a tribute to my siMBok

Simbok.
Pernah terharu biru hingga lesu mataku membaca kisah mengenai seorang ibu. Sebenarnya aku mau menulis tentang seorang ibu. Sayang bahwa aku tidak memiliki bayangan akan seorang ibu. Jika dipaksa membayangkan seorang ibu, yang hadir adalah ibu guru. Dan itu bukan yang kumau.
Bagiku ibu itu teramat jauh, bahkan jauh sekali. Kenanganku hanya terdampar pada sosok simbok. Kamu semua pasti kenal arti seorang simbok, pasti berkaitan dengan seorang perempuan, mengenakan jarit, dari desa, tidak berpendidikan, dll. Itu yang kumiliki. Bukan seorang ibu, tetapi seorang simbok.
Aku memeras segala ingatanku akan simbokku. Apa yang kira-kira bisa dibanggakan dari beliau. Kapan kiranya aku mendapatinya bercerita mengenai negeri seribu satu malam, kapan kiranya beliau mendendangkan lagu merdu buatku. Sayang kenangan itu tidak pernah datang. Sama sekali. Bukan karena aku kehilangan ingatan akan masa kecilku, akan masa indah dibuaian simbokku.
Beberapa hal yang kuingat dari simbokku. Tidak banyak bicara. Tidak pernah ikut kegiatan-kegiatan, apalagi organisasi. Pernah berjualan rujak. Pernah berjualan bumbu-bumbu (mracang) di pasar. Pernah jadi PRT.
Siapa simbokku? Ini yang kuketahui dari berbagai sumber. Tidak tamat SD. Hanya sampai kelas 4 kemudian pergi ke kota menajdi babu. Pulang kampong, ketemu bapakku dan lahirlah aku. Menjadi istri seorang kernet, tukang ojek, seringkali suaminya pulang ke rumah dalam keadaan mabuk, sering juga tidak pulang. Terkadang kulihat di sudut matanya ada Kristal-kristal yang akan mengalir keluar, namun sekuat tenaga ditahannya.
Dari para tetangga aku mendengar beberapa cerita mengenai simbokku. Cerita ini aku dengar setelah aku lama merantau. “Mbokmu itu selalu menangis kalau bercerita tentang kamu”. Kata tetangga depan rumah. “Kami belum pernah melihat simbokmu menangis sebelumnya, ia sangat-sangat mencintaimu. Terkadang kami ikut melelehkan air mata ketika mendengar cerita simbokmu. Maka kamu mesti bersyukur, simbokmu sangat menyayangi kamu, meski tidak banyak bicara.” Kata tetangga sebelah rumah.
Simbok. Maafkan aku, karena tidak memiliki kata indah untuk menggambarkan dirimu. Maafkan aku karena benar-benar tidak mengenalmu dengan baik. Aku juga tidak tahu kapan ulang tahunmu, kurasa engkau pun juga tidak tahu kapan, karena engkau pernah bercerita bahwa data di KaTePe itu tidak benar.
Simbok. Maafkan daku, karena kerap kurang ajar dan melupakanmu. Akan kuingat tatkala seluruh keluarga merahasiakan keberadaanmu. Mereka tidak ingin melihat aku bersedih karena mengetahui engkau berangkat menajdi PRT lagi meski usia sudah tidak muda lagi. Aku tahu engkau terpaksa melakukan itu demi sekolah adikku.
Simbok aku tidak malu, aku bangga padamu. Aku sungguh bangga. Engkau ingat, ketika aku datang ke rumah majikanmu untuk menemuimu. Aku tidak minder meski memiliki ibu seorang PRT, karena engkau bertanggung-jawab, engkau memikirkan pendidikan kami. Meski tanpa banyak bicara.
Akan selalu kuingat. Ketika engkau minta bantuan teman PRT untuk menelfon aku. Bahkan engkau tidak tahu cara menelfon, namun karena sayangnya padaku, engkau tidak malu untuk minta tolong. Engkau tidak malu meski dianggap kuno, ndeso, ketinggalan zaman. Engkau tidak peduli itu semua.
Simbok. Aku ingat di hari kaul kekal dan tahbisanku. Engkau hadir sebagai perempuan sederhana. Engkau tidak membuat dirimu seolah-olah engkau hebat. Engkau tampil apa adanya. Bahkan engkau tidak pergi ke salon untuk mempercantik diri. Engkau hadir sebagai simbokku yang selama ini aku kenal.
Simbok. Aku ingin melihat engkau hingga usia senja. Aku berharap bisa mempersembahkan misa di hari ulangtahun emas pernikahanmu.
Simbok.
Aku mencintaimu. Sangat.


Comments

Popular Posts