dia tidak bisa memberi keturunan pada suaminya. Meskipun mungkin yang kurang subur adalah suaminya. Kecuali ada bukti bahwa suaminya sukses dengan perempaun lain. tetapi kesampingkan harapan itu. Kenyataan yang ada adalah, Elisabeth tidak bisa memberi keturunan.
Pada akhirnya Elisabeth mampu menerima kenyataan itu. Dia bisa menerima kenyataan bahwa dirinya tidak bisa memberi keturunan pada Zakaria. Dan dia akan pasrah meninggal sebagai ibu yang tidak berketurunan.
Maka dia menjalani masa tuanya dengan tenang.
Tetapi tidak. tenang yang dia harapkan sontak menjadi kenyataan yang menakutkan. Dia yang kini sudah tua tiba-tiba hamil. Ada rasa senang bahwa dia hamil, tetapi terlambat. Mengapa baru pada masa tua. Ini sebuah kenyataan yang memalukan. Mungkin lebih memalukan daripada kenyataan tidak bisa hamil.
Dia tidak berani membayangkan para tetangga akan berbisik-bisik, "Elisabeth sudah nenek-nenek tetapi hamil." Atau mungkin ada orang yang tidak tahu latar belakangnya akan berkomentar, "ini sudah nenek-nenek masih hamil, kok tidak tahu malu." Atau bisik-bisik yang lain. Ini sungguh menjadi sebuah luka yang harus ditanggung.
Yang menyembuhkan...
Maria yang terluka diberitahu bahwa saudaranya yang sudah berusia lanjut itu kini sedang dalam bulan yang keenam. Kabar baik sekaligus kabar buruk. Maria mengerti rasa itu. Dia sendiri merasakan, bagaimana menerima kenyataan yang seharusnya menggembiraan tetapi tidak bsia diungkapkan begitu saja. Ada kepedihan di balik kegembiraan. Maka Maria segera bergegas mengunjungi Elisabeth.
Maria segera memberi salam dan salam itu bersambut kegembiraan.
"Begitu salammu sampai ke telingaku, bayi yang ada di rahimku melonjak kegembiraan."
Kegembiraan itu nyata, dan dirasakan oleh bayi yang ada di dalam rahim. Kepedihan itu segera sirna, karena ada kekuatan yang mengangkatnya. Maria yang terluka mengunjungi Elisabeth yang terluka. Pertemuan itu menyembuhkan karena didasari oleh cinta. Pertamuan yang didasari oleh kehendak untuk menjalankan kehendak Tuhan. "Aku ini hamba Tuhan." Demikian kata Maria.
Kekuatan penyembuhan itu datang dari kehendak untuk memberi. Memberi apa yang diterima dari Tuhan. Maria membagi apa yang dia alami sebagai anugerah dari Tuhan. Maria sudah lebih dahulu memahami dan bisa menerima rencana Tuhan, itu yang dia bagikan.
Beata Teresa Calcuta mengatakan, "Maria dalam misteri kabar suka-cita dan kunjungannya kepada Elisabet menjadi sebuah model untuk kita teladani dalam hidup. Sebab dia menerima Yesus di dalam hidupnya dan kemudian dia pergi mengunjungi elisabeth. Dia memberikan apa yang dia terima sendiri dari Allah. Kamu harus seperti dia, membagikan apa yang kita terima dalam doa."
Ternyata tidak semua pertemuan dua orang terluka mampu menghasilkans ebuah kesembuhan. Ada pertemuan dua orang terluka yang hasilnya adalah luka yang makin parah. Mengapa bisa demikian? Karena mereka tidak berminat menyembuhkan leuka mereka. Mereka lebih suka memiliki luka itu. Berikut ini sebuah percakapan imajinatif antara dua orang terluka.
Mawar : Mel, aku mau curhat..
Melati : Curhat apa Maw..
Mawar : Suamiku itu, dia menyakitiku..
Melati : Menyakiti kenapa?
Mawar : Iya, dia main gila
Melati : Memang lelaki itu seperti itu. suamiku juga, memang lelaki itu di mana-mana sama.
Mawar : Apa suamimu juga begitu?
Melati : Iya, dia juga main gila. Sebel!
Mawar : Iya ya, ternyata lelaki itu di mana-mana sama. Nyebelin, tukang main gila.
Melati : Sebaiknya kita balas saja. Kita juga main gila.
Mawar : Iya ya, emangnya hanya lelaki yang bisa main gila.
....
silahkan diteruskan sendiri.
Saya hanya memberi contoh bahwa pertemuan dua orang yang terluka ini tidak membawa kesembuhan. Mereka bisa memahami satu sama lain, tetapi itu tidak cukup. Harus ada niat untuk sembuh. Mari kita simak percakapan imajiner yang lain.
Chrisentia : Tel, ada waktu nggak...
Cristella : Ada apa Sen? Ada kok, banyak nih.
Chrisentia : aku mau curhat mengenai masalah keluargaku, bisa khan?
Christella : Aduh, sebuah kehormatan kalau aku diberi keprcayaan untuk mendengarkan.
Chrisentia : Iya, aku lihat kalian itu pasangan yang serasi, jadi aku ingin berbagi masalah, siapa tahu bisa menjadi seperti kalian.
Christella : Aduhhh.... kami ini juga jatuh bangun lho... mana ada sih yang sempurna.
Chrisentia : Begini Tel, menegnai suamiku. Aku sulit sekali memahami sikapnya, apa kamu pernah dengar gossip tentang dia di luar sana.
