You are nothing
Hari ini, kurang lebih, tiga tahun yang lalu. Hari itu Sabtu pertama di bulan September di tahun 2012. Saya bersama umat merayakan Perayaan Ekaristi mengucap syukur. Saya biasa mengundang umat untuk ikut bersama saya mengucap syukur atas karunia Tuhan. Setelah itu makan bersama. Hari itu, dalam Ekaristi saya menangis. Saya bersyukur bahwa saya bisa menyelesaikan Ekaristi.
Mengapa saya menangis? Ini yang lebih penting. Saya menangis karena bacaan dalam Ekaristi hari itu. Bacaan pertama dari surat pertama Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus. Di sana Rasul Paulus mengingatkan umat yang dilayaninya. baiklah saya kutipkan nasihat Paulus tersebut.
"Menurut ukuran manusia tidak banyak di antara kalian yang bijak, tidak banyak yang berpengaruh, tidak banyak yang terpandang. Namun apa yang bodoh di mata dunia dipilih oleh Allah, untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah, untuk memalukan yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan hina bagi dunia, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah. Tetapi Allah telah membuat kalian berada dalam Kristus Yesus, dan oleh Dia Kristus telah menjadi hikmat bagi kita."
Secara sederhana Paulus mengingatkan umatnya, mengingatkan saya, bahwa saya ini bukan siapa-siapa, bahwa saya ini tidak memiliki apa-apa, bahwa saya ini tidak berarti, dan seterusnya. Bahwa kemudian saya seolah memiliki hikmat, bahwa saya seolah bisa apa-apa, dll; hanyalah anugerah Allah yang diberikan secara cuma-cuma.
Hal itu ditegaskan lagi oleh Yesus dalam kisah mengenai pengusaha yang bepergian. Dia memberi karyawannya bekal. Ada yang diberi 5, ada yang diberi 2 ada yang diberi 1. Setelah kembali, pengusaha tadi memanggil anak buahnya yang dulu diberi bekal. Yang pertama dan kedua mampu menggandakannya. Sedangkan yang ketiga tidak mengembangkan bekal itu. Tuan tadi marah besar kepada pihak ketiga karena sudah diberi cuma-cuma tetapi tidak mau mengembangkan.
Hal ini, bukan sekadar mengharukan bahwa segala apa yang kita miliki adalah pemberian Tuhan, tetapi pemberian itu harus dikembangkan. Tuhan memberi seturut kemampuan saya. Kalau saya mampu menerima anugerah 5 tingkat saya akan diberi 5 tingkat. Kalau saya mampu mengembangn dua tingkat saya akan diberi dua tingkat. Kalau saya diberi satu tingkat saya hanya akan diberi satu. Yang terpenting adalah saya bertanggungjawab dan mau mengembangkan. Itulah yang membuat saya menangis.
Saya menangis karena Allah begitu baik. Allah begitu baik, karena sudah memberi banyak hal kepada saya, tetapi saya tidak sungguh-sungguh mengembangkannya. Namun Allah tidak murka kepada saya, Allah masih memberi kesempatan. Allah terus memberi kesempatan meskipun saya kerap jatuh bangun mengembangkan anugerah Tuhan itu. Inilah yang membuat saya menangis. Menangis karena kebaikan Allah yang begitu besar.
Sahabat, hari ini seluruh kenangan itu datang kembali. Tadi pagi, dalam permenungan dan dalam Ekaristi saya dibawa, bukan hanya kepada kenangan tiga tahun lalu, tetapi kepada seluruh hidup saya. Kenangan itu sungguh mengharukan. Bedanya, hari ini saya tidak menangis. Meskipun ekaristi hanya berdua, saya sungguh dibawa kepada kehangatan kasih Allah, kebaikan Allah. Saya masih bukan siapa-siapa, tetapi karena Allahlah saya memiliki sesuatu.
Hong Kong, 30 Agustus 2014
Comments