Mengapa aku suka CENIL?
Cenil menghadirkan memorabilia masa lalu di kala kanak-kanak. Setiap hari pasaran Legi, aku selalu menunggu Mbah Tritis lewat, beliau adalah satu-satunya penjual Cenil di kampungku. Terkadang penantianku berakhir kecewa karena Cenilnya sudah habis. Hampir setiap kali, Mbah Tristis tidak berhasil membawa Cenilnya ke pasar, karena sudah habis di jalan. Meski demikian ia tidak pernah menambah jumlah Cenilnya.
Meski cenilnya habis, Mbah Tritis masih melanjutkan perjalanan ke pasar, karena ia juga menjual Lupis dan Klepon. Aku tidak tahu mengapa hanya Cenilnya yang selalu laris. Bagiku sendiri Cenilnya Mbah Tritis memang luar biasa. Kenyil-kenyilnya nyaman di mulut. Manisnya dari gula jawa asli, beliau tidak pernah menggunakan pemanis buatan. Warna Cenilnya menarik mata untuk menusukkan biting ke badan-badan kenyal Cenil.
Makan sebungkus Cenil selalu kurang, tetapi Ibu hanya mengijinkan aku membeli sebungkus saja. Rasa kurang ini harus disimpan selama 5 hari ke depan, menunggu hari pasaran berikutnya. Rasa penasaran membuat rasa Cenil menjadi lebih nikmat dari yang sebenarnya. Ibu mengajariku untuk tidak menuntaskan segala keinginan, melainkan belajar mengatur segala hasrat dan nafsu.
Ketika aku sudah SMA, aku meninggalkan kampong halaman, sekaligus meninggalkan Cenilnya Mbah Tritis. Di Kota Malang aku belum tahu di mana mesti membeli Cenil. Kesibukan dalam belajar juga tata aturan dalam seminari membuat hasrat menikmati Cenil tinggal sebagai mimpi. Hingga suatu saat aku nekat jalan-jalan ke pasar besar. Menyusuri tiap bedak, hingga bertemu dengan penjual Cenil.
Selepas SMA aku melanjutkan ke pendidikan seminari tinggi. Di sana aku tidak bisa mencari Cenil lagi. Hidup di biara mesti patuh dengan segala acara biara, termasuk dengan segala makanannya. Hanya jika ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh Cenil, kesempatan itu selalu aku manfaatkan.
Dalam kehidupanku selanjutnya, aku telah memakan banyak jenis penganan dan jajanan. Namun tidak ada yang mengalahkan Cenil. Cenil, tetap kenyal dengan manis gula dan sedap kelapa parut. Tidak terkalahkan meski ada brownis, pizza, donat, dll. Cenil mampu menghadirkan memori masa kecil, sedangkan jajanan yang lain tidak. Cenil mampu membangkitkan rasa bahagia dan kerinduan seorang bocah. Cenil menghadirkan kenangan untuk mengatur diri, mengendalikan nafsu.
Meski hari ini belum bisa merasakan nikmatnya kekenyalan Cenil, aku tidak marah. Selalu ada harapan bahwa akan tiba saatnya Cenil itu bisa aku santap. Tidak menemukan Cenil hari ini adalah pembelajaran untuk berani menikmati yang lain, semacam ongol-ongol atau klepon.
Meski cenilnya habis, Mbah Tritis masih melanjutkan perjalanan ke pasar, karena ia juga menjual Lupis dan Klepon. Aku tidak tahu mengapa hanya Cenilnya yang selalu laris. Bagiku sendiri Cenilnya Mbah Tritis memang luar biasa. Kenyil-kenyilnya nyaman di mulut. Manisnya dari gula jawa asli, beliau tidak pernah menggunakan pemanis buatan. Warna Cenilnya menarik mata untuk menusukkan biting ke badan-badan kenyal Cenil.
Makan sebungkus Cenil selalu kurang, tetapi Ibu hanya mengijinkan aku membeli sebungkus saja. Rasa kurang ini harus disimpan selama 5 hari ke depan, menunggu hari pasaran berikutnya. Rasa penasaran membuat rasa Cenil menjadi lebih nikmat dari yang sebenarnya. Ibu mengajariku untuk tidak menuntaskan segala keinginan, melainkan belajar mengatur segala hasrat dan nafsu.
Ketika aku sudah SMA, aku meninggalkan kampong halaman, sekaligus meninggalkan Cenilnya Mbah Tritis. Di Kota Malang aku belum tahu di mana mesti membeli Cenil. Kesibukan dalam belajar juga tata aturan dalam seminari membuat hasrat menikmati Cenil tinggal sebagai mimpi. Hingga suatu saat aku nekat jalan-jalan ke pasar besar. Menyusuri tiap bedak, hingga bertemu dengan penjual Cenil.
Selepas SMA aku melanjutkan ke pendidikan seminari tinggi. Di sana aku tidak bisa mencari Cenil lagi. Hidup di biara mesti patuh dengan segala acara biara, termasuk dengan segala makanannya. Hanya jika ada kesempatan atau peluang untuk memperoleh Cenil, kesempatan itu selalu aku manfaatkan.
Dalam kehidupanku selanjutnya, aku telah memakan banyak jenis penganan dan jajanan. Namun tidak ada yang mengalahkan Cenil. Cenil, tetap kenyal dengan manis gula dan sedap kelapa parut. Tidak terkalahkan meski ada brownis, pizza, donat, dll. Cenil mampu menghadirkan memori masa kecil, sedangkan jajanan yang lain tidak. Cenil mampu membangkitkan rasa bahagia dan kerinduan seorang bocah. Cenil menghadirkan kenangan untuk mengatur diri, mengendalikan nafsu.
Meski hari ini belum bisa merasakan nikmatnya kekenyalan Cenil, aku tidak marah. Selalu ada harapan bahwa akan tiba saatnya Cenil itu bisa aku santap. Tidak menemukan Cenil hari ini adalah pembelajaran untuk berani menikmati yang lain, semacam ongol-ongol atau klepon.
Comments