LIANA
Agustus 2001, aku pertama kenal dengan Liana. Siswi SMP di daerah Tanggul Jember. Anaknya kecil, penampilannya sederhana. Dia tinggal di asrama susteran dan rajin menjadi misdinar. Dari Romo Girin aku ketahui bahwa ia baru saja menajdi katolik.
Rumahnya sendiri di daerah Balung Jember. Sebelah selatan kota Jember, dekat dengan Ambulu dan dekat dengan Pantai Watu Ulo Jember. Dan kemudian aku ketahui bahwa sesungguhnya rumahnya di Malang. Karena kehancuran rumahtangga orangtuanya yang membuat ia terdampat di pesisir selatan Jember. Rasanya tidak perlu diceritakan di sini bagaimana keluarga itu pecah. Yang jelas, ia ikut ibunya, sedangkan kakak-kakaknya ikut ayahnya dan tetap tinggal di rumahnya di Malang.
Singkat cerita aku semakin mengenalnya. Dari pengenalan itu muncul rasa haru, kasihan, simpati dan empati. Dia sekolah SMP karena bantuan sosial di paroki. Termasuk untuk biaya asrama. Setiap bulan, kalau ia boleh pulang ke rumah, selalu diantar oleh sopir paroki. Anaknya cerdas dan karakternya baik. Sayang bahwa sejak kecil ia terus didera kesulitan.
Aku bertemu dengannya ketika ia duduk di bangku SMP kelas 3. Aku menawarkan bantuan seandainya ia mau melanjutkan sekolah di Malang. Aku mencoba mengkontak beberapa kenalan, termasuk kemungkinan untuk menempatkannya di asrama. Akhirnya ia menyetujui dan ia pun pindah ke Malang.
Pindah ke Malang dan tinggal di asrama bukanlah hal yang mudah. Rasa kurang percaya diri begitu besar, dimarahi Sr. Meryam, tidak dipercaya, adalah bagian awal dari kisah barunya di kota Malang, tempat kelahirannya sekaligus pemantik luka batin yang amat dalam. Aku menjadi walinya tatkala mendaftar sekolah di SMA Santa Maria. Sebisa mungkin aku membantu, mendampingi dll. Namun aku mencoba menyerahkan semuanya kepada Sr. Hendrika selaku ibu asrama.
Tiga tahun ia lalui dengan baik. Prestasinya juga bagus. Kemudian ia melanjutkan studi di Unika Widya Karya. Karena kesibukan dan perkembangan waktu, aku jarang kontak dengannya. Kalau aku ke asrama putrid, aku sempatkan bertemu. Tapi itu sangat jarang.
Hingga kemarin ia mengirim SMS, “Romo, hari Sabtu aku diwisuda”.
Hah, cepat sekali. Bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana kesulitan yang ia hadapi. Aku masih selalu membayangkan Liana sebagai remaja yang tegar meski ditempa banyak derita. Sekarang ia bukan saja sudah mahasiswa, tetapi sudah menjadi seorang sarjana.
Aku member waktu khusus untuk menghadiri wisudanya. Aku tahankan diri untuk tidak menangis. Gadis kecil itu, yang menanggung banyak derita, berjalan anggun dalam balutan kebaya dan busana toga. Badannya tetap kecil tapi sesungguhnya ia sudah dewasa. Ia berjalan untuk mendapatkan kehormatannya, tanpa didampingi orangtuanya.
Liana, Tuhan kiranya memberkatimu. Membimbing jalanmu. Langkahmu masih panjang, kiranya bekal yang perlu untuk perjalananmu sudah cukup. Aku, kakak dan oranghtuamu, selalu mendoakanmu.
Rumahnya sendiri di daerah Balung Jember. Sebelah selatan kota Jember, dekat dengan Ambulu dan dekat dengan Pantai Watu Ulo Jember. Dan kemudian aku ketahui bahwa sesungguhnya rumahnya di Malang. Karena kehancuran rumahtangga orangtuanya yang membuat ia terdampat di pesisir selatan Jember. Rasanya tidak perlu diceritakan di sini bagaimana keluarga itu pecah. Yang jelas, ia ikut ibunya, sedangkan kakak-kakaknya ikut ayahnya dan tetap tinggal di rumahnya di Malang.
Singkat cerita aku semakin mengenalnya. Dari pengenalan itu muncul rasa haru, kasihan, simpati dan empati. Dia sekolah SMP karena bantuan sosial di paroki. Termasuk untuk biaya asrama. Setiap bulan, kalau ia boleh pulang ke rumah, selalu diantar oleh sopir paroki. Anaknya cerdas dan karakternya baik. Sayang bahwa sejak kecil ia terus didera kesulitan.
Aku bertemu dengannya ketika ia duduk di bangku SMP kelas 3. Aku menawarkan bantuan seandainya ia mau melanjutkan sekolah di Malang. Aku mencoba mengkontak beberapa kenalan, termasuk kemungkinan untuk menempatkannya di asrama. Akhirnya ia menyetujui dan ia pun pindah ke Malang.
Pindah ke Malang dan tinggal di asrama bukanlah hal yang mudah. Rasa kurang percaya diri begitu besar, dimarahi Sr. Meryam, tidak dipercaya, adalah bagian awal dari kisah barunya di kota Malang, tempat kelahirannya sekaligus pemantik luka batin yang amat dalam. Aku menjadi walinya tatkala mendaftar sekolah di SMA Santa Maria. Sebisa mungkin aku membantu, mendampingi dll. Namun aku mencoba menyerahkan semuanya kepada Sr. Hendrika selaku ibu asrama.
Tiga tahun ia lalui dengan baik. Prestasinya juga bagus. Kemudian ia melanjutkan studi di Unika Widya Karya. Karena kesibukan dan perkembangan waktu, aku jarang kontak dengannya. Kalau aku ke asrama putrid, aku sempatkan bertemu. Tapi itu sangat jarang.
Hingga kemarin ia mengirim SMS, “Romo, hari Sabtu aku diwisuda”.
Hah, cepat sekali. Bahkan aku tidak pernah tahu bagaimana kesulitan yang ia hadapi. Aku masih selalu membayangkan Liana sebagai remaja yang tegar meski ditempa banyak derita. Sekarang ia bukan saja sudah mahasiswa, tetapi sudah menjadi seorang sarjana.
Aku member waktu khusus untuk menghadiri wisudanya. Aku tahankan diri untuk tidak menangis. Gadis kecil itu, yang menanggung banyak derita, berjalan anggun dalam balutan kebaya dan busana toga. Badannya tetap kecil tapi sesungguhnya ia sudah dewasa. Ia berjalan untuk mendapatkan kehormatannya, tanpa didampingi orangtuanya.
Liana, Tuhan kiranya memberkatimu. Membimbing jalanmu. Langkahmu masih panjang, kiranya bekal yang perlu untuk perjalananmu sudah cukup. Aku, kakak dan oranghtuamu, selalu mendoakanmu.
Comments