Christella : Ga pernah tuh Sen. Gossip apa ya? sikap yang bagaimana yang sulit kamu mengerti?
.....
Maaf percakapan mereka saya potong dulu, karena panjang. Tetapi pada bagian akhir saja saya bagikan.
Christella : Sen, thanks ya sudah berbagi. tetap kuat dan jangan pernah meninggalkan Tuhan. Dia sungguh menjadi tiang dalam keluarga kita. Lebih dari yang lain. Dan jangan pernah mengurangi rasa cintamu kepada suamimu.
Chrisentia : Aku yang berterimakasih Tel. Aku sungguh lega bisa membagikan ini. Rasanya aku sangat dikuatkan. ternyata aku tidak sendiri. Ada orang lain yang juga mengalami hal serupa. Jangan lupa untuk mendoakan aku ya Tel. Thanks.
....
Pertemuan yang kedua ini adalah pertemuan yang menyembuhkan, karena memang keduanya memiliki kehendak untuk sembuh. Pengalaman luka memberi daya untuk membantu sesama yang terluka, bukan sebagai alasan untuk membalas luka. Membalas luka dengan luka hanya membuat luka makin parah, bukan menyembuhkan.
Bagaimana dengan kita? Apakah perjumpaan-perjumpaan kita membawa kesembuhan atau manambah luka? Terkadang mungkin, karena kekurangtahuan, perjumpaan itu membawa luka. Tetapi puji Tuhan, syukur kepda Allah, kalau perjumpaan kita juga membawa kesembuhan. Jika niat batin kita adalah menyembuhkan niscaya kesembuhan yang akan dihasilkan. Kalau niat kita memang memelihara luka, maka luka yang makin parah yang akan kita dapatkan.
Bagaimana menyembuhkan luka?
Tentu dipertanyakan, bagaimana menyembuhkan luka itu? bagaimana sebuah perjumpaan yang mampu memberi kesembuhan?
pertama, kita sadar dengan keadaan kita. sadar dengan 'luka' yang kita bawa.
kedua, memiliki kesadaran untuk sembuh. memiliki kesadaran untuk menjadi lebih baik.
ketiga, mengupayaan kesembuhan. orang yang sakit pusing, kesleo, atau sejenisnya, harus diberi obat atau cara penyembuhkan yang lain, bukan sekadar dilupakan. Melupakan tidaklah menyembuhkan.
keempat, mau berubah, mengubah pola hidup menjadi hidup yang lebih sehat.
langkah-langkah ini sepertinya abstrak, dan susah dipahami. Ada baiknya kita lakukan dengan perlahan-lahan.
pertama : Sadar dengan keadaan kita.
Mengenal diri adalah langkah awal untuk sembuh, untuk menjadi lebih baik. Kalau kita merasa badan kita tidak nyaman dan mengganggu biasanya kita ke dokter. Dokter akan bertanya, apa yang dirasakan, apa yang dialami, di mana yang sakit, seperti apa sakitnya, dst. Itu adalah proses awal untuk mengenali dan menemukan sumber utama sakitnya.
hal yang sama juga terjadi dalam proses penyembuhkan luka-luka batin. Di mana lukanya, mengapa terjadi luka, siapa yang melukai, kapan dilukai, seperti apa bentuk melukainya, dll.
kedua : kesadaran untuk menajdi lebih baik, untuk sembuh.
banyak orang memiliki kesadaran siapa dirinya. mungkin kita sering mendnegar ungkapan seperti ini, "Aku ini ya begini ini, kalau kamu mau menerima aku, ya terimalah aku yang seperti ini."
pertanyaannya adalah, aku yang seperti ini itu seperti apa? Kalau kita tahu bahwa aku yang seperti ini adalah aku yang sakit, aku yang terluka, aku yang pemarah, aku yang pelupa, aku yang malas, aku yang gampang tersinggung, terus apakah aku mau terus seperti itu?
Kalau aku sadar diriku gampang marah, aku akan mencari tahu penyebabnya dan berusaha untuk menjadi lebih baik, untuk menjadi lebih sabar.
ketiga : Mengupayakan kesembuhan
Kesembuhan itu bisa kita upayakan sendiri, bisa minta bantuan orang lain. Kalau kita pusing, kita bisa membeli obat di toko obat, atau pergi ke dokter. Kalau kita sadar sakitnya biasa saja, kita bisa membeli obat yang biasa. tetapi kalau sakitnya parah, kita membutuhkan dokter untuk membantu proses penyembuhan. Meski demikian tetap dibutuhkan kerjasama. Kalau kita tidak mau minum obat yang diberikan, kita tetap akan sakit. Kalau kita tidak mau mendnegarkan nasehat, ya kita akan tetap terluka.
keempat : memulai hidup baru yang lebih sehat
jika lingkungan kita yang lama telah membuat kita memiliki kesehatan yang buruk, maka mulailah dengan pola hidup yang lebih sehat. Lingkungan yang bersih menghindarkan diri dari serangan kuman. Lingkungan yang baik menghindarkan diri dari pengaruh yang buruk. Makanan yang sehat menjaga badan tetap kuat. Makanan rohani yang sehat menjaga jiwa tetap terawat.
Jika mengeluh hanya memperburuk ekadaan, maka bersyukurlah. Bersyukur selalu lebaih baik daripada mengeluh. Keluhan tidak mengubah keadaan. bersyukur akan menambah kekuatan dan semangat.
Mari memulai hidup sehat, jiwa dan raga. Mari membagikan semangat kesembuhan, bukan menambah luka.
Hong Kong, 31 Mei 2014
Comments